CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

PBSB

Program ini memberikan kesempatan kepada para santri dari berbagai Pondok Pesantren untuk mengenyam pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Selasa, 16 Agustus 2016

JIHAD SANTRI, DULU DAN KINI




Mengulas tentang kemerdekaan Republik Indonesia tentu tidak terlepas dari peran Ulama dan kaum Santri. Berbagai pergerakan yang dilakukan oleh umat Islam begitu tampak mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Pergerakan tersebut dilakukan dalam bentuknya yang bermacam-macam, mulai dari perjuangan diplomasi hingga pertaruhann nyawa dalam berbagai peperangan pada masa itu. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam, khususnya kaum santri di masa kini untuk menghargai jasa-jasa para pendahulu tersebut dengan meneruskan perjuangan mereka.
Menurut Marwan Saridjo (1980) dalam bukunya Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ada tiga fase ulama pesantren dalam menentang penjajah. Pertama, mengadakan ‘uzlah, yakni mengasingkan diri ke tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan penjajah. Oleh karena itu, apabila pada awalnya kebanyakan pesantren berada di pedalaman perlu dipahami dalam konteks ‘uzlah, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Seandainya tidak pernah terjadi penjajahan, Nurcholish Madjid (1997) menduga keberadaan pesantren tidak akan begitu jauh terpencil di daerah pedesaan, mungkin akan berada di kota-kota yang menjadi pusat kekuasaan dan perekonomian, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana. Kedua, bersikap non-kooperatif dan sering mengadakan perlawanan secara diam-diam. Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan secara fisik. Pada perlawanan fisik inilah kaum pesantren berjuang dalam jihad mengangkat senjata di medan perang.
Selama masa penjajahan pesantren memiliki peran ganda, yaitu sebagai pusat penyebaran Islam sekaligus sebagai pusat penggemblengan para santri dan umat Islam untuk menumbuhkan semangat jihad agar suatu saat bangkit, sebagai hizbullah, membela agama dan tanah air dari cengkeraman penjajah. Untuk membakar semangat jihad melawan penjajah, ulama pesantren mengeluarkan sejumlah fatwa seperti; hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman), man tashabbaha bi qawm fahuwa minhum (barang siapa meniru suatu kaum, berarti ia termasuk bagian dari kaum itu). Karena itu, memakai dasi ketika itu hukumnya haram lantaran menyerupai Belanda, berbahasa Belanda diharamkan karena akan menyerupai dan bermental Belanda. Akan tetapi, jika belajar bahasa Belanda untuk kewaspadaan terhadap tipu muslihat mereka, maka hukumnya menjadi boleh, sambil berdalil man ‘arofa lughota qawm amina min syarrihim (barang siapa yang memahami bahasa suatu bangsa, maka ia akan tehindar dari tipu muslihat mereka). Kemudian fatwa yang sangat menakutkan kaum penjajah adalah Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadlratusyaikh KH Hasyim Asy’ari pada bulan Oktober tahun 1945, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI dari agresi Belanda dan sekutunya. Fatwa-fatwa di atas dan keterlibatan langsung ulama-ulama pesantren dalam peperanganmelawan kolonial, menjadi dokumen tak terbantahkan betapa pesantren memiliki jasa yang besar dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan Mohammad Kosim (2006) dalam tulisannya berjudul Pesantren dan Wacana Radikalisme, mengutip perkataan Budi Utomo, tokoh pergerakan nasional, yang mengatakan; “Jika tidak karena sikap kaum pesantren ini, maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat seperti sekarang”.
Memasuki 71 tahun kemerdekaan, santri dituntut untuk terus aktif dalam memajukan NKRI. Perjuangan yang dibutuhkan pada masa ini bukan lagi jihad qitalmengangkat senjata. Akan tetapi perjuangan masa kini dilakukan dalam bentukjihad intelektual untuk kemajuan bangsa. Kaum santri dapat bergerak dalam segala bidang untuk berpartisipasi membangun NKRI, menjaga keutuhannya serta menciptakan kedamaian di dalamnya. Dengan demikian, jihad kaum santri dapat terus hidup dalam segala konteks zaman.
Dengan kontekstualisasi makna jihad, diharapkan kaum santri menjadi tonggak kemajuan NKRI. Di tengah maraknya isu terkait islamofobia, maka tugas kaum santri adalah menampilkan wajah Islam yang damai sebagai rahmat bagi seluruh alam. Menghadapi derasnya arus informasi, maka kaum santri mesti turut bergerak melawan provokasi pihak-pihak tertentu yang ingin memecah belah umat Islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga menuntuntut kaum santri menjadi bagian aktif di dalamnya. Artinya kaum santri tidak mesti mengasingkan diri di tempat terpencil sebagaimana pada masa penjajahan dahulu, dalam konteks ‘uzlah.  Dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya pun mesti ada peran jihad kaum santri yang turut memberi warna di dalamnya. Hal demikian telah sejalan dengan pesantren yang juga turut melangkah pada kemajuan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan sains dalam pembelajarannya.

Berbekal semangat jihad yang menggebu untuk menegakkan kalimat Allah, serta diiringi dengan kecakapan intelektual yang mumpuni, menjadikan kaum santri begitu potensial membangun peradaban. Jihad santri, dulu dan kini, mesti terus menyala di bumi Indonesia.

Ditulis oleh: Hendriyan Rayhan

Memaknai Merdeka, Meneladani Mereka





Merdekaku, Memanggul Rindu
(1)
Mak, sekarang tujuh belas agustus!
Lalu kenapa nak?
Dan tangan tuanya masih memilah mana batu mana beras
Tangan kecil disampingnya memegang koran bekas bungkus gorengan
Tangan tuanya menyeka peluh
Tangan kecilnya menyeka rindu
Merindukan merdeka!
(2)
Merdeka! Merdeka!
Berantas kemiskinan!
Teriakan pemuda di perempatan jalan
Sepasang mata tua memandang dari seberang
Tangannya memegang perut berkereok
Merindukan merdeka!

                Puisi diatas adalah puisi yang disusun atas perenungan dan refleksi realita negara kini. Memaknai merdeka, yang terlintas di pikiran senantiasa tentang tugas ‘memerdekakan’ yang belum dan rasanya tak pernah usai. Dari aspek terkecil dalam negara ini, hingga aspek terumit negara yang tiada terbaca orang-orang awam. Orang-orang yang hanya tahu merdeka adalah perut mereka terisi. Dan tugas yang diemban oleh segenap rakyat indonesia itu rasanya tiada pernah habis.
                Menelisik kembali perjuangan rakyat indonesia kala itu, tak pernah luput sederet nama pahlawan. Dari yang terabadikan di buku sejarah hingga yang tertera di nisan taman makam pahlawan. Terlepas dari itu, masih banyak nama yang syahid tak terbadikan disini namun tak pernah luput di langit-langit. Setiap dari mereka tentu memiliki karakter yang beragam, sesuai watak ataupun asal mereka. Dari mereka kita dapat mengambil sejuta pelajaran. Ini hanya sedikit dari lebih banyak lagi keteladanan dari mereka dan orang-orang di sekitar kita.
Tanggung Jawab
Nasionalisme tumbuh dari besarnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Para pejuang yang mempunyai rasa memiliki negara dan rasa tanggung jawab tanpa gentar maju memperjuangkan kemerdekaannya. Semata-mata karena rasa tanggung jawabnya sebagai warga negara. Andai saja mereka tidak memiliki hal itu, mungkin mereka hanya bisa mengumpat para tentara ataupun orang-orang besar negara kala itu. Membiarkan mereka terkungkung dalam nasib hingga ratusan tahun kedepan. Namun tidak, karena adanya rasa tanggung jawab itulah mereka tetap melakukan perjuangan, sekalipun perjuangan itu tak nampak banyak pengaruhnya. Tak apa, karena kekuatan kecil mereka itulah kekuatan besar lahir. Serta lahirnya bangsa yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap negaranya.
Memang rasanya ringan saja mengatakan tanggung jawab. Namun tak mudah untuk melaksanakannya. Sikap tanggung jawab ini akan melahirkan sebuah pemahaman kedewasaan, yang akan mengantarkan kita pada sebuah kesadaran dan tindakan nyata. Tanggung jawab sebagai mahasiswa, sebagai pengemban amanah, dan sebagai santri. Tinggal bagaimana memposisikan diri. Apakah membiarkan kelalaian merajai hingga lupa bahwa tanggung jawab memiliki kekuatan besar bagi masa depan kita, serta memiliki kekuatan di hadapan Tuhan kita. Apalagi kalau bukan pertanggungjawaban?
Keteguhan
Keteguhan dalam meraih apa yang dicitakan. Jika saat itu mereka sungguh bercita-cita memiliki negara kesatuan dan terebas dari jajahan, memiliki kedaulatan sendiri serta bebas sebagai warga negara, maka kini tentu cita untuk bangsa itu telah berubah. Para pahlawan tanpa ragu melangkah di baris paling depan untuk menantang penjajah. Dengan senjata yang tak sebanding, mereka tak akan pernah berani maju dan bertahan untuk tetap menyerang tanpa adanya keteguhan. Dengan serangan hebat penjajah tentu mereka akan mundur jika tanpa keteguhan.
Tak hanya di masa itu, kini masih banyak teladan yang dapat kita ambil untuk memaknai keteguhan itu sendiri. Seperti yang diungkap dalam puisi diatas, keteguhan orang-orang yang berada di garis kemiskinan juga seringkali luput menjadi contoh untuk menumbuhkan rasa syukur. Tak sedikit kita temui teladan itu di sekitar kita, namun tak banyak yang dapat mengambilnya sebagai sebuah pelajaran berharga.
Ya, keteguhan merupakan kekuatan untuk bertahan dalam segala situasi. Bertahan ketika situasi sedang sulit. Bertahan untuk tetap melakukan sesuatu semaksimal mungkin yang dapat dilakukan. Sebagai seorang akademisi, memiliki kekuatan untuk ‘survive’ dalam situasi apapun tentu sangat penting. Bukankah banyak dari mereka yang gagal karena tak memiliki kekuatan untuk bertahan? Ditambah menjadi seorang santri yang juga membutuhkan keteguhan untuk mempertahankannya. Bukankah santri adalah jati diri yang juga membutuhkan keteguhan?
                Menjadi santri yang akademis, menjadi pengajar yang tengah mengabdi, menjadi apapun kita, alangkah indah jika tanggungjawab yang dibarengi keteguhan itu tumbuh dalam diri. Seperti mereka, para pahlawan yang bertanggungjawab terhadap negara dan agamanya, meneguhkan diri mereka untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Seperti mereka, orang-orang yang tumbuh di garis kemiskinan, yang memiliki tanggungjwab terhadap keluarga dan agamanya, meneguhkan diri untuk tetap bertahan dalam keterbatasannya. Dan kitapun dapat menjadi seperti mereka. Bertanggungjawab terhadap negara dan agama, lantas meneguhkan diri melaksanakan tanggungjawab itu. Apabila kita temui sisi hitam negeri ini, tengoklah saja. Masih banyak sisi terang yang akan membangkitkan kita. Dirgahayu Indonesiaku, kami pemuda negerimu kelak akan membuatmu bangga memiliki kami!

Ditulis oleh : Melati Ismaila Rafi'i

Minggu, 14 Agustus 2016

Orientasi Mahasiswa Baru 2016



Orientasi Mahasiswa Baru
Oleh: Irfan Faizri
Tak kenal maka tak sayang.  Mungkin pribahasa ini rasanya sangat cocok untuk mengambarkan kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru (OMB)  Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) angkatan x tahun akademik 2016/2017 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Uin Suka Yogyakarta atas kerjasama dengan PD. Pontren Kemenag RI.
Acara OMB tersebut digelar di Hotel Satya Nugraha Yogyakarta selama 6 hari,  yakni dari tanggal 8-13 Agustus 2016. Bapak Afdawaiza M.A selaku pengelola Program Beasiswa Santri Berprestasi PTN Uin Suka Yogyakarta menjadi pembuka acara OMB tersebut.  Mahasantri baru diajak untuk semakin mengenal kehidupan kampus,  peran, budaya akademik, serta tugas sebagai seorang mahasantri.   
Pada OMB tersebut, digelar beberapa rangkaian acara, mulai dari talkshow yang diisi oleh tokoh-tokoh inspiratif,  hingga penyampaian wejangan-wejangan oleh Prof. K.H. Drs. Yudian Wahyudi M.A. Ph.D selaku rektor UIN Suka Yogyakarta yang bukan kebetulan beliau juga tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. "Setiap manusia adalah pemimpin,  dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertangung jawaban. Begitu juga dengan amanat. Kalian memilih beasiswa ini juga merupakan bagian dari amanat negara." tegas bapak rektor sembari mengutip beberapa hadis nabi.
Selain pembrian wejangan oleh rektor Uin Suka, peserta OMB juga diberi beberapa arahan oleh Dr. Ainurrofiq, M.Ag. selaku Kasubdit Pemberdayaan Santri Direktorat PD Pontren Dirjen Pendis Kemenag RI. " Meski kalian kini telah menjadi seorang mahasantri, namun jangan sampai kalian meninggalkan tradisi-tradisi yang sudah kalian istiqomahkan sewaktu di pesantren asal." pesan belia. OMB PBSB Uin Suka diakhiri dengan kegiatan out bound di desa wisata Karang Asri yang berlokasi di Dusun Karanggeneng Purwobinangun Pakem Sleman Yogyakarta,

Sabtu, 13 Agustus 2016

Selamat Mengikuti Orientasi, 2016 Kami.

Selamat Mengikuti Orientasi, 2016 kami
oleh: Triyanti Nurkhikmah

Menjadi bagian dari mahasiswa PBSB, apalagi UIN Sunan Kalijaga, merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Kuliah gratis tanpa berpusing ria dengan UKT dan tetek bengeknya, masuk organisasi keren bernama CSSMoRA, dapat Living Cost setiap bulannya, dan kerennya lagi tetap nyantri di tengah hiruk pikuk Kota Istimewa. Ehh, ternyata satu persatu, adik kelas sudah mulai menginjakkan kaki ke Kota Istimewa. Sugeng Rawuh
Setelah melewati berbagai tahap, akhirnya terpilihlah 30 mahasiswa PBSB UIN Sunan Kalijaga angkatan 10 yang terdiri dari jurusan Ilmu Hadis dan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang mengikuti kegiatan orientasi. Menjadi mahasiswa sekaligus santri bukanlah hal yang mudah, namun tak perlu dipersulit juga. Dan hal awal yang harus dilewati adalah “adaptasi”. Ya, kata familiar bagi siapapun yang menjadi bagian baru dalam suatu organisasi, tempat, ataupun perkumpulan lainnya. Tak luput pula adik – adik angkatan 10 ini. Tapi tenang, Dik. Dijamin bisa stay cool deh mengadapi persoalan yang satu ini. Beress.. ada MATRIKULASI.
Matrikulasi: menjadi satu dalam balutan Mahasantri
Kalau kawan – kawan cari di KBBI, kata matrikulasi mempunyai arti pendaftaran calon atau pelamar yg diterima di perguruan tinggi. Namun apabila dihubungkan dengan orientasi, matrikulasi berkenaan arti dengan peninjauan untuk menentukan sikap yang benar. Dalam konteks PBSB, matrikulasi bertujuan untuk memperkenalkan dunia perkuliahan pada para mahasiswa baru. Hal ini diperlukan karena terdapat perbedaan ‘kehidupan sosial’ antara di pesantren yang dulu dengan pesantren-universitas sekarang.
Apa saja manfaat matrikulasi?
Pertama, ta’aruf masing – masing anggota. Kata pepatah, tak kenal maka.. ta’aruf kawan. Di matrikulasi, kita akan mengenal lebih dalam setiap anggota. Melalui berbagai game dan kegiatan yang seru tentunya, para anggota dijamin tak hanya tahu sekedar nama, namun juga berbagai hal satu sama lain. Sehingga dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan, saling memiliki, dan daya emosioanal yang kuat.
Kedua, mengenal dunia perkuliahan lebih dalam. Menjadi mahasiswa yang berasal dari pesantren dengan berbagai uba rampe nya, tentunya perlu sedikit “suntikan” agar tidak kaget dengan kehidupan perkuliahan nantinya. Di sini kita belajar berpikir kritis, berargumentasi, dan tidak takut untuk berbeda pendapat dengan guru atau dosen. Berbeda dengan di pesantren dulu, apa yang diperintahkan maka secara otomatis sami’na wa atha’na dan kita sungkan untuk meluruskan pendapat guru yang kurang sesuai.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengenal beberapa dosen yang akan mengajar di perkuliahan nanti. Di matrikulasi, peserta berpeluang mengenal lebih dalam para dosen yang menjadi pemateri, tak hanya sekedar transfer ilmu namun juga bercerita mengenai pengalaman – pengalaman emas beliau – beliau. Seru kan?
Selamat mengikuti kegiatan matrikulasi, 08 – 14 Agustus  2016 bertempat di Hotel Satya Nugraha Yogyakarta.
Selamat bersatu dalam mahasantri dan CSSMoRA angkatan sepuluh ku!




Jumat, 05 Agustus 2016

Mahasiswa: Manusia Pembelajar


Mahasiswa: Manusia Pembelajar
Oleh: Luqman Hakim
(Ketua CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga)
Masa perkuliahan merupakan fase baru bagi seorang pembelajar. Jika difase sebelumnya mereka sangat tergantung pada nilai tinggi untuk menempuh fase selanjutnya, seperti dikala SMP nilai tinggi sangat berpengaruh bagi kelanjutan studi, begitu pula ketika SMA nilai tinggi diperlukan untuk bekal melajutkan studi di universitas atau perguruan tinggi favorit, namun setelah masa perkuliahan bukan sekedar nilai yang memuaskan dibutuhkan untuk mengarungi fase kehidupan selanjutnya tetapi lebih besar dari sekedar nilai yang memuaskan.
Status mahasiswa merupakan tugas berat, sebab mereka harus mengemban amanah untuk memperbaiki masa depan bangsa, utamanya yang telah termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar (UUD 1945) yakni ikut mencerdaskan kahidupan bangsa. Perlu diketahui bahwa tidak semua anak bangsa bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, oleh karena itu mereka yang beruntung ini merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa dan mereka yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi seperti menitipkan cita-citanya kepada mahsiswa.
Dari pengamatan dan pengalaman di perguruan tinggi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengarungi masa pendidikan tinggi. Sudah hampir semua orang menekankan pentingnya prestasi akademik, maka satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah kemampuan leadership (kepemimpinan) yang mana dunia kampus merupakan lahan empuk untuk mengasah kemampuan itu yakni dengan berorganisasi. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan menganalogikan kehidupan didunia perkampusan seperti halnya kolam renang yang mana mahasiswa belajar berenang (organisisasi dan leadership) didalamnya, sedangkan kehidupan setelah masa mahasiswa bagaikan laut lepas. Disini mahasiswa dituntut memilih apakah mau belajar “berenang” langsung dialaut lepas atau dikolam renang yang notabene kedalamanya terukur dan tentu resikonya juga lebih bisa diminimalisir. Maka masih kata Anies akan merugi jika seorang mahasiswa tidak ikut mengasah diri dengan berorganisasi karena hampir pasti dalam masa setelah pendidikan tinggi atau dikehidupan masyarakat, sangat jarang ada orang yang menanyakan berapa IP (Indeks Prestasi) yang didapat semasa kuliah tetapi yang akan ditanyakan lebih dari itu, namun juga nilai akademik tidak bisa dikesampingkan karena nilai akademik juga sangat penting adanya.
Jika diperhatikan lebih jeli lagi, pada masa pendidikan tinggi terdapat dua kutub yang berbeda, sama penting dan keduanya bersinggungan, yaitu prestasi akademik tak dipungkiri lagi urgensinya dan merupakan indikator kesuksesan riil seorang mahasiswa. Di lain sisi kamampuan leadership yang diperoleh dari pengalaman berorganisasi merupakan hal yang tak boleh dianggap sepele. Oleh karena itu, kembali mengutip kata-kata Anies Baswedan “seorang mahasiswa harus memiliki double track yakni trek akademik dan trek kepemimpinan”.
Perlu persiapan yang matang dan usaha ekstra dalam menyongsong masa depan yang tantangannya semakin beragam. Persiapan yang matang dilakukan pada saat menjadi mahasiswa. Selain pentingya double track dibutuhkan manusia-manusia pembelajar, manusia yang tidak sekedar berwawasan luas, tetapi manusia pembelajar ini mampu beradaptasi dengan hal-hal baru. Manusia pembelajar memiliki solidaritas dan empati yang tinggi terhadap sesamanya jauh dari sikap individualistis karena mereka memiliki kepekaan yang tinggi. Seorang sosialis tersohor Karl Marx lewat karya monumentalnya Das Kapital pernah meramalkan bahwa dimasa mendatang (abad 21) Sosialis dan Komunis akan “menguasai” dunia, namun ramalan seorang Marx melesat jauh dari kenyataan saat ini. Sangat mungkin dimasa depan apa yang diprediksikan di hari ini meleset jauh, dan tentunya masih banyak hal-hal yang terjadi tanpa bisa diprediksi.
Kembali kepada manusia pembelajar, dari pemaparan diatas sangat jelas bahwa mereka yang pandai bersosialisasi, memiliki link yang luas dan mampu beradaptasilah yang akan berjaya. Ibarat kata manusia yang hanya berwawasan saja tak ubahnya buku catatan tanpa pena dimana mereka hanya bisa membaca tanpa bisa menambahkan  catatan baru didalamnya. Sedangkan manusia pembelajar memiliki buku sekaigus pena yang mana mereka dapat dengan bebas menambahkan hal-hal baru yang ditemuinya.
 Dapat disimpulkan bahwa status mahasiswa merupakan beban berat, sehingga status ini seyogyanya dimaksimalkan dengan baik agar kedepanya bisa ikut andil dalam pembangunan bangsa. Anies Baswedan mengatakan menjadi mahasiswa seharusnya memiliki double track yaitu track akademik dan trek kepemimpinan, trek akademik dapat diperolah di kelas dalam perkuliahan sedangkan trek leadership diasah melalui organisasi, maka dua hal penting yang tak dapat dipisahkan ini harus diseimbangkan. Anies berpesan “jadilah aktivis” maksudnya mahasiswa harus menjadi aktivis, baik didalam maupun diluar kelas (sejalan dengan double track). Dengan zaman yang semakin sulit diprediksi maka menjadi pembelajar adalah syarat mutlak untuk bertahan dari gempuran hal-hal baru, pembelajar mampu mampu beradaptasi dalam kondisi apapun, seorang pembelajar memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fenomena maupun isu mutakhir. Maka selagi masih baru fresh dan masih banyak pilihan, tentukan apa yang kamu harapkan pada dirimu 10 atau 20 tahun mendatang, apa peranmu ditahun itu lalu apa andilmu untuk bangsa ini di masa depan. 
Selamat datang mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi UIN SUKA Jogja 2016.
1. Alif Jabal Kurdi
2. M. Alan Juhri
3. Mayola Andika
4. Ahmad Ahnaf 
5. Andy Rosyidin
6. Putri Adelia
7. Saipul Hamzah
8. Nur Azka Inayatussahara
9. M. Khoirul Hakim
10.  M. Rafi 
11. Ainil Atiqoh
12. Nuzul Fitriansyah
13. Rachma Vina Tsurayya
14. Mas'udah
15. In'amul Hasan
16. Riri Widya Ningsih
17. Isbaria
18. A. Musawir
19. Nanang Suparlin
20. Hayatun Thaibah
21. Rike Luluk Khoiriyah
22. Taufik Kurahman
23. Najiha Sabrina
24. Yeni Angelia
25. Abdul Halim Ahmad
26. Ahmad Ziya'ul Haq
27. Isna Fitria Ningsih
28. M. Abdul Hanif
29. Fina Fatimah.

Kamis, 04 Agustus 2016

Annas Rolli Muchlisin, Mahasantri yang Menjadi Pembicara International Conference of Pesantren 2016

           Annas Rolli Muchlisin, Mahasantri yang Menjadi Pembicara International Conference of Pesantren 2016



Annas Rolli Muchlisin, adalah mahasantri Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga yang mendapatkan beasiswa Program Santri Berprestasi (PBSB) dari Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2014.
            Ia merupakan salah satu mahasantri yang cukup banyak menorehkan prestasi, terkhusus dalam karya ilmiah. Berawal dari dorongan dan motivasi salah seorang dosen yang memaksa ia harus menulis. “Awalnya saya dipaksa menulis, tapi setelah itu saya pun menjadi ingin terus menulis”, terang Annas pada saat ia di tanya tentang motivasinya menulis.
Semenjak itu, pengagum Azyumardi Azra itu pun gencar menulis, dan hasilnya ia mendapat kesempatan menjadi pembicara di beberapa tempat. Sebelumnya, pada tahun 2014, ia menyabet juara I lomba debat Bahasa Inggris yang diadakan oleh SPBA UIN SUKA,kemudian pada tahun 2015 mendapatkan juara I lomba debat Bahasa Inggris MQK se-Jogjakarta. Ia juga menjadi pembicara seminar dan call paper dengan tema “Trend Kajian Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Indonesia” pada 28 April 2016 di Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora. Pada saat itu, ia mempresentasikan tentang Penafsiran Kontekstual : Studi atas Konsep Hierarki Nilai Abdullah Saeed. Annas juga meraih juara I dalam lomba karya ilmiah al-Qur’an se-Nusantara bersama Khairun Nisa yang diadakan oleh UPTQ UIN Sunan Ampel pada tahun yang sama.
Pada 29-30 Juli 2016, Annas berkesempatan menjadi pembicara dalam acara “First International Conference of Pesantren (Islamic Boarding School) Management and Development Towards Globalization”yang bertempat di gedung rektorat lantai 5 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.Pada kesempatan itu, Annas mempresentasikan tentang A Dilema of Pesantren. Between Tradition and Modernity (Case Study of PP. Al-Munawwir) (baca makalah selengkapnya disini).Dalam konferensi tersebut, dihadiri oleh beberapa tokoh Muslim, seperti Dr. KH. Hasyim Muzadi, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Prof. Dr. Muhammad Chirizin dan beberapa tokoh Muslim dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia dan Libya. Dan menariknya,Ini merupakan kali pertama bagi Annas menjadi  pembicara pada konferensi internasional yang di adakan di UIN Malang tersebut.
Tidak hanya berhenti di situ, pada 26-27 Oktober 2016 mendatang, ia akan menjadi pembicara pada acara International Conference on Middle East and South East Asia (ICoMS) dengan judul Towards A Fresh Understanding of Jihad Verses: Chronology of Relevation and Semantics-Based Study di Universitas Sebelas Maret.
“Pengen ke luar negeri”. Itulah kata yang terucap dari lisan anak muda tersebut. Perjuangannya sejalan dengan pepatah “perjalanan seribu langkah dimulai dengan satu langkah”. Jadi, dimulai dari dalam negeri, kemudian berlanjut ke luar negeri. Ia juga berpesan kepada para mahasiswa lain agar terus belajar, dan yang terpenting katanya adalah “jadilah yang terbaik di passionmu”, ungkapnya yang disertai dengan senyuman khasnya.
Ditulis oleh: Anshori

Fahmi Ibnu Faiz, Mahasantri Yang Menjadi Pembicara Borneo Undergraduate Academic Forum

Fahmi Ibnu Faiz, Mahasantri Yang Menjadi Pembicara Borneo Undergraduate Academic Forum
By: Annas Rolli M
Fahmi Ibnu Faiz adalah mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga yang mendapatkan beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dari Kementrian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2014.
Dengan tekad dan semangat tinggi, ia telah membuktikan bahwa santri juga mampu menjadi pembicara di konferensi ilmiah. Itulah acara Borneo Undergraduate Academic Forum (BUAF) yang diadakan oleh Konsursium PTKIN Wilayah Kalimantan yang terdiri dari IAIN Pontianak, IAIN Antasari, IAIN Samarinda, dan IAIN Palangkaraya. Konferensi ini merupakan temu ilmiah mahasiswa yang mengkaji tentang Islam di wilayah Nusantara dan dunia yang diselenggarakan dengan skalainternasional.Turut hadir dalam konferensi ini Prof. Dr. Sumanto al-Qurtuby (Professor Antropologi Universitas King Fahd Saudi Arabia), Hadenan Towpek, Ph.D (Dosen Senior UITM Serawak Malaysia), Suhana Sarkawi (Dosen Universitas Malaya), dan tokoh-tokoh lainnya.
Ada puluhan karya tulis mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang dikirimkan untuk dipresentasikan dalam acara ini, namun hanya 27 karya yang diterima, salah satunya adalah karya Fahmi Ibnu Faiz yang berjudul Konsep Nasionalisme Perspektif Islam (Studi Hadis dengan Pendekatan Sosial). Dalam acara ini pula, wakil rektor III UIN Sunan Kalijaga Dr. H. Waryono M.Ag terlihat sangat mengapresiasi prestasi Faiz bahkan beliau sendiri hadir dan mendampingi Faiz saat acara konferensi berlangsung.
Saat ditanya bagaimana kesan menjadi pembicara di konferensi tersebut, Faiz menjawab dia sangat senang sekali.  “Nanti kalau sudah ikut acara seperti itu dan bertemu dengan orang-orang hebat di sana maka motivasi kita akan bertambah”, pungkasnya. Adapun ketika ditanya apa motivasinya, Faiz menjawab “Saya hanya ingin orang tua saya bahagia dan saya makin semangat lagi”. Terakhir dia berpesan agar mahasantri lainnya jangan mudah menyerah, jangan mudah bosan terhadap sesuatu, dan latih dirimu.
Acara ini berlangsung di IAIN Pontianak dari tanggal 1 sampai 4 Agustus 2016. Setelah konferensi berakhir, semua pembicara diajak panitia jalan-jalan ke tempat wisata. “Kami jalan-jalan ke Tugu Katulistiwa, pabrik Lidah Buaya, dan Istana Alqadir”, kata Faiz dengan nada yang sangat bahagia.