Pengikut

Senin, 07 November 2016

Kelabu dalam Pewayangan

Kelabu dalam Pewayangan
Oleh : Aliyatur Rofiah
(CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

     Tepat hari ini, 07 November, 13 tahun yang lalu, UNESCO akhirnya mengakui keistimewaaan wayang sebagai salah satu warisan luhur bangsa. Sebagaimana hari batik nasional, maka  tanggal penetapan dari UNESCO tersebut juga dijadikan sebagai hari wayang sedunia. Jujur saja, tidak banyak yang mengetahui hal ini. Bahkan saya sendiri baru tahu kemarin. Rasanya malu sekali pada diri sendiri. Demi menutupi perasaan bersalah tersebut, saya ingin menunjukkan salah satu sisi yang saya tangkap selama mengenal warisan agung ini. Perlu saya tegaskan bahwa ini hanyalah sebagian kecil dari pelajaran yang saya ambil selama mengamati dan menikmati wayang. Banyak hal yang saya dapatkan meski harus mengejar pagelaran ke berbagai tempat. Bagi anda yang belum pernah menikmati wayang, cobalah setidaknya sekali saja melihat tingkah para wayang ini di pakeliran. Setidaknya, anda telah mempunyai satu pengalaman yang berharga.
     Bagi saya, mengamati wayang baik dari pagelaran secara langsung maupun dari berbagai literatur memiliki efek adiksi, semakin lama semakin menarik. Terdapat banyak hal yang sangat tidak logis dan relevan, namun sarat akan filosofi dan makna yang dalam. Saya bukan orang yang pandai dalam filsafat, namun sebagai orang awam yang baru menikmati wayang, saya yakin bahwa dunia pewayangan penuh dengan ajaran filsafat. Salah satu hal yang menggugah saya adalah tentang baik dan buruk. Atau dalam ungkapan lain, hitam dan putih.
     Simpingan (barisan wayang di depan kelir –layar putih tempat wayang berlaga) dalam pakeliran wayang kulit selalu sama, yakni wayang yang berjajar dari yang berukuran kecil menuju yang paling besar, dengan ketentuan masing-masing sisi menghadap arah yang berlawanan. Hal ini menurut beberapa dalang yang saya tanyai berarti bahwa manusia harus mengikuti jalan kebaikan, yakni sesuai dengan simpingan sebelah kanan yang berisi tokoh-tokoh protagonis yang seluruhnya menghadap ke kanan. Kanan, seperti yang telah kita ketahui bersama, selalu menjadi simbol dari kebaikan dan jalan yang benar. Oleh karena itu, para ksatria yang menjadi tokoh protagonis dalam setiap lakon pewayangan haruslah menjadi tokoh yang mengajarkan kebaikan dan berjuang melawan kejahatan.
     Kejahatan sendiri dalam dunia pewayangan selalu diwakili oleh para raksasa dan orang-orang serakah yang haus akan kekuasaan. Oleh karena itu, tokoh-tokoh ‘jahat’ tersebut mengisi simpingan sebelah kiri yang juga menghadap ke kiri. Wajah-wajah mereka yang biasanya berwarna merah atau hitam melambangkan watak buruk yang melekat pada diri mereka. Maka tidak heran apabila dalam berbagai lakon, tokoh-tokoh antagonis tersebut berakhir dengan kematian. Hal tersebut secara sederhana dapat diartikan bahwa kajahatan pasti akan kalah oleh kebaikan sebagaimana para raksasa yang mati di tangan para ksatria.
     Hal yang demikian menjadikan para penikmat wayang baru, seperti saya, memiliki pemahaman bahwa antara baik dan buruk selalu terpisah dan berseberangan. Pandhawa (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) dan Kurawa (Duryudana dan saudara-saudaranya) tidak bisa berdamai kecuali lewat perang besar Bharatayudha yang menewaskan ribuan nyawa dari kedua kubu. Lakon-lakon yang ada juga banyak memberikan kesan bahwa kebaikan kelak akan mengalahkan kebathilan. Tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan seakan terbagi menjadi baik dan buruk. Pandhawa, Rama, Batara Guru, Semar, serta tokoh-tokoh ‘kanan’ lainnya adalah lambang dari kebaikan sedangkan Kurawa, Rahwana, Batara Kala, Togog, dan tokoh-tokoh ‘kiri’ lainnya mewakili kejahatan di muka bumi ini. begitulah kebanyakan orang melihat tokoh-tokoh wayang secara sekilas. Hitam dan Putih, tanpa adanya kelabu.
     Setelah mengamati secara lebih seksama, saya berpendapat bahwa dunia pewayangan sama sekali tidak pasti dan saklek pada aturan baik dan buruk. Pewayangan diwarnai oleh paradoks-paradoks yang penuh dengan kritik sarkatis. Tidak semua orang baik akan selamanya baik, pun tidak semua orang jahat selamanya adalah orang jahat. Prabu Rama Wijaya memang raja yang memerintahkan kerajaan Ayodya dengan adil, tetapi rupanya ia meragukan kesetiaan Sinta selama berada dalam genggaman Rahwana. Begitu pula dengan sisi yang lain. Rahwana adalah orang yang kejam dan sewenang-wenang, tetapi cintanya kepada Sinta sejak Ia berwujud Dewi Sri adalah murni. Tidak sekalipun Rahwana menyakiti Sinta secara fisik. Sudjiwo Tedjo dalam berbagai buku dan kesempatan selalu meyakini bahwa cinta Rahwana kepada Sinta adalah bentuk cinta yang sejati. Mendengar penjelasan tersebut, saya mulai berpikir ulang tentang kepastian baik dan buruk dalam pewayangan.
     Paradoks selanjutnya ada dalam lakon Batara Kala, yang menceritakan tentang kelahiran dari Batara Kala, atau Murwakala, atau Kala. Batara Kala dikenal sebagai sosok raksasa yang senang memakan manusia tanpa ada belas kasihan sama sekali. Mitos-mitos tentang Batara Kala banyak dihubungkan dengan tradisi Ruwatan. Oleh karena itu, telah umum diketahui bahwa Batara Kala ini adalah tokoh antagonis yang menyeramkan dan selalu berbuat jahat. Akan tetapi, kita akan menemukan sisi lain dari Batara Kala yang sangat ‘humanis’ dalam lakon kelahiran raksasa tersebut. Dalam pagelaran Ki Dalang Enthus Susmono, saya melihat bahwa Kala awalnya adalah sosok yang sangat tulus dan innocent. Tujuan awalnya hanya satu, yakni mendapat pengakuan dari orangtuanya, Sang Hyang Batara Guru, serta hidup sederhana menjadi seorang petani. Keinginan yang sangat mudah dan tidak muluk-muluk, tetapi nyatanya malah berujung pada tragedi. 
     Ki Enthus dalam pagelaran tersebut seolah-olah ingin mengatakan bahwa inilah hidup. Tidak ada yang kebaikan benar-benar menafikan keburukan, pun tidak ada keburukan yang tak menyentuh kebaikan. Saya sangat terenyuh dengan tingkah polos si bayi bersosok menyeramkan tersebut. Dia bahkan tidak sekalipun marah ketika mengetahui bahwa ayahnya sendiri tega ‘membuang’ dan berniat membinasakan dirinya. Dia hanya ingin mengucapkan salam baktinya pada ayahanda yang menjadikan dirinya lahir di dunia ini. tidak sekalipun dia menyalahkan Batara Guru tentang fisiknya yang buruk rupa. Hatinya begitu bening hingga suatu saat orang-orang ‘putih’ itulah yang menodai kemurnian hatinya. Saudaranya sendiri menolak memberikan apa yang seharusnya dia miliki. Wajar sekali jika seseorang menuntut haknya, bukan? Lantas, pada akhirnya, pertanyaan yang muncul di benak saya adalah: apakah mungkin orang yang tidak memiliki noda mampu menodai?

                             Yogyakarta, 07 November 2016

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar