Ideologi Puasa
Oleh : Ahmad Ahnaf Rafif
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga
Mahasiswa IAT 2016

Baik tidaknya ibadah puasa seseorang di bulan Ramadan, bisa dilihat nanti ketika Ramadan telah berlalu, apabila puasa telah menjadi ideologinya. Puasa telah menjadi rutinias ibadah Muslim setiap tahun, dimana saat bulan Ramadan, umat Islam diminta meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayangnya, itu hanya berlangsung selama tiga puluh hari. Fenomena yang terjadi di masa sekarang ini menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam terhadap ‘puasa’ hanyalah ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan. Hal itu ada kaitannya dengan tatanan kehidupan manusia di masyarakat hingga negara yang masih amburadul.
Di dalam puasa, terdapat hal yang jauh lebih penting dari hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, yakni melatih hawa nafsu. Meninggalkan makan dan minum hanyalah satu diantara sekian cara untuk melatih nafsu yang terletak di perut. Dalam banyak riwayat diterangkan bahwa puasa seseorang akan tiada gunanya apabila tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan keji, yang apabila dikontekstualisasikan dalam dunia mahasiswa bisa berupa berbohong, berbuat curang saat ujian, atau berbuat plagiasi. Dalam konteks kemasyarakatan bisa digambarkan dengan ghibah, mengadu domba, atau riya’, dan dalam konteks pemerintahan dapat berupa perbuatan tidak adil, suap menyuap, atau penggunaan jurus ‘ajimumpung’.
Hal tersebut bisa dianalogikan dengan puasanya beberapa binatang yang juga berpuasa untuk kelangsungan hidupnya, contohnya yaitu ulat dan ular. Apabila seekor ulat baru menetas dari telurnya, ia akan langsung memakan daun-daun disekitarnya tanpa henti. Saat waktunya tiba, ia akan mempuasakan dirinya dengan baik dan benar bil-istiqamah, agar hasil yang didapatkan maksimal. Di dalam puasanya, ulat tersebut berusaha melatih nafsu, hingga sampai waktunya tiba, ia akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Seandainya ulat tersebut tidak mampu menahan nafsunya, niscaya ia tidak akan menjadi kupu-kupu yang sempurna. Ketika telah bermetamorfosa, kupu-kupu tadi telah terlatih nafsunya. Ia telah berubah dari yang sebelumnya sangat konsumtif, menjadi pribadi yang sangat sederhana (ketika telah menjadi kupu-kupu, si ulat tidak lagi memakan daun, namun hanya menghisap madu), serta bertransformasi menjadi makhluk yang menguntungkan makhluk lain (ketika menjadi ulat, ia banyak memakan daun sehingga dianggap hama bagi petani, dan ketika menjadi kupu-kupu, perilakunya berubah menjadi hewan yang membantu proses penyerbukan pada bunga). Dan inilah yang diharapkan oleh Allah kepada orang-orang yang berpuasa. Dalam ayat-Nya Allah berfirman “La’allakum tattaqun”, “agar kalian menjadi orang yang bertakwa”, agar manusia menjadi kupu-kupu yang indah di tengah masyarakat, memberi manfaat kepada makhluk lain, bahkan ketika mati pun ia akan dikenang oleh orang banyak karena ‘keelokannya’. Sebaliknya, puasa yang hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan haus, seperti yang dilakukan ular. Ketika waktu berganti kulitnya tiba, ular akan berhenti memangsa (berpuasa), dan setelah kulitnya berganti, ular tersebut akan beraktifitas kembali seperti biasanya tanpa ada perubahan, kecuali hanya ‘baju baru’.
Saat bulan Ramadan tiba, segala bentuk ideologi yang melekat pada diri manusia: ‘materialis, konsumtif, kapitalis, perfeksionis, melankolis, modernis, hedonis’, dan apa pun itu yang berorientasi pada keduniaan disarankan untuk dilepas sejenak, dan diganti dengan ideologi shaumis yang berorientasi pada pengendalian nafsu. Seandainya puasa telah menjadi ideologi –bukan hanya saat di bulan Ramadan- dan mengalir dalam jiwa seseorang, niscaya tatanan kehidupan bermasayarakat dan bernegara akan baik, serta akan membuat agama, bangsa, dan negara akan maju. Sebab tidak akan ada lagi yang memperdebatkan siapa yang benar siapa yang salah, melainkan akan terciptanya masyarakat yang saling memahami dan menerima perbedaan, para penyebar berita hoax tidak lagi menyebar berita fitnahnya, melainkan akan menyebarkan berita-berita yang bersifat membangun dan saling menguntungkan, kaum-kaum proletar tidak lagi merasa minder dengan kelompok materialis, sebab mereka saling berbagi, para petinggi tidak lagi memuaskan dirinya sendiri, sebaliknya mereka berlaku adil dan tidak menzalimi rakyatnya, serta tidak ada lagi yang berprasangka buruk satu sama lain, sebaliknya masyarakat akan ber-husnuzhan baik antar sesama teman, kerabat, golongan, kelompok, maupun antara bawahan-atasan, guru-murid, orang tua-anak, ataupun rakyat-pemerintah.
Reaksi: |
0 komentar:
Posting Komentar