
(Kru Sarung)
Setiap bulan Ramadhan di setiap tahun, masyarakat Indonesia khususnya umat muslim tak pernah ketinggalan untuk mengadakan perayaan pada hari ke-17 dari bulan Ramadhan yang masyhur disebut dengan peringatan Nuzulul Qur’an. Pada umumya, masyarakat muslim awam Indonesia masih memahami bahwa Nuzulul Qur’an yang terjadi pada malam ke-17 dari bulan Ramadhan merupakan satu-satunya malam di mana al-Qur’an diturunkan. Namun, ada pula beberapa masyarakat dari kalangan terpelajar yang sudah memahami maksud dari nuzulul Qur’an pada malam ke 17 dari Bulan Ramadhan. Maka tak heran bila kebanyakan muballigh ataupun penceramah yang diundang untuk memberikan mauizhah hasanah pada acara perayaan malam nuzulul Qur’an senantiasa menyampaikan materi yang menjelaskan bahwasanya al-Qur’an diturunkan melalui dua periode. Pertama, al-Qur’an diturunkan dalam satu kesatuan pada malam ke-17 Ramadhan (tepatnya malam laylatul qadar) dari Lauh Mahfudz ke langit dunia (sama’i ad-dunya). Kedua, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dari langit dunia ke bumi dengan cara berangsur-angsur dan dalam kurun waktu 23 tahun.[I]
Dalil yang menjelaskan dua periode penurunan al-Qur’an ini pun sudah sangat jelas dan telah banyak dijelaskan oleh ulama tafsir. Periode pertama di mana al-Qur’an diturunkan secara langsung dalam satu kesatuan dipahami dari QS. Al-Qadr:1 yang berbunyi:
إنا أنزلناه في ليلة القدر
Sesungguhnya kami menurunkannya (al-Qur’an) pada malam laylatul qadr
Para ahli tafsir dalam berargumen bahwasanya ayat ini merupakan ayat yang menunjukkan penurunan al-Qur’an pada satu waktu dalam satu kesatuan menggunakan pendekatan linguistik. Yaitu memperhatikan shighat atau formula kata kerja yang dipakai dalam ayat ini untuk mewakili makna menurunkan. Dalam ayat ini Allah Swt menggunakan kata kerja untuk mengungkapkan maksud menurunkan dengan kata أنزلنا. Dalam ilmu sharaf penggunaan kata kerja ini mempunyai implikasi tersendiri dalam hal proses berlangsungnya kata kerja. Dengan dipakainya shighat kata kerja ini maka terkandung pengertian bahwasanya penurunan terjadi sekali saja berbeda halnya jika menggunakan shighat نزّل yang berarti menurunkan berkali-kali dan tidak dalam sekali waktu.[II]
Pada tulisan ini, penulis akan membahas nuzulul Qur’an dengan mengerucut pada periode yang kedua, yaitu penurunan al-Qur’an yang terjadi secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun atau selama Nabi Muhammad menyampaikan risalah kenabian kepada Jazirah Arab sejak kenabiannya pada usia 40 tahun. Dalam kitab at-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an karya Imam as-Shabuni dijelaskan bahwasanya salah satu hikmah dibalik turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah agar dapat menyesuaikan jalannya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad setelah diutus menjadi rasul.
Para peneliti al-Qur’an dari Barat khususnya yang bernama Angelika Neuwirth telah menemukan pendekatan lain dalam penafsiran al-Qur’an yang berangkat dari keadaan al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur sesuai persitiwa yang melatarbelakanginya (asbabunnuzul). Beliau menawarkan sebuah penafsiran yang berlandaskan urutan ayat turun (tartib nuzuli) dengan berpandangan bahwa ayat al-Qur’an menyimpan proses komunikasi dan dialog pada masa diturunkannya. Sebelumnya perlu diketahui bahwasanya al-Qur’an menurut penelitinya baik dari dunia muslim maupun Barat membaginya sesuai masanya menjadi dua kategori, pra-canonical dan post-canonical. Pra-canonical adalah al-Qur’an ketika Nabi Muhammad masih hidup dan dibacakan kepada para sahabat. Sedangkan post-canonical adalah al-Qur’an yang sudah dikodifikasi oleh para redaktur Qur’an hingga hingga dalam bentuknya yang seperti sekarang. Meskipun kanonisasi teks adalah sebuah keniscayaan, Neuwirth menekankan beberapa implikasi dari proses ini dalam al-Qur‘an. Pertama, tercerabutnya al-Qur‘an dari konteks sejarah lahirnya. Al-Qur‘an yang semula merupakan komunikasi horizontal menjadi vertikal dan linier (antara reader dan Tuhan) setelah kanonisasi. Kedua, unit surat yang semula menjadi satuan unit komunikasi menjadi kabur ketika dia disejajarkan dengan yang lain. Ketiga, kaburnya karakter bahwa al-Qur‘an lahir secara berangsur-angsur. Singkatnya, kanonisasi telah menjadikan al-Qur‘an terdehistorisasi. Ketika al-Qur‘an telah berbentuk seperti sekarang, yang menonjol bukan lagi karakter menyejarahnya sebagaimana dia dahulu hadir di tengah-tengah bangsa Arab, tetapi karakter timelessnya.
Jadi secara tidak langsung nuzulul Qur’an yang berangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun ini merupakan unsur pembentuk utama dalam penafsiran al-Qur’an ala Angelika Neuwirth yang disebut dengan pembacaan al-Qur’an pada mushaf utsmani (post canonical) dengan tetap menganggapnya sebagai pra-canonical. Kemudian untuk mendapatkan pondasi yang tepat dalam analisisnya, Angelika Neuwirth menggunakan kategorisasi surat. Ia meyakini bahwa surat adalah satuan unit yang menyimpan proses komunikasi pada masa kelahirannya sekaligus sebagai unit integral yang terjamin secara redaksionalnya sebagai teks sastra. Pada masa lahirnya, surat adalah unit teks yang dibaca dihadapan sahabat selaku audiens seperti surat al-Rahman yang dibacakan kepada sahabat pada masa-masa awal dakwah di Mekkah. Neuwirth menambahkan bahwa teks al-Qur’an adalah teks yang isi, gaya bahasa, struktur, dan retorikanya berkembang disesuaikan dengan situasi yang melatarbelakanginya. Latar belakang Neuwirth yang banyak berkecimpung di dunia sastra termasuk sastra arab telah mengantarkannya kepada penambahan penelitian unsur sastra pada ayat-ayat persurat.
Singkatnya, Angelika Neuwirth mencoba membaca al-Qur’an sebagai mana semestinya, yaitu dengan tetap menganggap bahwa al-Qur’an adalah sebuah teks yang turun secara berangsur-angsur tergantung setting waktu, tempat, suasana dan peristiwa sehingga berimplikasi pada variasi karakteristik ayat-ayat al-Qur’an yang dalam hal ini dikategorisasikan menurut surat. Pada hal ini, jelaslah sudah bahwa periode kedua dari nuzulul Qur’an, yaitu yang secara beerangsur-angsur adalah sebagai kunci dalam memahami al-Qur’an yang semestinya dan tidak beku layaknya jika membaca al-Qur’an post-canonical yang telah termaktub dalam satu kesatuan sehingga lebur unsur komunikasinya dan historisitasnya.[III]
[I] At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Karachi: Maktabah Bushra, 2011, hlm. 18.
[II] Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbiyyah, hlm. 102.
[III]Membaca Metode Penafsiran al-Qur’an Kontemporer di Kalangan Sarjana Barat: Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth, Yogyakarta: Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 2 (Desember) 2014, hlm. 276-277.
Reaksi: |
0 komentar:
Posting Komentar