
Antara Soekarno dan Fidel Castro
Oleh : Muhammad Wahyudi
Beberapa hari yang lalu, tepatnya 26 November 2016, seorang teman aktivis di pesantren memberikan kabar bahwa Bapak Revolusi kuba meninggal. Kabar yang mungkin bukan suatu masalah besar bagi kebanyakan Mahasiswa. Namun bagi para pejuang pergerakan, aktivis sosial dan sebagian Mahasiswa, kabar tersebut memberikan duka yang mendalam. Jikalau bagi orang Islam, kematian seorang ulama adalah sebuah musibah yang besar, maka kematian seorang Revolusioner adalah sebuah tamparan keras bagi orang-orang yang menyebut dirinya sebagai “Agent Of Change” dan tentunya sebuah kabar gembira bagi mereka yang telah nyaman dengan kapitasime hingga mereka tak sadar bahwa dirinya telah diperbudak oleh Neo-Kolonialisme.
Sang Revolusioner itu bernama Fidel Alejandro Castro Ruz atau lebih dikenal dengan panggilan Fidel Castro. Ia adalah seorang anak yang tumbuh mandiri, walau berasal dari keluarga yang kaya. Pada saat kecil, ia dikenal sebagai anak yang nakal serta cerdik, sehingga ia dijuluki sebagai seorang Robin Hood. Ketika ia berada di bangku kuliah, ia sangat tertarik dengan mata kuliah sosial dan ia masuk ke dalam organisasi gerakan Mahasiswa. Dari sinilah, Ideologi Sosialis seorang Fidel Castro dibangun di tengah-tengah hiruk-pikuk ketimpangan sosial yang terjadi saat itu.
Sebelum dirinya menjadi Presiden Kuba, Fidel Castro telah mengalami berbagai kekalahan dalam melawan Rezim Batista kala itu yang bertindak sewenang-wenang, melakukan kekebalan hukum, menampung para mafia dan berbagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara Hukum. Pada tahun 1953, Fidel castro memimpin serangan ke barak miiter Moncada Santiago de Cuba, namun gagal. Hingga akhirnya ia dihukum penjara selama 15 tahun. Namun tak berselang lama, Fidel Castro dibebaskan setelah adanya amnesti hukuman, yaitu pada 15 Mei 1955.
Fidel castro pantang berhenti dalam berjuang, ibarat layar kapal sudah dikibarkan, pantang kembali tanpa hasil. Ia sadar bahwa ia memerlukakn bantuan dari pihak lain. Oleh sebab itu ia pergi ke meksiko, bertemu dengan Che Guevara. Selain itu Fidel Castro juga membangun relasi dengan para pengikut pemerintahan sebelumnya dalam upaya menggulingkan rezim diktator Batista. Hingga pada akhirnya perjuangan Fidel Castro bersama para pejuang lain membuahkan hasil, yaitu dengan menduduki Havana dan Santiago de Cuba pada 8 Januari 1959. Mungkin itu hanya sekilas pengenalan bagi para pembaca yang baru mendengar nama “Fidel Castro”. Mari kita beralih perbincangan.
Berbicara tentang tokoh Revolusioner Kuba, Fidel Castro, maka tak bisa lepas dari tokoh Nasional Republik Indonesia, yaitu Ir. Soekarno. Kedua tokoh ini memiliki beberapa persamaan. Pertama, Soekarno adalah tokoh Revolusi Indonesia yang merebut kemerdekaan dari Kolonial Belanda dan Fidel Castro adalah seorang Revolusioner yang mengentas rakyat Kuba dari kekuasaan Rezim Diktator Batista. Kedua, mereka berdua pernah digembleng dalam naungan organisasi pergerakan, Soekarno digembleng dibawah bimbingan HOS Tjokroaminto, sedangkan Fidel castro belajar di bawah pergerakan Mahasiswa Unión Insurreccional Revolucionaria. Ketiga, Politik Berdikari, Soekarno memiliki ideologi politik yang mandiri, tidak bergantung pada Imperialisme Barat. Begitupun dengan Fidel Castro.
Pada tahun 1959, Fidel Castro mendatangi Jakarta untuk pertama kalinya. Ia mengunjungi Presiden Soekarno dan berdiskusi perihal ekonomi yang ada di Kuba. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang memiliki haluan ideologi politik Berdikari memaparkan konsep-konsep yang mungkin bisa diikuti oleh Kuba, yaitu kemandirian dalam segala sektor, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Diskusi tesebut berlanjut pada tahun 1960, setahun setelah Fidel Castro berkunjung ke Jakarta, Soekarno berganti mengunjungi Kuba yang pada saat itu baru dipimpin oleh Fidel Castro. Dalam kunjungan tersebut, Soekarno memberikan hadiah Songkok Nasional dan Keris—sebuah pusaka Jawa—sedangkan Fidel Castro memberikan topi militer yang menjadi ciri khas dirinya. Hal ini menunjukan kedekatan dua tokoh revolusioner yang saling menghormati satu sama lain.
Keempat, Ideologi Sosial, Soekarno yang berlatar belakang pendidikan dibawah binaan HOS Tjokroaminoto, memiliki paham ideologi sosialis—berbeda dengan sosial-komunisme G30SPKI—yaitu, ideologi yang bertujuan menyejahterakan rakyat, menghapus ketimpangan sosial yang ada, memberikan keadilan kepada seluruh lapisan masyarakat. Begitu juga dengan Fidel Castro, ia memiliki ideologi sosialis, namun seringkali orang berkata bahwa Fidel Castro adalah seorang komunis. Dalam salah satu pernyataannya, ia menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang komunis sekaligus bukan anti komunis : “I am not a communist amd neither is the revolutionary movement, but we do not have to say that we are anticommunists just to fawn on foreign powers.” (Aku bukanlah komunis, begitu juga dengan gerakan revolusi, tapi kami tidak akan jadi anti-komunis untuk sekedar meminta bantuan kekuasaan asing). Masih banyak lagi persamaan antara Soekarno dan Fidel Castro, namun hal itu tak mungkin dipaparkan dalam tulisan kecil ini.
Dari berbagai kesamaan antara dua tokoh tersebut, dan beberapa uraian perihal diaolog antara dua tokoh revolusioner tentang konsep-konsep ideologi politik. Kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki pengaruh besar terhadap revolusi Kuba, sebuah revolusi yang menyatakan dirinya lepas dari tali Neo-Kolonialisme dan Imperialisme. Namun kenyataannya, Indonesia harus kembali belajar kapada Kuba tentang ideologi politik “berdikari” yang telah diajarkan oleh Soekarno kepada Fidel Castro. Mengutip kata-kata aktivis muda Muhammad al-Fayyadl : “Indonesia, negara yang kaya raya namun jutaan rakyatnya miskin, layak malu kepada Kuba. Jargonnya “Ekonomi Berdikari”, namun menyusu kepada investasi asing. Apa-apa melimpah, namun boros dan tak pernah menyejahterakan.”
Oleh karena itu , penulis sebagai seorang pemuda menyeru kepada diri sendiri serta kepada para pemuda lain yang membaca tulisan ini untuk meneruskan perjuangan bapak Revolusi indonesia, Ir. Soekarno, yaitu berdiri di atas kaki sendiri, tanpa takut kekurangan makan seperti yang dialami oleh Kuba sebab Embargo yang dilakukan Amerika. Berani menjadi miskin namun mandiri lebih baik dari menjadi pengemis di negeri sendiri. Jikalau bukan para Pemuda yang memulai, siapa lagi? Pramoedya Ananta Toer berpesan : “Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.” والله أعلم بالصواب