Pengikut

Sabtu, 02 Desember 2017

HIV/AIDS, Edukasi dan Stigma Masyarakat

   
HIV/AIDS, Edukasi dan Stigma Masyarakat
Oleh : Triyanti Nurkhikmah
(CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) 

   Kemarin (01/12), penduduk dunia telah memperingati Hari AIDS Sedunia (selanjutnya disebut HAS). HAS pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Sedunia di Geneva, Swiss. Selanjutnya, konsep tersebut disetujui oleh Dr. Jonathan Mann, Direktur Pgoram AIDS Global (kini dikenal sebagai UNAIDS) dengan rekomendasi bahwa peringatan pertama HAS akan diselenggarakan pada 1 Desember 1988. Konsep yang mulai diperingati oleh pihak pemerintah, organisasi internasional dan yayasan amal di seluruh dunia sejak 1988 ini diperingati untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah AIDS di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyebaran virus HIV.

   Membincang HIV/AIDS, setidaknya ada dua PR utama bagi masyarakat dunia umumnya, dan Indonesia khususnya. PR tersebut adalah kurangnya edukasi (pengetahuan) mengenai HIV/AIDS dan stigma negatif yang ditujukan kepada penderita HIV/AIDS. Dua hal tersebut menjadi layak diperbincangkan, setidaknya untuk memperluas wawasan tentang HIV/AIDS dan menghilangkan “noda hitam” bagi para penderita HIV/AIDS.

HIV atau AIDS?

   HIV dan AIDS; dua kata yang terlihat seperti pasangan tak terpisahkan ini menjadi bias maknanya di sebagian besar masyarakat. Apakah dua kata tersebut berbeda, saling berkaitan, sebab akibat, atau bahkan sama maknanya. 

   HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain. 

   Adapun AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali. Sederhananya, AIDS merupakan level lanjutan atau dampak jangka panjang yang muncul karena virus HIV. Menurut medis, penderita HIV akan sampai pada AIDS setelah sepuluh tahun terinfeksi. Dengan catatan, tidak sering melakukan hal-hal yang beresiko.

Sarana penularan HIV 

   HIV memiliki “sarana khusus” dalam penularannya, bukan semata-mata dengan bersentuhan saja bisa tertular. Ada tiga perantara penularan HIV, yaitu pertama, melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan cairan mani atau cairan vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam tubuh pasangannya. Kedua, dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan, waktu persalinan dan/atau waktu menyusui. Ketiga, melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat pemakaian alat suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun).

   Tiga sarana tersebut mempunyai prinsip penularan yang biasa disebut ESSE (Exit, Survive, Sufficient sarana penularan dan Enter). Exit; keluar. Virus harus keluar dari tubuh orang yang terinfeksi, baik melalui hubungan seksual, transfusi darah, maupun jarum suntik yang terkontaminasi. Survive; hidup. Untuk dapat menularkan HIV, virus harus bisa bertahan hidup di luar tubuh. Akan tetapi, virus ini tidak bisa bertahan lama di luar tubuh. Sufficient; cukup. Artinya, jumlah virusnya harus cukup untuk dapat menginfeksi. Apabila virus hanya dalam jumlah sedikit (belum cukup), maka penularan tidak akan terjadi. Enter; masuk. Berarti, virus tersebut harus masuk ke tubuh orang lain melalui aliran darah. Hal ini menandakan, apabila salah satu prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka virus tidak akan menular. 

Stigmatisasi penderita HIV/AIDS

   Selama ini banyak anggapan bahwa HIV hanya dapat menular pada orang-orang tertentu saja; yakni orang-orang yang berbuat dosa. Lebih dari itu, klaim bahwa HIV dikirim Tuhan sebagai hukuman, bahkan kutukan sudah menjadi jamur yang cepat mmenyebar dan tumbuh subur di masyarakat. Maraknya informasi dan data yang seharusnya difilter sebelum dikonsumsi dan disebarkan, membuat adanya “noda hitam” bagi penderita HIV/AIDS. Padahal, edukasi mengenai HIV/AIDS masih di bawah standar maksimal. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial dalam tatanan masyarakat,

   Orang Dengan HIV/AIDS (biasanya disebut ODHA), merupakan salah satu komponen masyarakat yang mempunyai hak yang sama dengan masyarakat umumnya. Mempunyai hak untuk hidup, bersosialisasi dan berinteraksi layaknya masyarakat umum. Akan tetapi, fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat adalah berkembangnya sigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA. Sebagai contoh, seorang ODHA dijauhi bahkan sampai pada pengucilan yang dilakukan masyarakat sekitar. 

   Bukan hanya di Indonesia saja, stigmatisasi terhadap ODHA juga terjadi di negara pada umumnya. Sejarah mencatat, awal ditemukannya virus HIV muncul di Kasensero, sebuah desa di tepi danau Victoria, Uganda Barat. Wilayah ini menjadi sorotan dunia pada tahun 1982 dikarenakan hanya dalam beberapa hari, warganya meninggal dunia setelah mengidap penyakit misterius (yang kemudian dikenal dengan HIV). Setelah berita itu mencuat ke telinga masyarakat dunia, desa tersebut mempunyai “noda hitam” di mata dunia. Selain itu, hal ini juga terjadi  di sebagian wilayah AS, Tanzania dan Kongo. Stigmatisasi terhadap ODHA semakin kuat melekat di telinga masyarakat dunia. 

   Anggapan yang sama juga datang dari negara Kamboja. Seorang pendeta Buddha yang selibat ternyata mengidap HIV. Para pengikutnya pun marah mengira dia melakukan hubungan seks secara diam-diam. Ternyata setelah ditelusuri, beliau tertular akibat kelalaian dokter yang merawatnya. Si dokter, untuk meminimalkan biaya pembelian alat suntik, telah melakukan injeksi obat-obatan ke ratusan orang tanpa mengganti alat suntik. Seharusnya alat suntik adalah sekali pakai.

Menghapus stigma dan diskriminasi ODHA 

   Beberapa tahun terakhir, beredar short message service (SMS) menyebar ke masyarakat. Isi dari SMS tersebut memaparkan bahwa ada penderita HIV yang menyebarkan virus lewat tusuk gigi yang tersedia di restoran. Caranya, tusuk gigi itu dipakai hingga terkena darah lalu diusap hingga orang tidak curiga tusuk gigi tersebut pernah dipakai. Kemudian tusuk gigi diletakkan kembali ke tempatnya. Yang menjadi pertanyaan, bisakah virus HIV menular lewat cara tersebut? Apakah melakukan kontak sosial dengan ODHA berbahaya?

   Di awal telah dijelaskan, bahwa virus HIV mempunyai prinsip dan sarana tertentu dalam penularannya. Maka, hal-hal yang tidak termasuk dalam prinsip dan sarana tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa HIV tidak menular di kolam renang umum, tidak menular melalui batuk atau bersin, tidak menular melalui gigitan nyamuk atau serangga lainnya, tidak menular dengan berbagi alat makan bersama dan tidak menular karena berjabat tangan. Kontak sosial dengan ODHA tersebut sah-sah saja, tidak perlu dikhawatirkan. Lha wong kita sama-sama manusia kok, bagaimana kalau saya atau anda di posisi mereka? Oke, jauhi penyakitnya, bukan orangnya. 

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar