 |
source: google |
Oleh:
Andi Fatihul Faiz Aripai
“Kita jangan mewarisi abunya sumpah pemuda, tapi kita harus mewarisi apinya sumpah pemuda” (Ir. Soekarno)
Pada tanggal 28 Oktober 1928 seluruh pemuda Indonesia bersatu dan bersepakat untuk turut andil dalam memerdekakan Indonesia. Waktu itu seluruh dari perwakilan kepemudaan Indonesia yang terdiri dari Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan Jong Ambon sangat peduli terhadap nasib bangsanya yang sejak dulu terbelenggu oleh kejamnya penjajahan kolonial Belanda. Mereka bersatu, menghilangkan rasa keegoisan, kesukuan, kedaerahan, dan kekhasan mereka masing-masing demi memerdekakan bangsa ini. Dalam perkumpulan tersebut lahirlah sebuah ikrar yang dapat mempersatukan seluruh pemuda kala itu “Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan”. Inilah ikrar yang sekarang kita kenal sebagai sumpah pemuda yang menjadi tonggak kebangkitan para pemuda bangsa ini.
Kita bisa menangkap pesan dari sejarah singkat diatas bahwa dengan digaungkannya sumpah yang agung tersebut, pemuda berhasil mengubah perjuangan yang mulanya bersifat kedaerahan menjadi nasional. Pemuda kala itu dihadapkan dengan tantangan yang nyata, yakni melawan kolonial. Pemuda kala itu tahu bahwa tanggung jawab mereka adalah memerdekakan bangsa Indonesia.
90 tahun ikrar yang agung tersebut telah dikumandangkan. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah kita pemuda zaman sekarang yang dikenal sebagai pemuda millenials mewarisi api dari sumpah pemuda? Ataukah hanya mewarisi abu dari sumpah pemuda tersebut? Apakah pemuda saat ini telah menjadi penggerak perubahan bagi bangsa? Perubahan seperti apakah yang dibutuhkan Indonesia saat ini? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh kalangan pemuda saat ini.
Jikalau pemuda masa itu memiliki tantangan melawan penjajah, tantangan pemuda masa ini tak kalah beratnya. Tantangan yang disuguhkan pun terbilang kompleks. Pemuda millineals dihadapkan dengan krisis multidimensi, mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Terlihat jelas, dahulu Indonesia di mata dunia sangat berwibawa dan mandiri, terbukti banyak tokoh-tokoh hebat terlahir di Indonesia seperti bapak Ir soekarno. Namun kini, Indonesia menjelma menjadi negeri yang bergelimang produk impor bukan hanya di sektor barang melainkan juga pada ide dan budaya anak bangsa yang membuat spirit kreatifitas anak bangsa menurun.
Dibidang ekonomi misalnya, Indonesia masih sangat bergantung pada barang impor, padahal Indonesia dikenal sebagai Negara dengan SDA yang sangat kaya. Begitu pula dibidang budaya, para pemuda kita lebih cenderung kepada budaya luar ketimbang kearifan lokal kita sendiri. Padahal kebudayaan yang dimiliki Indonesia sangatlah beragam. Batik misalnya, pengakuan UNESCO terhadap batik Indonesia menjadi bukti nyata bahwa kebudayaan yang kita miliki sangatlah indah. Namun para pemuda kita lebih senang dan berbangga jika ia memiliki barang impor.
Tak luput dari itu, sebagian dari pemuda kita juga ada yang berprestasi di kancah Internasional. Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon misalnya, siapa yang tidak kenal dua sosok pemuda millenials ini, yang selalu membanggakan nama Indonesia dimata dunia. Keberhasilan pelajar dari asuhan Professor Yohanes Surya yang menjadi juara Olimpiade Fisika dan Matematika ditingkat dunia memberikan pertanda bahwa pemuda-pemudi Indonesia tak kalah hebatnya.
Coba bayangkan bilamana seluruh pemuda-pemudi Indonesia memiliki tekad dan juga etos kerja seperti baja diseluruh sektor yang ada, maka bisa dipastikan 10 atau 20 tahun kedepan Indonesia akan tampil di mata dunia laksana garuda wisnu kencana. Saya yakin, diseluruh Indonesia tersebar tunas-tunas bangsa yang hebat, namun sebagaimana tunas yang asli ia memerlukan pemeliharaan. Begitupun dengan pemuda-pemudi Indonesia, sesungguhnya dalam momentum sumpah pemuda kali ini tak hanya sebagai ajang selebrasi setahun sekali atau sebagai penghias kalender saja, melainkan inilah momentum yang sangat tepat bagi para pemuda untuk menanamkan nilai nasionalisme dan patriotisme serta memaknai sumpah yang agung tersebut.
Lembaga pendidikan, masyarakat, pemerintah dan yang tak kalah pentingnya adalah keluarga yang sangat dibutuhkkan perannya dalam memberikan dorongan atau spirit kepada pemuda untuk terus maju dan berkarya. Karena pemuda-pemudi Indonesia adalah aset yang sangat berharga. Yang patut dipelihara secara positif, bukan disuguhkan tontonan orang-orang yang sibuk meperebutkan kursi jabatan atau sinetron yang bertuhankan rating berserta penonton bayarannya. Hal ini yang dapat melahirkan generasi komsumtif yang tak produktif, generasi yang apatis terhadap masalah sosial.
Bila pemuda bangsa yang ada di tahun 1928 menjawab tantangan dengan persatuan melawan penjajah, maka pemuda Indonesia saat ini yang dikenal sebagai pemuda millenials harus menjawab tantangan krisis multidimensi dengan cara tampil sebagai pionir-pionir perubahan dengan segudang prestasi yang dimilikinya sesuai kecakapannya masing-masing. Pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki potensi dalam dunia atlet harus menjadi pionir terbaik di dunia ke-atlite-an sehingga mampu mengahrumkan nama Indonesia di mata dunia. Begitupun dengan pemuda pemudi Indonesia yang memiliki kecakapan dibidang kesenian dan kebudayaan, jadilah seniman dan budayawan yang diakui dunia. Jalani secara ikhlas dan tulus demi kemajuan bangsa Indonesia.
Saya teringat penggalan lirik lagu yang dibawakan oleh CJR yang berjudul mata air, yang sarat akan makna dan mampu membakar semangat para pemuda-pemudi Indonesia.
“Menjadi mata air yang terus mengalir, selalu memberi karya terbaik bagi bangsa”
“Menjadi mata air, ciptakan kedamaian, menjawab tantangan arah tujuan masa depan Indonesia”
Semoga kelak aku, kamu, dan kita semua bisa menjadi “MATA AIR”