
CSSMoRA
CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama
SARASEHAN
Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pesantren
Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.
Home » Archives for September 2016
Sabtu, 24 September 2016
Buletin Sarung Edisi 24 September 2016

Jumat, 23 September 2016
Resensi Buku SALEH RITUAL SALEH SOSIAL
Resensi Gus Mus
Oleh : Luqman Hakim

Judul buku : SALEH RITUAL SALEH SOSIAL (Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, dan Kualitas Akhlak Sosial)
Penulis : KH. A. Muatofa Bisri (Gus Mus)
Penerbit : Diva Press tahun 2016
Tebal : 204 halaman
Gerak-laku kita (ibadah) didalamnya sering kita hanya gerak laku rutin yang kosong makna. Dzikir dan bacaan-bacaan kita didalamnya seringkali sekedar terluncur oleh bibir-bibir yang terbiasa, bukan dikendarai dan dikendalikan oleh makna yang terkandung didalamnya. Maka tak mengherankan jika shalat, misalnya, yang seharusnya tanha ‘anil fakhsya-i wal munkar (dapat membentengi orang yang melakukanya dari perbuatan keji dan munkar), justru tak tampak pengaruh positifnya dalam kehidupan musholli yang bersangkutan. (hlm 36)
Gus Mus mengungkapkan adanya dikotomi yang sungguh tidak menguntungkan bagi kehidupan beragama di kalangan kaum Muslim, yaitu ungkapan tentang adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak lain. Padahal kesalehan dalam Islam hanya satu, yaitu kesalehan muttaqi (hamba yang bertaqwa) yang mencakup sekaligus ritual dan sosial. Berangkat dari kegelisahan ini KH. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disebut Gus Mus memaparkan banyak sekali hal-hal yang sepertinya sepele namun memiliki pengaruh signifikan. Dengan sudut pandang yang berbeda, hal-hal yang terlewatkan oleh kebanyakan orang dibahas dengan bahasa yang menjadikannya menarik dan layak untuk direnungi, seperti tamsil dari sahabat Umar tentang amar ma’ruf nahi munkar. Atau bagaimana dicintainya kiai Basyuni oleh berbagai lapisan masyarakat di daerah Rembang sebab terkenal kebaikan dan kesantunanya. Dengan bahasa yang ringan pula Gus Mus mamaparkan beberapa pembahasan yang berat menjadi mudah dicerna, seperti permasalahan sosial-politik kehidupan bernegara atau persoalan keimanan.
Salah satu judul yang sangat menarik “Nabi yang Manusia” berisi teladan dari Nabi Muhammad yang selain sebagai seorang nabi, beliau juga sebagai anggota masyarakat terkadang pula sebagai kepala rumah tangga yang sangat memanusiakan manusia. Diceritakan Nabi menambal sendiri terompahnya yang putus dan menjahit pakaianya yang robek. Sebagai seorang yang berkeluarga Nabi memanjakan, bertengkar dan bercanda dengan istri-istrinya, Nabi berlomba lari dan menonton ”kesenian daerah” bersama sayyidatina ‘Aisyah. Nabi pernah ”mentakziahi” sahabatnya yang burungnya mati dan mendoakan semoga segera mendapat pengganti, menggoda lelaki yang meminta disediakan kendaraan unta untuk ikut berjihad dengan mengatakan “yang ada Cuma anak untu” Nabi bercanda dengan ucapan yang benar. Cerita lain tentang Nabi yang sangat memanusiakan manusia yaitu ketika Nabi melihat tali melintang di masjid dan ketika ditanyakan kepad seseorang, ia memperoleh jawaban bahwa itu tali Zainab sebagai “piranti” bersembayang, untuk beregangan jika tanganya mulai lelah. Lalu beliaupun memerintahkan untuk melepaskan tali iti dan bersabda “ hendaklah kamu sembahyang seukur kondisi tenagamu, bila lelah tidurlah”. Dengan contoh yang sedemikian lengkap Gus Mus menyimpulkan bahwa sangatlah mudah mengenali ajaran Nabi Muhammad Saw. dari ajaran yang lain, yaitu apabila manusia wajar merasa wajar melakukanya,tidak sulit dilakukan umumnya manusia, itulah ajaran Nabi Saw.
Lewat buku ini pula Gus Mus memberikan sentilan-sentilan kehidupan beragama dewasa ini. seperti semangat (ghirah) beragama mendorong kita untuk mensyiarkanya, salah satunya dengan memanfaatkan pengeras suara untuk panggilan sembahyang, dan nyatanya berlebihan. Segala macam bacaan selain adzan pun kita kumandangkan setiap saat. Kita melupakan etika berdzikir, adab membaca al-Qur’an dan tentang idza, menyakiti hati orang yang terbisingi lengkingan suara kita. atau bahkan mencari-cari dalil untuk membenarkan suatu perbuatan atau dalam bahasanya Gus Mus “ndalili kepentingan”.
Beberapa hal diatas seringkali luput dari perhatian kita sebagai umat beragama maupun sebagai anggota masyarakat, atau terkadang kita masih bingung apa alamat seseorang itu dicintai oleh Allah. Gus Mus menjelaskan dengan mengutip hadis Nabi Saw. yang kesimpulanya bahwa siapa yang dicintai dibumi maka dicintai pula dilangit. Selain itu ada hadis yang lain yang berbunya “Khairun naas anfauhum lin naas” sebaik-baik manusia adalah yang lebih bermanfaat untuk yang lain.
Dengan kepiawaianya menyederhanakan pembahasan Gus Mus menggambarkan bahwa beragama yang benar bukanlah perkara yang sukar dan jangan dijdikan sukar. Emha Ainun Nadjib berkata Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar sanggup mnemukan ketentraman dalan kecamasan, menggali kebahagiaan dari jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus bahkan mampu membuat kegelapan menjadi tidak ada, karea yang ada pada beliau, dan bahkan beliaunya sendiri adalah cahaya.
Minggu, 18 September 2016
PENSIL '16 (Pentas Silaturrahmi) CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga
11.18.00 No comments
Dengan dipimpin Dian dan Anti selaku pembawa acara, kegiatan itu diawali dengan pembukaan. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran oleh Andi Rasyidin dan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta mars CSSMoRA oleh seluruh peserta acara. Kemudian ketua panitia PENSIL dan ketua CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga memberikan sambutan secara bergantian.
Rizki Rahmad Fikri, ketua panitia PENSIL ini menuturkan bahwa, acara ini bukan tanpa tujuan. "Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan anggota CSSMoRA antar angkatan," ungkapnya.
Setelah sambutan, masing-masing angkatan mempersembahkan penampilan di atas panggung. Dimulai dari angkatan 2015 dengan dramanya, lalu angkatan 2016 dengan penampilan uniknya, kemudian angkatan 2013 dengan musikalisasi puisinya, dan dipungkasi angkatan 2014 dengan rentetan macam pertunjukannya. Adapun urutan tersebut ditentukan berdasarkan undian sebelum pertunjukan dimulai.
Acara tersebut mendapat respon positif dari para peserta khususnya anggota baru. Mereka mengaku mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman dari kegiatan tersebut. "Pensil 2016 benar-benar luar biasa bagi kami," ujar Alif, salah satu anggota baru PBSB UIN Sunan Kalijaga.
Mahasiswa asal Bali tersebut menambahkan, dia dan teman-temannya sangat berterimakasih kepada panitia yang telah mencurahkan waktu dan keringatnya demi menyukseskan acara tersebut. "Terima kasih atas sambutannya dan terima kasih atas perkenalannya," pungkasnya.(bsr)
Senin, 12 September 2016
Pendidikan Karakter; Solusi Mengatasi Krisis Moralitas Generasi Bangsa
Pendidikan Karakter; Solusi Mengatasi Krisis Moralitas Generasi Bangsa
Oleh : Azhari Andi
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga

Pendidikan merupakan hal yang sangat urgen bagi manusia dan bahkan ia merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Begitu pentingnya pendidkan hingga ia selalu ramai diperbincangkan. Pada hakikatnya, tujuan dari pendidikan adalah membentuk manusia menjadi pribadi yang berbudi pekerti mulia sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good dan smart. Senada dengan Socrates, tujuan diutusnya nabi Muhammad saw. adalah menyempurnakan budi pekerti mulia.
Tokoh fenomenal pendidikan Barat, Klipatrick juga mengatakan hal yang sama bahwa karakter atau budi pekerti adalah tujuan dari pendidikan. Jika sedemikian luhurnya tujuan pendidikan, mengapa realitas yang terjadi sangatlah berbeda dengan idealitas? di berbagai penjuru dunia, tak terkcuali Indonesia, psikotropika dan narkoba beredar di kalangan anak sekolah. Bahkan tak sedikit dari mereka yang masih berstatus siswa menjadi penjual narkotika. Pesta miras, kasus pelecahan seksual, berbagai tawuran antar anak sekolah, tindakan kriminal dan tindakan amoral lainnya solah-olah sudah menjadi pemandangan yang sudah biasa dijumpai. Sementara, sekolah-sekolah yang tak terhitung jumlahnya dengan mudah kita jumpai di berbagai pelosok Indonesia. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini ? Apa yang salah dengan pendidikan ?
Menjawab permasalahan di atas, pendidikan karakter nampaknya dipandang sebagai solusi yang tepat oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi problematika krisis moral yang tengah melanda bangsa. Hal ini dapat dilihat dari dicanangkannya visi penerapan pendidikan karakter pada tahun 2010-2014 oleh Kemendiknas.
Pendidikan Karakter
Karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”, “”kharassein”, dan “kharak” yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Karakter mempunyai definisi beragam, namun esensinya sama, yaitu menekankan etika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia, Karakter diartikan sebagai tabi’at, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti.
Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yakni mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dengan memikian pendikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah upaya membimbing prilaku manusia menuju satndar-stadar baku. (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011).
Upaya ini menegaskan untuk mengahargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang dimiliki siswa. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, namun pada praktiknya meliputi kecakapan-kecakapan sosial siswa. Singkatnya, pendidikan karakter bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Pendidikan Karakter Konteks Indonesia : Tinjaun Sejarah
Sejak beribu abad yang lalu, pendidikan karakter telah diperbincangkan. Socrates misalnya, ia mengatakan bahwa good and smart adalah tujuan luhur pendidikan. Dalam perkembangannya, pendidikan karakter mengalami kemunduran hingga pada tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter kembali ramai diperbincangkan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat fenomenal The Return of Character Education.
Dalam konteks Indonesia, pendidkan karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada era pra-kemerdekaan, pendidikan karakter lebih dikenal dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti ini berupaya menanamkan etika dan moral yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, era Demokrasi Terpimpin, pendidikan karkater dikenal dengan national and character building. Namun pada perkembangannya hancur oleh doktrin-doktrin yang melemahkan. (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011)
Memasuki pemerintahan orde baru, pendidikan karakter berganti menjadi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Upaya penanaman pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran Pancasila terus dilakukan sampai awal tahun 90-an. Bergulirnya era reformasi, pendidikan karakter dikukuhkan dengan lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Pada tahun 2010, Pendidikan karakter dijadikan oleh pemerintah sebagai program utama yang harus diimplematsikan di sekolah dengan dicanangkannya visi penerapan pendidikan karakter pada tahun 2010-2014.
Berdasarkan paparan singkat di atas, seyogyanya peserta didik di Indonesia mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dari tujuan pendidikan. Namun realita yang terjadi sagatlah kontras dengan idealitas dari tujuan pendidikan.
Peserta Didik Indonesia : Potret Moralitas
Memang tak dipungkiri bahwa banyak dari peserta didik Indonesia yang telah meraih prestasi gemilang baik di kancah nasional maupun kancah internasional, dan bahkan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri pada universitas terkemuka. Namun di satu sisi, siswa dan pelajar juga tak luput dari sorotan tentang tinta hitam yang ditorehkan dan mencoreng tujuan luhur pendidikan, terutama aspek moralitas. Bagaimana tidak, sejatinya pendidikan bertujuan membentuk pribadi yang berkarakter, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Pengaruh teknologi juga menambah parah hancurnya moralitas siswa. Tifatul Sembiring mantan Menkominfo menuturkan bahwa Indonesia merupakan pengakses internet nomor tiga terbesar di dunia. Selain itu, Tifatul menyebutkan Indonesia merupakan pengakses nomor dua terbesar situs pornografi di dunia.
Hal ini mendukung data bahwa berdasarkan riset pornografi di 12 kota besar di Indonesia terhadap 4.500 siswa-siswi SMP, ditemukan sebanyak 97,2 persen dari mereka pernah membuka situs porno. Data selanjutnya juga menambahkan bahwa 91 persen dari mereka sudah pernah melakukan kissing, petting atau oral sexs. Bahkan, data tersebut juga menyebutkan 62,1 persen siswi SMP pernah berzina dan 22 persen siswi SMU pernah melakukan abortus. (www.republika.co.id)
Selain itu, kasus narkoba juga menjerat para siswa. Bahkan lebih tragis lagi, menurut data BNN dalam kurun waktu 2008-2012 tercatat bahwa proporsi terbesar tersangka narkoba berlatar belakang pendidikan SLTA, SLTP, SD dan diikuti perguruan tinggi. Lebih lanjut, pengguna narkoba berumur 16-19 mencapai 2.238 dalam kurun waktu 2008-2012. (www.kompasiana.com 27/4/15)
Tidak hanya kasus di atas, tawuran antar sekolah, perampokan, tindakan amoral dan lain sebagainya juka ikut memperparah moralitas siswa. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil atau bisa dikatakan gagal. Lalu apakah yang salah dengan pendidikan di Indonesia?
Pendidikan Karakter Solusi Mengatasi Krisis Moralitas
Memang Indonesia telah menerapkan pendidikan karakter sejak era pra kemerdekaan. Nampaknya pendidikan karakter belum sepenuhnya diaplikasikan dengan baik. Selama ini pendidikan anak atau siswa seringkali dipahami sebagai tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan saja. Sehingga menimbulkan paham bahwa orang tua dan sosial lepas dari tanggung jawab untuk memberikan pendidikan terhadap anak. Apalagi di era modern ini, banyak orang tua yang sibuk dengan urusan pekerjaannya sehingga mengabaikan pendidikan anak dalam lingkungan keluarga.
Persepsi seperti ini tentunya tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana diketahui bahwa keluarga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Dalam buku Educating for Character, Thomas Lickona menyatakan bahwa sekolah membutuhkan bantuan dari rumah untuk memberikan pendidikan karakter kepada anak. Meski sekolah dapat memperbaiki tingkah laku siswa ketika mereka berada di sekolah –dan bukti menunjukkan bahwa sekolah memang bisa- namun sangat mungkin dampak yang mampu bertahan lama pada karakter anak akan lenyap apabila nilai-nilai yang diajarkan di sekolah tidak didukung dari rumah. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa sekolah dan keluarga harus bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama. Dengan bekerja sama, kedua lembaga sosial ini akan memiliki kekuatan untuk membesarkan manusia yang bermoral dan meninggikan kehidupan moral bangsa ini.
Selain sekolah dan keluarga, sosial atau lingkungan adalah salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan dalam pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, lingkungan yang baik sangat diharapkan untuk mendudukung pendidikan nilai yang telah dipelajari di sekolah dan di rumah. Artinya, guru, orang tua, keluarga dan sosial harus memberikan teladan nilai yang baik bagi anak agar terwujud tujuan luhur pendidikan karakter.
Jika kerja sama di antara ketiga lembaga sosial tersebut berjalan dengan baik, maka tujuan luhur pendidikan –membentuk manusia yang bermoral dan berbudi pekerti- dapat terwujud. Karena, hal ini akan mendorong terwujudnya komunitas moral baik itu di sekolah, keluarga dan sosial. Pada akhirnya akan memberikan efek postif pada diri siswa sekaligus menumbuhkan sikap tanggung jawab, menghormati nilai dan nilai-nilai positif lainnya. ini menunjukkan bahwa pendidikan siswa tidak hanya tanggung jawab sekolah, melainkan juga tanggung jawab keluarga dan sosial.
Pendidikan karakter yang diperoleh di sekolah, rumah dan sosial akan menumbuhkan tiga unsur dari karakter itu sendiri pada diri siswa , yakni mengetahui kebaikan (knowing the good); mencintai kebaikan (loving the good); dan melakukan kebaikan (doing the good). Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan mampu menjawab permasalahan krisis moral yang tengah melanda generasi bangsa.
Idul Adha; Berkurban Untuk Seorang atau Sekeluarga?
Idul Adha; Berkurban Untuk Seorang atau Sekeluarga?
Oleh :
Muhammad Farid Abdillah
Muhammad Farid Abdillah

Idul Adha adalah salah satu hari besar bagi umat Islam di seluruh dunia. Idul Adha atau yang sering disebut dengan Idul Qurban memang merupakan hari raya bagi umat Islam setelah berlalunya hari raya Idul Fitri. Sehingga euforia menyambut datangnya hari raya Idul Adha sudah terdengar berminggu-minggu sebelum datangnya hari raya ini.
Tidak jauh berbeda dengan hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha juga memiliki tradisi takbiran di malam sebelum sholat id, sholat id di pagi hari raya, dan tradisi hari raya umat Islam pada umumnya. Namun, ada satu hal yang membedakan Idul Adha dengan Idul Fitri. Yakni adanya perintah berkurban bagi orang-orang yang mampu. Perintah yang melandasi hal ini tentu saja yang sudah sering kita dengar, surat Al-Kautsar ayat 2 :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Berkurban yang dimaksud di sini adalah menyembelih unta, kambing, sapi, atau lembu. Biasanya pelaksanaan penyembelihan hewan kurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah. Namun, sebagaimana pemahaman kita bahwa penyembelihan ini masih dapat dilaksanakan hingga hari Tasyrik atau tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Lebih lanjut membahas tentang adanya perbedaan pendapat, menurut hemat penulis, segala aspek kehidupan akan selalu memiliki titik perbedaan di mata semua orang. Tidak dapat dipungkiri hal ini juga terjadi dalam pelaksanaan hari raya kurban. Perdebatan yang sering terjadi ini adalah perdebatan mengenai apakah seekor kambing itu untuk satu orang atau satu kepala keluarga, yang tentu saja hal ini berdampak kepada hewan kurban yang lain, yakni sapi, unta, ataupun lembu yang notabene jumlahnya lebih banyak, yaitu 7 orang atau 7 kepala keluarga.
Jika direntet ke belakang tentu saja kedua pendapat ini memiliki dasar landasan berpendapat sendiri-sendiri. Entah yang mengatakan satu ekor hewan untuk satu orang maupun satu ekor hewan untuk satu kepala keluarga. Sehingga tidak sepantasnya jika kedua pendapat ini saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain.
Pendapat yang menyatakan bahwa qurban hanya untuk satu orang yaitu:
“Kami menyembelih hewan pada saat Hudaibiyyah bersama Rasulullah SAW. Satu ekor badanah (unta) untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi)
Sedangkan, yang menyatakan bahwa qurban boleh untuk satu keluarga adalah:
“Pada masa Rasulullah SAW ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Terlepas dari perbincangan hangat mengenai apakah seekor hewan kurban itu untuk satu orang atau satu kepala keluarga, poin terpenting yang dapat diambil di sini adalah bagaimana agar dengan adanya hari raya Idul Adha rasa kekeluargaan dari setiap muslim akan semakin erat. Karena jika yang terjadi adalah perdebatan terus-menerus antara dua pemahaman yang berbeda, maka sampai kapanpun persaudaraan umat Islam hanya akan menjadi sebuah wacana tanpa ada tindakan konkritnya.
Mengetahui ada perbedaan seperti ini. Lalu mana yang kita ambil pendapatnya ? apakah yang mengatakan hanya untuk satu orang, atau yang mengatakan untuk satu keluarga? Keadaan yang paling umum terjadi ketika ada pertanyaan seperti ini adalah adanya unsur paksaan dalam memberikan pemahaman kepada orang lain. Yakni dengan cara mengatakan bahwa pendapatnya lah yang paling benar. Namun, menghadapi keadaan seperti ini, penulis lebih realistis. Yakni dengan cara pilihlah pendapat yang menurut anda paling pasdi hati, tanpa ada unsur paksaan atau apapun dari pihak lain.
Setelah membicarakan tentang berbagai hal yang mengitari perbedaan pendapat di atas,pertanyaan selanjutnya pasti lah bagaimana kita menyikapi adanya perbedaan tersebut. Daripada saling menjatuhkan dan saling menyalahkan, lebih baik kita mengambil jalan tengah. Yakni jawaban yang tak jauh berbeda dengan pertanyaan pendapat mana yang kita ambil. Yaitu ambil pendapat yang menurut kita meyakinkan dan menyemangati diri dalam berkurban. Serta tak perlu saling menyalahkan dan menjatuhkan orang lain.
“Sebenarnya tidak ada di musuh di dunia ini, yang ada hanyalah Saudara yang berbeda pendapat. Lagu kita tetap sama INDOONESIA RAYA”
SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1437 H.