Belajar Move On Pilkada dari Rivalitas Sepak Bola
Mutawakkil Hibatullah
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga

Rasanya sudah sangat cukup lelah dan menguras banyak energi kontestasi pilkada yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada DKI tersebut dianggap yang paling menyita perhatian dari berbagai aspek, berbagai dimensi serta berbagai lapisan masyarakat. Banyak para peneliti dari berbagai media bahkan mengatakan bahwa pilkada ini rasa Pil-Pres bahkan bisa jadi lebih. Hal ini bisa terbukti dari banyaknya sorotan media dari awal masa kampanye hingga tanggal 19 April kemarin ketika secara konstitusional warga Jakarta menggunakan hak pilihnya. Bahkan bisa jadi dimulai semenjak salah satu “kasus” yang menimpa Ahok terjadi hingga saat ini masih kita semua rasakan.
Secara pribadi, saya tidak akan membahas apakah Ahok telah menista atau tidak terhadap al-Qur’an. Saya juga tidak akan membahas apakah terjadi politisasi dari pihak Anies terhadap kasus yang sedang dijalani oleh Ahok. Karena “mungkin” jika saya membahasnya akan menimbulkan sentimen dari kedua pihak tersebut, selain memang bukanlah menjadi kapasitas saya untuk masuk kedalam ranah-ranah yang begitu dinamis dan fleksibel terebut. Dan bisa jadi juga akan menambah ke-sakit hati-an dari para supporter yang belum move on dari Pilkada tersebut.
Ketika kontestasi serta kompetisi ada dimanapun dan kapanpun, maka sudah menjadi hal yang lumrah bahwa ada pihak pemenang dan juga pihak yang kalah. Anggaplah bahwa Pilkada ini merupakan pertandingan sepak bola yang rivalitasnya sudah tak bisa di sanksikan seperti pertandingan antara Barcelona vs Real Madrid (Spanyol), Manchester United vs Liverpool (Inggris), Ac Milan vs Inter Milan (Italia), serta Bayern Munchen vs Borussia Dortmund (Jerman). Atau dalam kompetisi sepak bola kita pertandingan antara Persib vs Persija atau Arema vs Persebaya yang tidak kalah seru serta menegangkannya.
Saya ambil contoh satu yaitu pertandingan antara Barcelona vs Real Madrid. Harus diakui bahwa rivalitas Barcelona dan Real Madrid merupakan yang terbesar atau salah satunya yang ada dalam dunia sepak bola. Perhatian para pecinta sepak bola juga saya yakin banyak yang tidak mau meninggalkan pertandingan tersebut walau dari pendukung tim lain, misal Manchester United, seperti saya. Selain karena kesejarahannya yang sangat melekat, juga karena prestasi dan prestise yang ditonjolkan kedua tim dalam dunia sepakbola. Pemain-pemain hebat lahir, juara di berbagai kompetisi eropa dan dunia, serta basis suporter dan penghasilan tim yang begitu luar biasa. Rivalitas dua tim tersebut tersaji dalam laga yang bertajuk el-Classico setiap tahunnya.
Lalu yang jadi pertanyaan, apa hubungannya dengan pilkada DKI tersebut ? Jawabannya mari kita urai bersama. Sudah sedikit disinggung di atas bahwa Pilkada yang terjadi tak ubahnya seperti laga el-Classico dimana perhatian masyarakat khususnya para penikmat sepak bola terfokuskan. Tak peduli dari kalangan elite atau bawah, kanan atau kiri, atas atau bawah semuanya menikmati dengan seksama hingga pertandingan usai. Adalah hal yang sudah menjadi kewajaran jika selama pertandingan para pemain dilapangan memiliki tensi tinggi bahkan tak terkecuali kepada para penonton yang mungkin banyak “ngenyek” pemain padahal belum tentu dia bisa. Hal ini tentu adalah sebuah hal yang sangat lumrah dalam pertandingan sepak bola apalagi jika mengingat rivalitas kedua tim ini begitu extra ordinary.
Namun yang menarik dari el-Classico ini adalah ketika kompetisi La Liga atau Liga Champion usai. Atau lebih jelasnya ketika ada kompetisi EURO atau Piala Dunia. Pemain-pemain yang berasal dari Barca atau Madrid tersebut bisa bersama-bersama membela negaranya tanpa memandang apakah dia dari Barca atau Madrid. Bahkan bisa dibuktikan bahwa Negara Spanyol pernah meraih kejayaan di tahun 2008, 2010, dan 2012. Inilah yang sekiranya penting untuk kita ambil hikmahnya. Bagaimanapun atau seketat apapun Pilkada yang terjadi, mari kita move on jika kita sudah kembali dalam membangun daerah serta membela negeri kita tercinta.
Begitu juga rasanya rivalitas dalam banyak tim-tim yang telah disebutkan diatas, tak terkecuali tim-tim sepakbola yang ada di negara kita. Ketika para pemain yang diambil membela tanah airnya, maka yang akan muncul adalah nasionalisme bukan justru egoisismenya. Karena ketika sudah menjadi bagian dari sebuah negara, wilayah, daerah, siapapun pemimpinnya harus didukung dan jika ada kesalahan harus diingatkan bukan malah dibesar-besarkan. Karena lagi-lagi ini karena bagi kemajuan bersama dan daerahnya bukan sebagian golongan. Tak perlu lagi kiranya ada patah hati atau eufooria berlebih hanya gara-gara pilkada. Karena yang terpenting persaudaraan dan rasa kebersamaan masih tetap terjaga sebagaimana sebelumnya. Lebih apalah-apalah jika kita bukan warga Jakarta tapi ikut baper. Bisakah kita seperti itu? atau kita kalah dari hanya “sekedar” pertandingan sepakbola? Salam Glory Glory Manchester United…