Pengikut

Rabu, 26 September 2018

Pemimpin: Takdir yang Menjengkelkan



Entah berapa ribu kali dalam sehari manusia di seantero dunia mengeluhkan takdir yang mereka alami. Pun jutaan nasib tak luput dari aneka ragam murka dan caci. Nama binatang, jenis makanan, hingga bentuk pekerjaan, orang-orang misuh berkali-kali bersama luka dan lara yang tergores di hati.
                Secara mendasar, takdir dan nasib merupakan dua hal yang berbeda. Ibaratnya, takdir adalah telur dadar sedangkan nasib ialah orak-arik. Keduanya sama-sama berasal dari telur namun dengan jenis yang berbeda. Keduanya sama-sama pengalaman hidup manusia namun dengan bentuk yang tidak serupa.
                Takdir berkaitan dengan hal-hal yang terjadi begitu saja. Artinya, sang penggenggam tidak memiliki wewenang untuk menentukan ataupun memilihnya. Seorang anak tak bisa memutuskan untuk lahir dari rahim siapa, begitupun peserta lomba hanya bisa pasrah pada undian nomor berapa dia mendapat giliran untuk menampilkan segala yang telah disiapkannya.
                Adapun nasib ialah hasil dari suatu ikhtiar dan semacamnya. Di dalamnya terdapat takaran yang terukur jelas terkait proses kejadiannya. Maka dalam hal ini manusia diberi kesempatan untuk menentukan hasil akhirnya dengan mencurahkan daya dan upaya. Para pakar ilmu kalam biasa menyebut usaha ini sebagai iradah juziyyah.
                Jadi, keduanya benar-benar berbeda. Betapa bodohnya manusia yang berharap bak mandinya terisi penuh tanpa mengalirkan setetes air pun ke dalamnya. Begitupun sia-sia usaha seorang pria terus mendekati sekuntum bunga desa jika takdirnya justru untuk jatuh cinta pada kembang lainnya.
                Memang mustahil bagi manusia untuk mengetahui takdirnya sebelum ia telah terjadi di hadapan mata. Dari hal kecil seperti undian sampai perkara besar semisal cinta yang telah tercantum di atas, hingga menjelang puing-puingnya tiba di dunia ini semua masih menjadi teka-teki. Karena takdir adalah rahasia Tuhan yang sengaja disiapkan untuk menghadirkan rasa takjub pada diri hamba-hambaNya.
                Kendati demikian, sungguh sangat disayangkan apabila takdir dibiarkan lewat begitu saja. Layaknya hadiah ulang tahun, selalu ada pesan tersendiri pada masing-masing bentuknya. Kado Al-Quran bisa berarti sang pemberi berharap agar penerima rajin membacanya. Maka takdir mendapat undian giliran terakhir mungkin dimaksudkan agar si fulan dapat menghadirkan penutup yang luar biasa.
                Maka dari itu, teramat penting bagi para binatang berakal untuk mencermati setiap takdir yang digariskan untuk mereka. Alkisah ada seorang alim yang berkelana ke beberapa sudut dunia. Berkali-kali dia membuka toko dengan beberapa macam barang dagangan, namun semua yang ia tawarkan hampir sama sekali tidak laku di pasaran. Singkat cerita, pada akhirnya dia sadar bahwa ketidakberhasilannya dalam berdagang menunjukkan bahwa ada tugas lain yang harus diemban, yakni menjadi seorang guru, mengajarkan ilmu dan kebijaksanaan kepada orang-orang yang membutuhkan.
                Kecenderungan pada satu sisi juga termasuk bagian dari takdir. Meski para ulama motivasi berkata bahwa itu tidak lepas dari pengalaman, keberadaan faktor yang tak diusahakan tetap tabu untuk dinafikan. Sederhananya, takdir telah menempatkan seseorang pada suatu lingkungan yang notabene membentuk karakter dari manusia itu sendiri. Lebih ke belakang lagi, gen yang diturunkan oleh bapak maupun ibu turut andil dalam membangun watak pribadi.
                Takdir macam ini juga sangat perlu diperhatikan. Dengannya manusia dapat melihat di bagian mana mereka layak mengambil peran. Laki-laki yang condong pandai mengenai elektronik tak perlu memaksakan diri untuk cakap berolahraga. Dan perempuan yang cenderung tampak indah dengan tampil sederhana tidak usah repot-repot menghias diri hingga terlihat gemerlap bak permata.
                Intinya, semua akan menjadi gagah tatkala menjalani jalur yang semestinya. Sialnya, banyak pria ataupun wanita terlalu bergairah untuk meraih tahta yang bukan bagiannya. Akibatnya, takdir yang telah dituliskan justru menjadi terabaikan. Fatalnya, terjadilah persaingan-persaingan yang sebenarnya sama sekali tidak diperlukan.
                Memang, bersaing dalam kebaikan itu sesuatu yang bagus untuk dilakukan. Hanya saja, untuk apa menanam kurma di Indonesia? Apa gunanya memberi makan kucing dengan asam jawa? Lupakah anak cucu Adam bahwa pemaksaan menguasai segalanya adalah lambang keserakahan?
                Terlalu klise untuk mengatakan bahwa perbedaan adalah secarik anugerah keindahan. Namun sejenuh apapun manusia mengungkapkannya bukan berarti ia telah kehilangan kebenarannya. Layaknya cinta pada seorang wanita, pengetahuan tanpa pengamalan hanya menjelma sebagai idrak, bukan ‘ilmu yang dapat meninggikan derajat pemiliknya.
Yang Menjengkelkan
                Segala sesuatu yang diformalkan akan kehilangan keberkahannya. Namun ketika kesadaran sudah tidak bisa diandalkan, membentuk suatu sistem adalah jawaban satu-satunya. Dan untuk menjalankannya, dibutuhkan seorang pembimbing yang kemudian orang Indonesia biasa menyebutnya dengan istilah pimpinan.
                Pimpinan setidaknya membutuhkan dua hal agar dapat menunaikan amanah dengan baik juga benar, yakni manajemen dan kepemimpinan. Adapun yang pertama ialah teknik dan taktik untuk mencapai suatu tujuan. Rasio manusia digunakan sepenuhnya untuk memperhitungkan segala kebutuhan dan kemungkinan guna mencapai hasil yang diinginkan.
                Berbeda dari manajemen, kepemimpinan tidak terlalu melibatkan otak beserta perangkat-perangkatnya. Daripada pikiran, ia jauh lebih membutuhkan perasaan. Karena hakikatnya sendiri adalah sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain entah itu untuk berhenti atau justru terus berjalan.
                Orang-orang yang ahli dalam seni ini kemudian dinamakan pemimpin. Golongan ini mampu menyentuh hati masyarakat sekitarnya berikut menggerakkan mereka ke arah tertentu. Penduduk yang mampu mengajak tetangga-tetangganya untuk ikut turun melaksanakan kerja bakti merupakan salah satunya. Siswa yang biasa sukses menarik teman-temannya pergi bolos sekolah adalah contoh lainnya.
                Dibanding manajemen, kepemimpinan lebih jarang tercantum dalam daftar kepemilikan. Kenyataan ini termasuk salah satu dari kemurahan Tuhan dalam takdir yang Ia gariskan. Karena andaikan pada satu perkumpulan terdapat terlalu banyak pihak yang mengarahkan dengan pelbagai macam jalan, manusia hanya akan terjebak dalam jurang kebingungan.
                Dari jumlah yang sedikit itu harus ada salah satunya yang menduduki kursi pimpinan. Jika tidak, bersiaplah untuk bertemu bencana. Para pemimpin akan terbosankan oleh kekecewaan. Kemungkinan terburuknya, mereka bisa melakukan tindak pemberontakan.
                Fenomena semacam ini sudah banyak terjadi di muka bumi. Bukannya memberikan arahan, para pimpinan malah dikendalikan oleh anggotanya sendiri. Hampanya ketegasan membuatnya semakin mudah ternodai. Berjalannya suatu sistem hanya menjadi sebuah mimpi.
                Sayangnya, kini bobroknya aura pimpinan semakin luas menguasai dunia. Apakah alam sudah mengutuk manusia? Atau mungkin kiamat sudah hampir tiba? Ah, meminum segelas coklat memang tak senikmat jatuh cinta.
                Tidak mengherankan jika para pemimpin enggan menduduki tahta pimpinan. Meski diberi sejumlah hak dan kekuasaan, menjadi pengatur barisan tetap bukanlah pekerjaan yang mudah. Ketika majalah rutinan gagal terbit, akankah orang-orang menyalahkan sang editor?
                Di sisi lain, akan menjadi sangat lucu ketika pimpinan justru menyalahkan orang-orang yang dia arahkan. Itu menandakan bahwa dia sebenarnya belum menyadari betapa sikap saling pengertian begitu dibutuhkan. Padahal, seorang ketua mesti selalu bersikap netral agar tatkala para anggotanya saling menghujat, nasehatnya masih bisa didengarkan.
                Separah apapun beratnya, menanggung segala beban tersebut hukumnya fardhu kifayah bagi para pemimpin. Jika tak satupun mengambilnya, berdosalah mereka semua. Karena bagi manusia menjadi baik saja tidak cukup. Mereka juga harus bisa bermanfaat, dan manfaat tertinggi bagi seorang pemimpin adalah menjadi pimpinan.
                Ketika salah satunya sudah menjadi pimpinan, apa yang harus dilakukan pemimpin lainnya? Sederhana saja, mereka cukup membantu menggerakkan masyarakat untuk menjalankan sistem sebagaimana mestinya. Bukan malah berusaha menjatuhkan ketua hanya karena merasa dirinya lebih layak dan pelbagai macam alasan lainnya.
                Gambaran paling sederhana dapat ditemukan pada tempat-tempat outbond. Hampir bisa dipastikan bahwa dalam satu kelompok terdapat beberapa pemimpin meski tetap dengan satu ketua. Jika mereka bersikap besar kepala, yel-yelnya tentu takkan terdengar berirama. Sebaliknya, apabila mereka mengedepankan kerjasama, cukup dengan menampilkan jargon saja mereka akan terlihat mempesona.
                Memang, menjadi pemimpin di balik layar kini semakin jarang diminati. Godaan berhala kesuksesan mendorong para manusia untuk terus menambah pencapaian tertulis dalam data diri. Jika terus begini, keberadaan mereka akan segera punah setidaknya dari bumi pertiwi. Padahal, pahala dari para pejuang tanpa pamrih itu begitu besar lantaran setiap darah dan keringat yang ia curahkan seringkali tidak manusia hargai.
                Maka pada akhirnya semua kembali pada diri pimpinan. Seni mempengaruhi yang dia miliki harus digunakan secara proporsional agar para pemimpin lainnya tidak justru melakukan tindakan-tindakan binal. Mentraktir makan, mempertimbangkan masukan, dan memberi kesempatan untuk berperan adalah beberapa trik sederhana yang bisa dipraktekkan.
                Mudah dituliskan, namun sangat rumit dilaksanakan. Karena manusia memiliki ego yang pada dasarnya memang sulit untuk dikesampingkan, terutama bagi mereka yang merasa bahwa dirinya memiliki keunggulan. Maka dari itu, selain memeras kepala, pimpinan juga harus rajin makan hati demi tercapainya kesejahteraan sejati.
                Masih banyak lagi cobaan-cobaan yang harus dihadapi seorang pimpinan. Salah satu contoh lainnya adalah berhadapan dengan orang-orang yang dikuasai oleh sikap ketidakpedulian. Jangankan mengambil peran, sekedar melaksanakan kewajiban saja mereka enggan. Tidakkah mereka menyadari bahwa yang mereka tanggung adalah beban paling ringan?
                Di samping itu, berdasarkan jenis perkumpulannya, tentu ada persoalan-persoalan lain yang tak boleh luput dari perhatian, semisal rusaknya alat musik, cederanya ligamen pesepakbola, dan lain sebagainya. Maka keharusan seorang ketua bukanlah mampu melakukan segalanya, melainkan mengetahui semua yang terjadi pada orang-orang di bawahnya. Dengan demikian, dia dapat menentukan jalan keluar macam apa yang paling tepat dilakukannya. Dan juga, dia bisa menjawab setiap kali ada pihak bingung maupun sombong datang bertanya.
                Demikianlah secuil permasalahan yang pasti dihadapi oleh para pimpinan, dan masih banyak labirin-labirin ke-jancuk-an lainnya. Maka tidak mengherankan jika sosoknya akan menjadi wajah bagi para masyarakatnya. Jika sang raja cenderung murah hati, maka para rakyat setidak-tidaknya suka berbagi pada sesama meski dalam takaran yang tak sama. Begitupun jika sang raja cenderung ambisius, maka para rakyat setidak-tidaknya senang berlomba-lomba meski dalam tingkat yang tak setara.
                Agar dapat memperringan diri dalam menunaikan amanah, seyogyanya seorang pimpinan merangkul para pemimpin dalam paguyubannya. Sebab meski secara pribadi mereka wajib melakukannya, keharusan itu bisa saja sirna apabila sang raja malah mempertontonkan keakuannya. Harapan dapat bekerja bersama berdasarkan bagian-bagiannya layaknya Soekarno dan Soedirman justru menyisakan kekecewaan pada akhirnya.
                Syukur Tuhan menganugerahkan kegelisahan dalam diri para pemimpin. Hasrat inilah yang kelak tak henti-hentinya memanggil mereka untuk pergi berperang menumpas kezaliman. Dengannya mereka akan terus memperjuangkan bukan hanya happiness tapi juga well-being bagi masyarakat sekitar. Jika tidak, husnuzzan saja, mungkin mereka belum diilhami kekuatan cinta sebelah tangan.
                Terlahir sebagai seorang pemimpin memang takdir yang menjengkelkan. Tanggung jawab yang diemban sebegitu besarnya sampai-sampai untuk sekedar mencari ketenangan saja jarang mendapat kesempatan. Terlebih lagi seringkali muncul dilema antara menerima amanah menjadi pimpinan dengan seabrek penderitaan atau menjadi pemain bayangan yang seringkali terlupakan. Puncaknya, pengorbanan pahlawan mana lagi yang ingin rakyat dustakan? Wallahu a’lamu bish-showab...

*Eks anggota Departemen Jurnalistik CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga.

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar