
Persetan dengan Tahun Baru
Oleh : Muhammad Farid Abdillah
CSSMoRA UIN Sunan KalijagaYogyakarta
Oleh : Muhammad Farid Abdillah
CSSMoRA UIN Sunan KalijagaYogyakarta
Dinginnya pagi menemani langkah para siswa menuju ke sekolah hari ini. Maklum lah, jarak sekolah di banding rumah mereka memang agak jauh. Mereka harus berjalan minimal setengah jam dari rumah mereka menuju ke sekolah dengan jalan terjal serta bukit-bukit berhiaskan pohon-pohon hijau. Meski begitu, mereka para siswa nampak santai saja menghadapi medan yang tentu saja tidak mudah bagi mereka.
Pagi itu suasana kelas agak berbeda. Para siswa sibuk membicarakan agenda apa yang akan dilakukan malam nanti. Ya, hari itu tanggal 31 Desember. Nanti malam di lapangan desa akan diadakan perayaan tahun baru lengkap dengan terompet dan kembang api. Sebuah perayaan yang dirasa sangat meriah bagi anak-anak desa yang selama ini hidup di desa dengan penuh kekurangan.
“eh dewi, kamu mau kemana nanti malam ?”
“Aku mau ikut berkumpul bersama warga di lapangan desa saja,” percakapan antara para siswi yang membicarakan agenda malam nanti.
“jo, mau kemana kamu nanti malam ?” teriak edi dari sudut kelas nan reot itu.
“Aku mau bakar ayam di rumah bersama Ayah.” Jawab tejo.
Tak semua siswa menikmati euforia tahun baru kali ini. Nampak salah satu siswa hanya diam di bangkunya sambil membaca buku. Sikap acuhnya dengan keributan teman yang lain menarik perhatian salah satu kawannya.
“Hey, kenapa kamu diam saja ?”
“Tidak ada.” Ia tak menoleh sedikitpun.
“Rio, kamu kemana malam tahun baru nanti?”
“Di rumah.” Jawabnya singkat.
“Kamu kenapa, Rio ?” raut muka eko yang memandang Rio hampir saja menyatukan kedua alisnya, bingung dengan kawannya yang satu ini.
“Tidak apa-apa.” Jawaban yang masih singkat.
Derap langkah Pak Guru terdengar. Pelajaran akan dimulai. Pak Ilham yang masuk kelas secara tiba-tiba berhasil mengagetkan seluruh siswa yang sedang berbincang asik pagi itu.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.” Tiba-tiba kelas bergemuruh, alunan kaki-kaki para siswa yang kembali ke tempat duduknya masing-masing sudah selayaknya barisan para tentara yang mendengar komando dari kaptennya.
“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh.” Jawab serempak para siswa setelah mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing. Kegiatan berlanjut seperti biasa. Semua siswa hadir ke kelas pagi ini.
“Baik anak-anak, seperti yang kalian tahu bahwa besok adalah hari libur tahun baru ..” belum sempat melanjutkan perkataannya, seluruh kelas bergemuruh riang mendengar jika esok adalah hari libur. Suara mereka kompak selayaknya paduan suara ketika upacara bendera di hari senin. Seluruh kelas, ya seluruh kelas. Tapi tidak untuk salah satu siswa di antara mereka yang tetap tenang dengan buku yang—entah apa judulnya—sedang ia baca. Setelah kelas kembali tenang, Pak Ilham melanjutkan perkataannya.
“Tapi sebelum itu, bapak mau memberikan pertanyaan kepada kalian semua.” Seluruh kelas tiba-tiba hening, memperhatikan apa yang akan ditanyakan guru mereka. “Siapa yang tau sejarah tahun baru ?” kelas bertambah hening, pertanda tidak ada yang mengetahui jawaban pertanyaan sang guru. Di tengah-tengah keheningan itu, tiba-tiba salah seorang anak mengangkat tangan.
“Iya Rio, bapak melihat kamu mengangkat tangan. Kamu tau sejarah tahun baru?”
“Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.” Rio diam sebentar untuk menghela nafas, kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari untuk menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Dalam islam, penanggalan semacam ini disebut dengan kalender Syamsiyah.” Jawab Rio dengan lancar, namun tetap dengan raut wajah yang menunjukkan ketidak senangannya. Ia memang dikenal kutu buku di kelasnya. Buku apa saja habis dibaca olehnya. Seluruh kelas nampak terbengong melihat rio menjawab pertanyaan Pak Ilham.
“Ya, Rio. Jawaban kamu benar.” Kata Pak Ilham.
“Kita Umat Islam memiliki sistem penanggalan tersendiri yang disebut dengan kalender Hijriyyah. Kalender yang dibuat oleh Khalifah Umar bin Khattab berdasarkan perhitungan bulan atau dikenal dengan kalender Qamariyah.” Lanjut Pak Ilham. Di tengah menjelaskan, tiba-tiba Rio kembali mengangkat tangannya.
“Iya Rio ?”
“Suatu ironi pak, ketika banyak Umat Islam yang merayakan tahun baru Masehi. Ikut larut dalam kesenangan-kesengan itu, tetapi mereka tidak tau tanggal Hijriyyah mereka dilahirkan, yang seharusnya menjadi tanda pengenal seorang Muslm.” Kali ini raut wajah Rio sungguh meyakinkan. Pak Ilham hanya tersenyum kecil melihat Rio mengatakan hal itu.
“Memang kamu tau tanggal lahir Hijriyyah kamu Rio ?” kata edi setengah teriak yang agak kesal dengan pernyataan Rio yang kedua.
“Aku lahir tanggal 13 Safar.” Jawaban singkat yang mampu membuat mulut eko terdiam. “Kamu tau tanggal lahirmu ?” pertanyaan Rio tidak dijawab eko. Eko terdiam.
“Sudah, sudah .. jangan bertengkar anak-anak.” Pak Ilham mencoba menenangkan kelas yang mulai panas.
“Pak, kalau begitu apakah kita umat muslim salah merayakan tahun baru masehi ?” tiba-tiba Dewi ikut bicara di dalam kelas.
“Rayakan dengan mendekat kepada Allah. Jangan menirukan gaya orang Yahudi yang merayakan Tahun baru dengan berpesta, bersuka ria berlebihan. Isi pergantian tahun dengan muhasabah kepada Allah.” Kelas hening. Tak lama kemudian bel berbunyi pertanda kelas Pak Ilham sudah usai dan akan dilanjutkan ke kelas dengan mata pelajaran yang lain.
Hari itu, kelas yang mula-mula sibuk dengan euforia tahun baru terhening. Semua tidak berani membicarakan tahun baru, atau lebih tepatnya pembahasan itu tiba-tiba saja tidak menarik bagi mereka. Bagi Rio hal itu adalah sesuatu yang lain. Tahun baru adalah hari yang sangat ia benci. Sebab, tepat di tanggal itu sang Ibu pergi untuk tidak kembali. 31 Desember dua tahun lalu. Sang ibu meninggal karena sakit yang telah ia derita sekian lama.
Tak pelak, setiap malam pergantian tahun, Rio selalu berucap.
“Persetan dengan Tahun baru !!” ekspresi kekesalan bersama dengan jatuhnya air mata Rio mengingat mendiang sang Ibu. Ekspresi yang tidak akan satupun temannya percaya keluar dari mulut Rio.