Pengikut

CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

SARASEHAN

Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Kamis, 25 Januari 2018

HAPEKU TERTINGGAL

Oleh : M. Farid Abdillah

Hujan deras menjadi musik yang mengalun malam ini. Di tengah dingin yang merasuk tubuh lalu perlahan masuk ke tulang. Selain itu, menunggu kedatangan teman juga menjadi teman. Selain orang-orang itu tentunya. Dan sekitar tiga puluh menit berlalu, ia belum datang juga. Makanya menunggu adalah temanku malam ini.

Bercakap dengan secangkir kopi ini tentu saja akan menambah kebodohanku. Apalagi dengan sebotol air mineral ini, ia hanya memandang sinis. Ada juga buku Milana karya Bernard Batubara yang menyuguhkan kisah romantis juga hanya bilang, “Kisahku bukan untuk orang kesepian sepertimu!”

Tiba-tiba segerombolan orang datang. Entah mereka siapa. Mungkin orang yang sedang punya urusan. Dan mulanya aku tak peduli dengan mereka. Sampai salah satu orang dari mereka—ia menggunakan kaos putih bergaris merah khas kaos dari Madura—masuk dan yang lain menunduk dan menyalami serta mencium tangannya. Setelah itu orang-orang yang  masuk membawa beberapa peralatan musik. Keyboard, gitar gambus dengan suaranya yang khas. Siapa mereka? Lalu siapakah beliau? 

Yang menarik dari pertunjukan malam ini adalah ketika salah satu orang menggunakan baju berwarna biru khas orang yang akan menari sufi, dengan rok lebar dan sebuah peci tinggi. Mungkin ia bersiap akan menari. Aku penasaran dengan tarian yang hanya berputar-putar ini.

Benar saja, ketika sang pimpinan—aku sebut saja begitu, biar kau paham—menjelaskan kisah tentang shalawat thalama asyku ia berdiri dan memulai ritualnya. Menunduk sampai rendah, lalu berdiri. Tangannya yang semula membentuk silang di depan dadanya mulai bergerak-gerak, menetapkannya di depan perut dan membentuk lambang cinta, kemudian naik ke atas kepalanya, lalu pelan-pelan tangan itu lurus satu dan ditekuk satunya. Begitu dan seterusnya, tangannya mengikuti irama tarian. Semua itu ia lakukan dengan berputar. Aku tak boleh mempraktikannya, atau aku akan pingsan di putaran kelima. Ketika ia berhenti, ia tak menunjukkan tanda-tanda pusing sama sekali. Hebat! Bahkan setelah itu ia menghisap rokok.

***

“Hei, kau acuhkan aku begitu saja!” Tetiba saja Milana membentak. Kemudian mengeluarkan mantra ampuh seorang wanita, “Semua lelaki sama saja!”

“Kau kenapa Milana?”

“Tadi kau begitu semangat mengambilku di rak kotor itu, kita bercumbu dalam Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari¹. Lalu kau bilang bahwa aku layaknya Malaikat² dengan lembar cerita indah.”

“Sadarlah, Milana! Ini sudah malam. Sejak kapan aku begitu gila mengatakan pagi di malam hari.” Sejenak kemudian aku sadar bahwa aku memang sedang gila berbicara dengan Milana. Dia sebuah buku.

Acuhkan saja Milana, dia memang seperti itu. Aku alihkan saja percakapanku kepada sang pimpinan—yang kemudian samar-samar aku dengar namanya Cak Kus—yang menjelaskan tentang cinta dan derita. Aku harap aku ingat kata-kata ini.

Jatuh cinta kepada makhluk itu akan membuat hati hancur lebur

Seakan aku tak peduli dengan makna yang Cak Kus sampaikan tadi. Hatiku bersepakat tanpa terucap dari mulut. “Iya, Cak. Benar. Aku cinta kepada seseorang, dan hatiku hancur lebur dibuatnya.” Dan sejauh ini aku masih mengakui ia makhluk. Makhluk Tuhan pastinya. Walau kadang dalam beberapa alur kehidupan ia menjelma menjadi malaikat tanpa sayap. Atau menjadi senja yang katamu indah itu. Ia menjelma menjadi senja dan mengiringi gelapnya malam hingga mengikutiku tidur.

***

“Hei, untuk apa kau bawa aku kemari?”

“Kenapa memangnya?”

“Kau diam saja sedari tadi. Berbincang dengan Milana lalu diam. Aku pun kau diamkan.” Curhat sebotol mineral yang aku bawa tadi.

Sudahlah, biarkan saja dia. Dia pencemburu memang. Aku salah membeli kemarin. Biasanya yang aku beli selalu botol air yang kuat. Tapi yang satu ini ku dapat ia yang selalu mengeluh lalu ia sendiri menitikkan air mata. Entahlah mungkin karena ia aku beli dari warung yang penjualnya selalu sedih. Pemilik warung tak bernama di utara warung rumah makan padang sendowo itu memang penyedih. Bahkan ia tak segan marah jika pembelinya tak sesuai pikirannya. Belum pernah aku lihat senyumnya sejak pertama aku beli di sana beberapa tahun lalu. Dan sekarang? Botol ini sudah seperti penjualnya. Menyebalkan.

Satu-satunya yang membuat aku tersenyum adalah dua puntung rokok ini. Sedari tadi mereka tidak mengindahkan acara pengikut Maulana Rumi itu. Mengacuhkan Milana yang masih bergumam tak jelas. Membiarkan botol mineral dengan kemarahannya. Dan secangkir kopi dingin yang sudah sesenggukan tak aku minum. Mereka asyik bercakap. Samar-samar yang aku dengar ternyata mereka sedang berbisnis. Satu puntung itu menawarkan hadiah menarik kalau temannya adalah rokok yang pertama aku nyalakan di antara mereka berdua. Bodohnya, ia setuju. Ia menatapku lalu berpaling ketika aku juga menatapnya. Bagaimana dapat hadiah jika aku nyalakan ia pertama? Tentu saja ia akan mati. Dasar rokok bodoh!

Kegilaanku mulai berhenti ketika ku sadari temanku belum juga datang. Dan semua ini bermula ketika sampai di kafe dan aku menyadari hapeku tak ada di tas. Aku berpesan kepada kalian, jangan sampai hapemu ketinggalan. Atau kau akan diajak bicara botol mineral. Kalau kau tidak membawa botol, maka kopimu akan mulai mencuri pandang denganmu. Hati-hati!

—————————

¹Salah satu judul cerpen dalam buku Milana karya Bernard Batubara.
²Salah satu judul lain cerpen dalam buku Milana.


Minggu, 21 Januari 2018

Ada Apa dibalik Tembok Pesantren?

     Ada Apa dibalik Tembok Pesantren?

Oleh : Ahmad Ahnaf Rafif

     Tembok atau pagar, sudah menjadi hal yang lumrah ada di dunia kepesantrenan. Pembangunan pesantren yang produktif serta bergaya arsitek luar negeri sering kali diidentikkan dengan kemodernan. Pembangunan semacam ini tanpa disadari juga berimplikasi pada peningkatan jumlah teror di Indonesia.
 Bagaimana tidak? Pesantren yang dahulunya merupakan lembaga sosial yang sengaja didirikan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat secara umum, kini justru membatasi diri antara dunia pesantren dengan dunia masyarakat. Membatasi dalam hal ini maksudnya ialah membatasi ruang gerak santrinya dengan membangun bangunan pembatas sehingga masyarakat luar kurang mendapat pengaruh ajaran Islam yang diajarkan di dalam pesantren.
     Jika melihat keadaan teror yang belum musnah dari negara Indonesia ini, tembok pesantren yang tinggi menjulang tersebut bisa menjadi faktornya. Aksi teror di Indonesia hampir selalu dimulai dengan aksi propaganda yang terus dilakukan. Di antara beberapa tipe masyarakat yang dijadikan sasaran doktrinisasi pelaku propaganda tersebut ialah mereka yang termarjinalkan dari lingkungan sekitar dan memiliki status sosial rendah. Senjata utama mereka dalam aksi tersebut ialah dengan menggunakan ‘iming-iming’ kehidupan yang lebih baik dari kehidupannya saat ini. Sehingga mau tidak mau, orang itu akan melakukan cara apa pun untuk meraihnya.
    Disinilah peran utama santri dibutuhkan. Di saat kesenjangan sosial terjadi di masyarakat, ketanggapan santri sangat diperlukan dalam hal ini untuk merangkul mereka yang termarjinalkan sebelum mereka didoktrinisasi oleh pelaku propaganda. Namun hal itu tidak akan terealisasi jikalau antara santri dan masyarakat masih terdapat sekat pemisah yang menyebabkan masyarakat kurang mendapat pengaruh dari dunia pesantren. Jika sudah terlepas dari perhatian pesantren, orang-orang yang termarjinalkan tersebut akan langsung direkrut oleh para pelaku propaganda.
Everything has two sides. Idiom inilah yang sering penulis gunakan dalam melihat berbagai dinamika kehidupan. Termasuk dalam melihat kemajuan pesantren yang kemudian memunculkan dikotomisasi antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional, umumnya memainkan peran sentral di tengah masyarakat. Pesantren Tebu Ireng misalnya, yang di awal pendiriannya berperan penting dalam menyebarkan ajaran Islam sekaligus membersihkan kebiasaan buruk di masyarakat. Kiai Hasyim Asy’ari, sosok sentral di dunia ke-ulama-an Indonesia kala itu, mampu menghilangkan kebiasaan buruk masyarakat yang tinggal di sekitar pesantren hanya dengan sikapnya yang santun, ramah, dan sabar. Sehingga dengan kearifannya itulah masyarakat menjadi lunak hatinya dan mudah menerima kebenaran.
     Keberhasilan Kiai Hasyim tentunya tidak lepas dari kedekatannya dengan masyarakat. Adanya lembaga pesantren kala itu dibentuk guna memperbaiki masyarakat. Semakin dewasa, peran pesantren bukan hanya memperbaiki, namun juga harus menjaga dan memberi perlindungan bagi masyarakat. Sebab pengaruh ideologi di luar dunia pesantren begitu pesat perkembangannya sehingga masyarakat di luar pesantren perlu diproteksi. 
     Di masa ini, jumlah pondok pesantren yang ada di Indonesia berjumlah kurang lebih 25.000 di 33 provinsi di Indonesia. Sehingga, jika dirata-rata setiap provinsi memiliki 758 pesantren yang tersebar di berbagai kabupaten dan desa-desa di dalamnya. Pertanyaannya sekarang, apakah jumlah yang begitu besarnya masih dirasa kurang untuk membuat masyarakat yang madani ? Jawabannya tentu saja tidak, kecuali jika pesantren-pesantren tersebut masih menjaga jarak dengan masyarakat. Jika satu provinsi memiliki kurang lebih 758 pesantren atau kurang dari itu -yang jelas lebih banyak dari jumlah bangunan-bangunan industri- ekspektasinya jumlah kekerasan di Indonesia akan menurun bahkan habis.
     Haruskah para santri dibatasi ruang geraknya sehingga tidak bisa bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar ? Kebanyakan pesantren lebih memilih untuk membatasi ruang gerak santrinya dengan tujuan untuk memberi pendidikan disiplin kepada santrinya. Selama 24 jam para santri diberikan pengawasan supaya tetap dalam peraturan pesantren, yang, di zaman ini, gambaran semacam itu sudah hampir menjadi frame masyarakat luas mengenai definisi pesantren. 
     Setidaknya memberi batasan ruang dan waktu bagi para santri perlu dilakukan untuk mendidiknya menjadi orang yang disiplin. Namun bukankah para santri juga perlu diajarkan tentang bagaimana cara melihat kondisi sosial di sekitarnya ? Jika tidak segera diajarkan, bagaimana bisa para santri dapat ‘merangkul’ masyarakat ? Sebenarnya ada dua pilihan dalam hal ini, yakni diajarkan ketika menjadi santri sehingga selain menjadi orang yang disiplin, namun juga menjadi orang yang peka terhadap lingkungan sekitar, atau, membiarkannya untuk mempelajarinya sendiri ketika telah lulus dari pesantren, yang, kemungkinannya masih di awang-awang. Jika sudah begitu, berapa ribu santri yang disia-siakan potensinya untuk mengawal keadaan sosial masyarakat. Mungkin, perbedaan zaman juga berimbas pada perbedaan cara yang dilakukan. Pesantren di masa dulu sengaja tidak membatasi ruang gerak santrinya agar dapat membaur dengan masyarakat. Berbeda dengan masa sekarang yang sudah zamannya teknologi, sehingga nampaknya para santri lebih cocok jika berbaur dengan masyarakat di dunia maya. Namun, bukankah itu justru dilarang ? Wallahua’lam bi ash-shawab.

Rabu, 10 Januari 2018

Pupuk Persatuan, CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Gelar Rihlah Alamiah

CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga kembali melaksanakan kegiatan bersama, yaitu Rihlah Alamiah. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh anggota aktif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga mulai angkatan 2014 sampai 2017. Acara tersebut dimulai pada Sabtu-Ahad (6-7/1) di Desa Wisata Pulesari, Sleman, DIY. Ini merupakan salah satu kegiatan rutin setiap tahun yang dilaksanakan pasca Ujian Akhir Semester (UAS) Gasal. Turut hadir pula pengelola Program Besiswa Santri Berprestasi (PBSB), Dr Abdul Mustaqim  dan Dr Syaifudin Zuhri Qudsy beserta keluarga.
            Rihlah tahun ini bertemakan Tanam Kebersamaan, Pupuk Persatuan, Hasilkan Persaudaraan dengan orientasi agar semua anggota CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga bisa lebih mengenal dan akrab satu sama lain, terutama angkatan yang termuda yaitu 2017. Dengan acara ini diharapkan semua anggota CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga yang aktif bisa berinteraksi dengan lainnya dan tentunya memupuk ikatan kekeluargaan dalam keluarga CSSMoRA. Begitupun dengan tujuan refreshing pasca menjalani ujian akhir semester (UAS) sekaligus liburan bersama.
            Salah satu alasan mengapa memilih Desa Wisata Pulesari sebagai tempat dilaksanakannya kegiatan ini adalah karena memang suasananya yanga asri dan sejuk. Juga didukung dengan berbagai adrenalin yang mendukung kegiatan ini sehingga cocok dipakai. Juga menjadi catatan tersendiri bahwa Desa Wisata Pulesari ini diresmikan langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 9 November 2013. Begitupun tempatnya yang tak pernah sepi dari pengunjung, terlebih di waktu-waktu tertentu, misalnya liburan sekolah. Menurut salah satu pengelola Desa Wisata Pulesari, semenjak diresmikan tahun 2013, tempat tersebut tak pernah sepi dari pengunjung.
“Setelah diresmikan tahun 2013, tempat ini tak pernah sepi pengunjung, minimal lima kelompok yang datang setiap hari,” kata salah satu pengelola. Maka tak salah, jika Pulesari dijadikan tempat dalam berlangsungnya acara ini.
            Acara ini diawali dengan hadrah dari anggota CSSMoRA sebagai pra acara. Lalu dilanjutkan dengan pembukaan dan sambutan-sambutan dari berbagai pihak. Seperti dari pengelola desa wisata Pulesari, kemudian pengelola PBSB UIN Sunan Kalijaga dan yang terakhir sambutan dari ketua panitia yakni saudara Ahmad Mushawwir. Acara selanjutnya yakni pembagian kelompok yang dilanjut dengan game dan acara api unggun. Dalam kegiatan api unggun ini semua anggota melingkar mengelilingi api unggun dan bernyanyi bersama yang diharapkan agar keakraban bisa terjalin dari seluruh anggota. Kemudian seluruh anggota diperbolehkan kembali ke homestay masing-masing untuk istirahat agar esok hari bisa mengikuti kegiatan kembali.
Pagi harinya, kegiatan kembali dilaksanakan. Diawali dengan senam pagi yang mana dipimpin langsung oleh beberapa anggota CSSMoRA sendiri. Dalam senam ini diharapkan anggota yang merasakan lelah semalam bisa kembali memulai hari dengan keadaan yang segar bugar. Kemudian dilanjut dengan sarapan dan penampilan yel-yel dalam tiap kelompok. Dari sini sudah terlihat bagaimana anggota yang mulai mencair dengan yang lain, yang awalnya masih canggung dan kaku kini sudah mulai menampakkan keakraban dan kekompakan di antara para anggota. Gelak canda tawa para anggota mewarnai kegiatan pagi ini. Dinding penghalang sudah tak nampak karena keadaan yang sudah tak membeku.
Kegiatan selanjutnya yakni kegiatan susur sungai yang sebelumnya tiap-tiap kelompok disuguhi dengan permainan-permainan yang telah disediakan pada tiap-tiap pos yang dijaga oleh panitia. Dalam permainan tersebut kekompakkan kelompok sangat dibutuhkan agar dapat menyelesaikan permainan yang diberikan. Kekompakkan inilah yang membuat masing-masing kelompok mencair dengan anggota kelompok tersebut. Selanjutnya yakni kegiatan susur sungai yang sangat dinantikan oleh seluruh anggota. Dalam sungai yang akan dilalui nantinya terdapat beberapa rintangan yang telah disediakan oleh pengelola desa wisata Pulesari. Dalam susur sungai ini bisa dilihat keceriaan dari seluruh anggota, melepas penat pasca UAS yang tak sedikit membuat kegalauan. Meluapkan kegembiraan yang sudah tak bisa dibendung kembali. Layaknya burung yang tak kunjung lepas dari sangkarnya.

Setelah kegiatan susur sungai usai, seluruh anggota dipersilahkan untuk makan siang yang dilanjut dengan membersihkan badan dan istirahat. Kelelahan sudah terbayar dengan luapan kegembiraan diantara seluruh anggota. Benang-benang persaudaraan terjalin di antara seluruh anggota CSSMoRA yang awalnya saling tak kenal kini sudah mulai mengenal dan membina keakraban. Setelah semua rangkaian acara dijalani, menuju acara yang terakhir yakni penutupan dan pembagian hadiah bagi kelompok yang beruntung memenangkannya dan dilanjut dengan perjalanan pulang menuju pesantren masing-masing. Dalam rihlah tahun ini, sesuai tema yang terulas, seluruh anggota diharap untuk menjalin keakraban dalam waktu-waktu berikutnya. Semoga keakraban tidak usai seiring usainya kegiatan rihlah tahun ini. Karena pada dasarnya kita merupakan satu kesatuan dalam naungan yang sama yakni CSSMoRA. (Riz)

Pengumuman Lolos Abstrak LKTIN CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga 2018


Kami selaku panitia pelaksana mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah ikut berpartisipasi mengirimkan abstraknya dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (LKTIN) CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga 2018. Dari sekian banyak abstrak yang masuk, kami memutuskan dan mengucapkan selamat kepada nama-nama berikut sebagai peserta yang abstraknya terpilih dalam event ini. silakan download di sini 
Peserta Lolos Abstrak

Senin, 01 Januari 2018

Tahun Baru Yang Usang

Tahun Baru Yang Usang
oleh: Ahmad Ahnaf Rafif*

Tak terasa tahun sudah berganti. Matahari tetap pada tempatnya, awan masih melaksanakan tugasnya, angin senantiasa berhembus, bumi tetap tunduk pada-Nya, manusia tetap seperti hewan. Orang bijak mengatakan, “manusia adalah hewan yang berpikir”. Mungkin sebagian kalangan satwa tersinggung dengan pernyataan ini. Differentia “yang berpikir” yang bercokol pada pendefinisian manusia terasa masih terlalu luas. Nyatanya masih banyak manusia yang kehilangan differentia-nya.
Tahun sudah berganti, dan matahari tetap beredar di orbitnya. Perayaan ini tidak lain hanyalah perayaan memperingati satu tahunnya bumi mengitari matahari. Sehingga jika ingin dikatakan, bahwa yang paling senang dan gembira dalam perayaan ini adalah makhluk Tuhan yang bernama bumi. Bagaimana tidak ? Selama 365,3 hari atau setara dengan 8.767,2 menit (berdasarkan perhitungan untung-untungan), yang juga setara dengan 1.315.800 detik, selama itu bumi mengitari matahari dengan sabarnya. Oleh karenanya bumi sangat bersuka cita atas keberhasilannya menjalankan tugas sebagai kendaraan manusia men-tawafi matahari. Namun itu tak berlangsung lama. Sejarah mencatat bahwa bumi akan merengek lagi sebab lepas satu detik setelahnya, ia akan berputar kembali selama 1.315.800 detik. Ganbatee !!
Tahun baru selalu dinanti-nanti oleh setiap orang. Sebab mereka tidak akan lagi melihat angka 2017 di kalender, buku-buku absensi, papan tulis, jadwal penerbangan, hingga jadwal pertandingan sepak bola. Bagi sebagian orang, angka 2017 akan dijadikan sebagai angka yang penuh kebahagiaan, kesedihan, dasar perbaikan diri, hingga kenangan. Sehingga tidak sedikit orang yang memanjatkan doanya di malam tahun baru untuk introspeksi diri sekaligus membenahi diri sehingga di tahun depan lebih baik lagi di tahun sebelumnya. Namun bagi sebagian orang hal semacam itu bukanlah suatu yang istimewa. Sebagian orang menganggap tahun baru hanyalah mengganti kalender, tidak mengganti susunan hidup, tidak mengganti aturan negara dan agama, tidak merubah struktur alam, tidak pula merubah status sosial. Bagi orang semacam ini, tahun baru hanyalah perayaan bagi orang-orang yang lebih senang dengan perayaan lahriyah. Orang-orang ini lebih senang merayakan hari baru daripada tahun baru, sehingga mereka selalu membenahi dirinya setiap hari.
Agaknya prinsip hidup orang yang terakhir disebut ada benarnya. Sebab sudah 2018 kali tahun berganti, namun kehidupan –khususnya di negara kita dan manusia pada umumnya- tidak kunjung membaik. Mana yang katanya menjadikan tahun baru sebagai acuan pembenahan diri ? 2018 kali sudah dirayakan, namun perbaikan itu tidak kunjung datang juga. Apa mungkin doa yang dipanjatkan menjelang tahun baru itu sudah lenyap duluan di tengah jalan ?
Ada kemungkinan sebagian orang gagal dalam memahami makna tahun baru. Jika yang dikatakan tahun baru hanyalah bergantinya kalender dari 2017 menjadi 2018, maka secara tak langsung kita sudah kehilangan esensinya. Pergantian tanggal dari 31 Desember menjadi 1 Januari tepat pada pukul 00.00 dirayakan orang di mana-mana, sehingga yang dirayakan pada malam itu hanyalah pergantiannya saja. Setelah pergantian yang dirayakan itu, orang akan melakukan aktivitas sebagaimana biasanya lagi. Pembunuhan, pencurian, korupsi, penyuapan, penipuan, seolah-olah mengindikasikan tidak ada yang baru di tubuh manusia itu.
Everything has two sides, kata seorang tukang becak. Dalam hal ini, tahun baru sejatinya juga memilki dua sisi. Secara formal, tahun baru memang merupakan pergantian penanggalan masehi. Di sisi lain, secara fungsi, tahun baru dapat menjadi momen untuk melakukan pembenahan diri. Namun apa daya, ketika kenyataan memperlihatkan bagaimana manusia lebih mencintai formalitas tanpa isi. Membanggakan satu sisi, sedang sisi yang lain diindahkan.
Seorang yang dagang kerupuk pernah berkata seperti ini padaku, “tahun baru tidak benar-benar baru. Ia hanya pengingat untuk melakukan perbaikan, sehingga yang tepat ialah tahun perbaikan, bukan tahun baru. Tahun baru akan benar-benar baru manakala tatanan kehidupan benar-benar baru, yaitu ketika suara peringatan yang benar-benar peringatan kelak ditiup.” Seketika aku langsung berpikir kalau ia merupakan manusia yang benar-benar manusia.

*Mahasiswa PBSB Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir 2016