Pengikut

Rabu, 17 Agustus 2016

Memaknai Merdeka, Meneladani Mereka





Merdekaku, Memanggul Rindu
(1)
Mak, sekarang tujuh belas agustus!
Lalu kenapa nak?
Dan tangan tuanya masih memilah mana batu mana beras
Tangan kecil disampingnya memegang koran bekas bungkus gorengan
Tangan tuanya menyeka peluh
Tangan kecilnya menyeka rindu
Merindukan merdeka!
(2)
Merdeka! Merdeka!
Berantas kemiskinan!
Teriakan pemuda di perempatan jalan
Sepasang mata tua memandang dari seberang
Tangannya memegang perut berkereok
Merindukan merdeka!

                Puisi diatas adalah puisi yang disusun atas perenungan dan refleksi realita negara kini. Memaknai merdeka, yang terlintas di pikiran senantiasa tentang tugas ‘memerdekakan’ yang belum dan rasanya tak pernah usai. Dari aspek terkecil dalam negara ini, hingga aspek terumit negara yang tiada terbaca orang-orang awam. Orang-orang yang hanya tahu merdeka adalah perut mereka terisi. Dan tugas yang diemban oleh segenap rakyat indonesia itu rasanya tiada pernah habis.
                Menelisik kembali perjuangan rakyat indonesia kala itu, tak pernah luput sederet nama pahlawan. Dari yang terabadikan di buku sejarah hingga yang tertera di nisan taman makam pahlawan. Terlepas dari itu, masih banyak nama yang syahid tak terbadikan disini namun tak pernah luput di langit-langit. Setiap dari mereka tentu memiliki karakter yang beragam, sesuai watak ataupun asal mereka. Dari mereka kita dapat mengambil sejuta pelajaran. Ini hanya sedikit dari lebih banyak lagi keteladanan dari mereka dan orang-orang di sekitar kita.
Tanggung Jawab
Nasionalisme tumbuh dari besarnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Para pejuang yang mempunyai rasa memiliki negara dan rasa tanggung jawab tanpa gentar maju memperjuangkan kemerdekaannya. Semata-mata karena rasa tanggung jawabnya sebagai warga negara. Andai saja mereka tidak memiliki hal itu, mungkin mereka hanya bisa mengumpat para tentara ataupun orang-orang besar negara kala itu. Membiarkan mereka terkungkung dalam nasib hingga ratusan tahun kedepan. Namun tidak, karena adanya rasa tanggung jawab itulah mereka tetap melakukan perjuangan, sekalipun perjuangan itu tak nampak banyak pengaruhnya. Tak apa, karena kekuatan kecil mereka itulah kekuatan besar lahir. Serta lahirnya bangsa yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap negaranya.
Memang rasanya ringan saja mengatakan tanggung jawab. Namun tak mudah untuk melaksanakannya. Sikap tanggung jawab ini akan melahirkan sebuah pemahaman kedewasaan, yang akan mengantarkan kita pada sebuah kesadaran dan tindakan nyata. Tanggung jawab sebagai mahasiswa, sebagai pengemban amanah, dan sebagai santri. Tinggal bagaimana memposisikan diri. Apakah membiarkan kelalaian merajai hingga lupa bahwa tanggung jawab memiliki kekuatan besar bagi masa depan kita, serta memiliki kekuatan di hadapan Tuhan kita. Apalagi kalau bukan pertanggungjawaban?
Keteguhan
Keteguhan dalam meraih apa yang dicitakan. Jika saat itu mereka sungguh bercita-cita memiliki negara kesatuan dan terebas dari jajahan, memiliki kedaulatan sendiri serta bebas sebagai warga negara, maka kini tentu cita untuk bangsa itu telah berubah. Para pahlawan tanpa ragu melangkah di baris paling depan untuk menantang penjajah. Dengan senjata yang tak sebanding, mereka tak akan pernah berani maju dan bertahan untuk tetap menyerang tanpa adanya keteguhan. Dengan serangan hebat penjajah tentu mereka akan mundur jika tanpa keteguhan.
Tak hanya di masa itu, kini masih banyak teladan yang dapat kita ambil untuk memaknai keteguhan itu sendiri. Seperti yang diungkap dalam puisi diatas, keteguhan orang-orang yang berada di garis kemiskinan juga seringkali luput menjadi contoh untuk menumbuhkan rasa syukur. Tak sedikit kita temui teladan itu di sekitar kita, namun tak banyak yang dapat mengambilnya sebagai sebuah pelajaran berharga.
Ya, keteguhan merupakan kekuatan untuk bertahan dalam segala situasi. Bertahan ketika situasi sedang sulit. Bertahan untuk tetap melakukan sesuatu semaksimal mungkin yang dapat dilakukan. Sebagai seorang akademisi, memiliki kekuatan untuk ‘survive’ dalam situasi apapun tentu sangat penting. Bukankah banyak dari mereka yang gagal karena tak memiliki kekuatan untuk bertahan? Ditambah menjadi seorang santri yang juga membutuhkan keteguhan untuk mempertahankannya. Bukankah santri adalah jati diri yang juga membutuhkan keteguhan?
                Menjadi santri yang akademis, menjadi pengajar yang tengah mengabdi, menjadi apapun kita, alangkah indah jika tanggungjawab yang dibarengi keteguhan itu tumbuh dalam diri. Seperti mereka, para pahlawan yang bertanggungjawab terhadap negara dan agamanya, meneguhkan diri mereka untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Seperti mereka, orang-orang yang tumbuh di garis kemiskinan, yang memiliki tanggungjwab terhadap keluarga dan agamanya, meneguhkan diri untuk tetap bertahan dalam keterbatasannya. Dan kitapun dapat menjadi seperti mereka. Bertanggungjawab terhadap negara dan agama, lantas meneguhkan diri melaksanakan tanggungjawab itu. Apabila kita temui sisi hitam negeri ini, tengoklah saja. Masih banyak sisi terang yang akan membangkitkan kita. Dirgahayu Indonesiaku, kami pemuda negerimu kelak akan membuatmu bangga memiliki kami!

Ditulis oleh : Melati Ismaila Rafi'i

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar