Surat untuk Para Kekasih
(Halaman Terakhir)
Oleh: M. Basyir F.M.S.*
Minggu lalu (21/5), sebuah motor menyeret saya dari tempat tidur sampai puluhan kilo jauhnya. Sendiri, saya duduk di atas sadel, hingga akhirnya saya terdampar di sebuah bukit. Candi Barong, begitu orang-orang menyebutnya. Entah mengapa saya selalu bersedia tiap kali ada tarikan seperti ini. Padahal, saya sama sekali tidak suka rekreasi wa akhwatuha.
Tarikan yang saya maksud adalah ajakan untuk sengsara bersama para pengurus Departemen Jurnalistik CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga. Sering sekali tarikan itu saya terima. Benar saja saya begitu sengsara. Karena tiap kali menerimanya saya selalu sadar bahwa ini takkan terjadi dalam waktu yang lama.
Ya, semua sudah berakhir. Saya sudah tidak bisa bersama mereka lagi. Saya sangat benci pada waktu yang harus mempertemukan kami. Saya juga sangat tidak menyukai tempat yang telah menyatukan kami.
Tetapi, minggu itu benar-benar menghibur saya. Kami berkumpul untuk terakhir kalinya, juga ditemani oleh pendiri yang tercipta sebelum kami. Biasanya kami hanya berenam, namun kemarin kami bersepuluh. Rasanya, saya seperti diberi salam perpisahan dengan suguhan istimewa, lebih nikmat dari meneguk corona di saat salju tiba maupun menghembuskan surya tatkala hujan tak kunjung reda.
Belasan keberhasilan dan puluhan kegagalan dalam setahun terakhir telah memberikan arti yang membekas dalam hati nurani. Bayangan bahwa para akademisi akan selalu menyakiti jiwa aktivis dalam diri saya rupanya sama sekali tidak nyata. Selama persamaan ditemukan dan nafsu persaingan dikesampingkan, semua akan menjadi nikmat yang tak tergambarkan.
Seluruh anggota PBSB UIN Sunan Kalijaga telah saya anggap kekasih walau itu munafik. Karena pada akhirnya akan ada kekasihnya kekasih, kekasih dari kekasihnya kekasih, kekasihnya kekasih dari kekasihnya kekasih, dan begitu seterusnya. Namun sungguh, mereka akan tetap menjadi kekasih meski pada tingkatan yang jauh dari belas kasih.
Maka saya pikir tidak harus menjadi kekasih tingkat pertama untuk bisa bersama-sama. Saya bukan kekasih tingkat pertama bagi mereka berlima, begitupun masing-masing kebalikannya. Namun ketika kami benar-benar telanjang dari ego dan kesombongan, kami menjadi urat nadi bagi masing-masing dari lainnya. Dan kami bukanlah satu-satunya. Banyak komplotan lain yang melakukan hal setara atau bahkan lebih baik sejatinya.
Sebentar lagi beberapa tempat akan menyatukan sejumlah insan lagi, seperti kami dan beberapa keluarga lain pada periode sebelumnya. Sebagaimana pada umumnya, dalam hal semacam ini pengalaman jauh lebih berharga dari kecerdasan dan tetek bengek lainnya. Maka diharapkan orang-orang yang telah sempat menyusun kekeluargaan di masa lalu, agar melakukan hal yang, setidaknya, serupa di masa selanjutnya.
Sementara itu, para pendatang baru bukanlah bayi yang belum bisa berbicara. Mereka telah memiliki jalan hidup masing-masing dengan aneka ragam keberhasilan dan kegagalan. Maka seharusnya mereka tahu bahwa ada yang pantas dan tidak sama sekali bagi diri mereka. Dengan mengetahui dan menurutinya, kelak takkan terjadi salah alamat maupun sejenisnya.
Pada rumpi minggu itu, para sesepuh kami telah berbagi begitu banyak cerita dan derita. Seikat nasehat mereka sumbangkan pada kami agar dapat terhindar dari luka tak berdarah. Juga sebungkus doa mereka sedekahkan supaya kami dilindungi dari sikap acuh tak acuh yang terkutuk.
Layaknya orang tua tentu mereka berharap kami dapat lebih baik dari sebelumnya. Karena keberhasilan suatu masa dapat disahkan dengan suksesnya penerus mereka dalam melebihi para pendahulunya. Maka setiap anak berhutang untuk mengabulkan harapan tersebut. Meski tidak dicatat, tapi tetap harus dibayar. Karena harga diri adalah taruhannya.
Wahai para kekasih, dari selatan sampai utara, ijinkan kusampaikan salam terakhir untuk seluruh kalian, sebelum ditutupnya kotak kenangan. Yang katanya pendahulu, lepaskan genggaman kalian pada tangan kami, tapi jangan sekali-kali lupakan kami. Yang katanya penerus, berjalanlah ke depan walau perlahan, tapi jangan pernah nyerong ke samping, lebih-lebih mundur ke belakang, apalagi menghilang.
One thing you should remember, masa lalu memang telah menghadirkan pertikaian di antara semuanya. Adu mulut, berbicara di belakang, perang media sosial, mungkin pernah memisahkan aku, engkau, dan dia. Namun sebagai santri, tentu semuanya bukan termasuk (meminjam bahasa Mas Akil) generasi baper, kan? Jadi, sudikah tetap menjadi kekasih? Wallahu a’alamu bi al-shawab…
Hormat Kami…
*Staf Departemen Jurnalistik CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga masa bakti 2016-2017.