Pengikut

Minggu, 05 Maret 2017

Gak Ilok dan Kearifan Budaya



Gak Ilok dan Kearifan Budaya
Oleh: Agil Muhammad
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga
 
 
“Nggak boleh makan pakai tangan kiri Nak, Gak Ilok”, kata-kata itu mungkin sering didengar oleh masyarakat, khususnya warga suku Jawa yang masih kental nuansa budayanya. Kata yang biasanya diucapkan oleh orang tua pada anak-anaknya. Kata ajaib yang dapat mencegah seseorang untuk mengulanginya. Kata yang mengandung nilai kearifan budaya.
Secara etimologis, kata ini berasal dari gabungan dua suku kata, yakni “Gak” dan “Ilok”. “Gak” yang berarti tidak, dan “Ilok” yang berarti baik atau pantas. Kata yang memiliki makna yang lebih luas dari katanya, atau dalam Ilmu Balaghoh tata bahasa Arab bisa dinamakan Ijaz.
Dulu waktu ku masih kecil, kukira Gak Ilok itu bermakna sama dengan Haram sebagaimana dalam hukum Fiqh, karena kata tersebut memang bermakna larangan. Tetapi ternyata budaya Gak Ilok tidak sekejam Fiqh, yang mendapatkan dosa jika melakukannya, melainkan lebih bermakna tidak pantas dalam sisi etika, meskipun dalam beberapa kasus juga bisa disamakan maknanya dengan Haram.
Gak Ilok ini mengajari seseorang untuk menaati norma dan etika yang berkembang di masyarakat setempat, karena bisa jadi di satu tempat suatu hal dianggap Gak Ilok dan tidak di tempat lain. Begitu juga katanya bisa berupa Gak Elok, Ra Ilok atau Ra Elok, tergantung pengguna bahasanya, dan tetap tidak mengurangi keistimewaan maknanya.
Ku baru menyadari bahwa Gak Ilok itu berbeda dengan Haram ya belum lama. Seperti contoh, “Gak Ilok, perawan kalo menyapu tidak bersih”. Kan kalo dipikir ya nggak ada hukum yang mengharamkan untuk menyapu tidak bersih, apalagi jika dikhususkan dengan perawan. Tetapi dalam konteks tersebut kata Gak Ilok dapat dimaknai bahwa perawan adalah masa-masa mendekati menikah. Dan seorang ibu rumah tangga sebaiknya bisa menyapu atau membersihkan rumahnya dengan baik.
Dan kata Gak Ilok terkadang dihubungkan dengan mitos-mitos yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Seperti, “Gak Ilok duduk-duduk di pintu, nanti kalo sakit susah sembuhnya”. Kalo dilogika memang nggak ada hubungannya antara “Duduk-duduk di pintu” dan “Sakit susah sembuhnya”. Tetapi kata-kata itu bisa dimaknai yakni tidak baik duduk-duduk di pintu karena dapat mengganggu orang yang lewat. Sedangkan kata-kata “Sakit susah sembuhnya” mungkin digunakan untuk menakut-nakuti saja. Dan pada realitanya, bisa benar-benar terjadi. Nggak tahu kok bisa beneran terjadi. Dan inilah dalam budaya Jawa yang dinamakan dengan kata-kata yang “Mandi” dan “Kualat” jika dilanggar.
Terkadang Gak Ilok juga bisa bermakna pelarangan seperti Haram dalam hukum Fiqh. Seperti kata, “Gak Ilok, berani sama orang tua”, yang bermakna dilarang berani dan melawan orang tua. Dan jika didalami lebih lanjut, Gak Ilok bisa saja dihukumi layaknya Haram, karena dalam sumber hukum Islam dikenal yang namanya ‘Urf, yakni adat atau budaya setempat. Dan orang yang melanggar Gak Ilok bisa dianggap melanggar norma dan etika yang dapat merugikan orang lain, dan inilah penyebab keharamannya.
Gak Ilok dapat mengklasifikasi antara perbuatan yang pantas dan tidak pantas dengan pembawaan yang merasuk dari hati ke hati. Karena itulah meskipun pelarangan terkadang tidak rasional karena tidak diketahui alasan pelarangannya, tetapi tetap saja ditaati untuk tidak mengerjakannya.
Para orang tua kita dalam melarang juga tidak secara tegas menggunakan kata Haram yang bisa menakutkan dan seakan selalu menyalahkan. Coba kita lihat bagaimana realita yang terjadi di media-media saat ini, mereka apabila melarang sesuatu yang dirasa tidak cocok menurut pandangan mereka, seringkali dengan tegas menggunakan kata penghakiman tersebut. Padahal terkadang yang dipermasalahkan adalah perkara yang khilafiyah.
Berbeda dengan penggunaan Gak Ilok yang menggunakan kata-kata dengan penuh kearifan, mendidik dan kasih sayang. Dan orang yang menerima kata Gak Ilok merasa dinasehati dan tidak disalahkan, melainkan ditunjukkan jalan yang lebih benar.


   Karena itulah tidaklah sepantasnya agama dan budaya untuk dipisahkan. Sebagaimana kata-kata yang pernah kudengar dari Cak Nun, yakni agama dan budaya bukanlah perkara yang ada untuk dibedakan, karena memang bukanlah bahan yang tepat untuk dibedakan. Tetapi agama dan budaya ada untuk melengkapi kemesraannya satu sama lain.

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar