"Etika Bermasa Lalu"
Oleh: Muhammad Irfan Faziri
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga

Dalam kesehariannya, manusia sudah semestinya saling berinteraksi dengan sesama. Bentuk interaksi ini merupakan salah satu perwujudan terhadap adanya sunnatullah. Hal ini juga yang melatar belakangi penyebutan terhadap kaum adam dan hawa sebagai “makhluk sosial”. Implementasi terhadap penyandangan gelar "makluk sosial", menjadikan umat manusia mau tidak mau harus saling mengenal dan tegur sapa terhadap setiap manusia yang ada di sekelilingnya.
Dewasa ini, kesadaran akan pentingnya berinteraksi tidak jarang malah seakan-akan menjadi alat legitimasi untuk menemukan calon ibu buat anak-anak (kita) atau calon ayah buat anak-anak (kita). Kenyataan seperti itu tentu tidak bisa dipungkiri lagi. Pasalnya, Tuhan sebagai Sutradara juga sudah menetapkan peranan kaum hawa sebagai pelengkap dan penyempurna terhadap kaum adam. Hanya saja, alasan pelangkap dan penyempurna ini acap kali disikapi secara tidak wajar oleh mereka yang bisa dikatakan sebagai makluk yang kurang pengalaman dan wawasan dalam hal percintaan (labil).
Secara general, pacaran bisa menjadi suatu pilihan yang sangat positif atau bahkan teramat negatif. Positif jikalau dengan adanya ikatan tersebut menjadikan kedua belah pihak sama-sama merasa diuntungkan. Contoh sederhananya mereka mengoptimalisasikan adanya ikatan tersebut dengan bentuk saling memberi motivasi dan dorongan untuk terus maju, berkembang, dan berkarya. Adapun efek negatifnya ialah tatkala mereka terlalu berlebihan dalam menyikapi kisah cintanya – yang katanya - begitu syahdu. Setiap detik, tidak ada yang ia pedulikan dan fikirkan kecuali si do'i. Sikap yang kurang kontrol tersebut berimbas pada makhluk-makhluk di sekelilingnya. Mereka menjadi acuh tak acuh, bahkan lupa terhadap keberadaan makhluk-makhluk tersebut. Pada saat seperti itu lah, secara tidak sadar mereka telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Lebih parahnya lagi, tatkala di antara mereka berdua sudah terlalu nyaman dengan hubungannya –pacaran—, namun tiba-tiba datang orang ke tiga pelaku utama (penikung). Orang ketiga tersebut berani bersikap seperti itu dengan dalih banyak hal, di antaranya dengan semboyannya yang sangat liberal, yakni "Sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan untuk menikung". Seketika itu, pihak yang dirugikan (ketikung) bisa dipastikan mengalami shock berat. Bahkan kondisi jiwa tersebut tidak dapat digambarkan dengan apapun. Situasi yang sedemikian rumit nan pilu tidak jarang menjadikan pihak yang ketikung seolah-olah hidup segan, mati tidak mau. Ia terlihat bak anak burung yang ditinggal induknya. Tak tau arah dan tujuan mungkin menjadi bukti kongkritnya.
Dalam perspektif kaum dewasa, sikap tersebut tentu bukan menjadi suatu solusi yang solutif. Pasalnya jika demikian, pihak yang merasa dirugikan, disakiti, dan dikhianati akan menjadi sosok pendendam dan juga akan berimbas pada sikap dan perilaku kedepannya. Selain itu, apabila masa lalu –yang bisa dikatakan suram— tidak disikapi secara dewasa sedikit banyak akan mengangu proses belajarnya —bagi yang masih berakademisi—, atau menganggu pekerjaannya —bagi yang sudah bekerja—. Alangkah bijaknya apabila ia berkenan untuk mengambil hikmahnya, yakni menjadikan masa lalu sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi untuk kedepannya. Dan kiranya perlu berucap "Jika ini yang terbaik, maka pergi dan jemputlah kebahagiaanmu bersamanya. Biarkan aku di sini dengan kehampaan tanpa dirimu" di hadapannya sebagai bentuk penghibur diri dan pelipur lara. Hahaha
Reaksi: |
0 komentar:
Posting Komentar