
Oleh: Ahmad Mushawwir*
Dahulu waktu berumur 8 tahun, saya pernah bertanya kepada ayah (kakek), “Ayah, untuk apa yah kita hidup??” Kakek langsung tersenyum setelah mendengar pertanyaan itu, kemudian dia berkata, “Anakku, pertanyaanmu itu sungguh bagus sekali, tapi kamu ndak usah terlalu memikirkannya. Yang penting kamu itu harus rajin sholat dan membaca Qur’an saja yah?” sambil mengusap kepala saya.
Waktu itu saya berpikir kalau ayah tidak menjawab pertanyaan itu. Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya baru menyadari ternyata ayah sudah menyinggung tujuan hidup di dunia ini.
Ketahuilah..
Hidup di dunia ini bukan hanya untuk makan, minum, dan kawin saja. Sekali lagi, tidak. Kalau memang demikian, apa bedanya dengan binatang?
Allah Swt telah lama memberikan arahan-Nya dalam firman-Nya.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
Mengetahui tujuan hidup saja tidaklah cukup. Sebagai orang yang beriman kita telah diberikan tugas mulia dan dituntut untuk memenuhi tugas tersebut.
Tugas apakah itu? Allah langsung menjawab dengan Firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Suatu tujuan tidak akan tercapai kecuali dengan mengerjakan tugas tersebut dengan sebaik-sebaiknya. Dan kita tahu bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara bukan selamanya. Jadi, jangan pernah lupa dengan tugas hidup yang telah diberikan. Seriuslah!! seperti kita fokus dalam mengerjakan suatu tugas penting. Kenapa? Karena tak satu pun di antara kita yang dapat hidup abadi. Kehidupan pasti akan menemukan titik akhir. Allah Swt berfirman :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
.
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia”.( QS. Al-Mu’minun [23]: 115-116)
Selanjutnya, jangan pernah kita mengira apapun yang pernah kita lakukan selama berada di dunia ini dibiarkan begitu saja tanpa ada balasan setimpal. Ingat! Bahkan sekecil atom pun akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Allah Swt berfirman :
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”. ( QS. Al-Qiyamah [75] : 36 ).
Kembali ke permasalahan awal. Persoalannya sekarang adalah pada tugas kita. Kerjakan tugas utama tersebut dengan sebaik-baiknya, lalu sempurnakan. Itu saja. Oleh sebab itu, setiap orang yang mengaku bahwa dirinya muslim hendaklah dia berusaha dengan maksimal untuk merealisasikan pengabdiannya kepada Sang Khalik di mana pun dan dalam kondisi apapun itu. Pada setiap gerak dan diam, ucapan dan tingkah laku, bahkan sampai kepada getaran hati kita yang teramat dalam sekalipun, hendaklah selalu berarti di sisi-Nya. Jangan biarkan satu nafas pun yang keluar dengan sia-sia. Dengan begitu kita senantiasa mendapat pahala dan rida-Nya.
IBADAH = PAHALA, itulah janji Allah Swt.
Abdullah bin Abdul Aziz al-Li mengatakan, “Kita diciptakan sebagai manusia dengan tabiat dan karakter yang khusus. Artinya gabungan dua makhluk Allah; malaikat dan iblis. Malaikat orientasinya selalu pada aspek spiritual, tunduk, dan ingin selalu dekat di sisi-Nya. Sementara iblis identik dengan kesombongan, kerusakan, serta kedurhakaan. Maka, setiap manusia berbeda tingkah laku lahir dan batinnya. Dilihat siapa di antara dua sifat makhluk tersebut yang mendominasi dalam jiwanya, hina atau mulia sejalan dengan karakter dan tabiat setiap kita.
Abdullah bin Wahhab r.a berkata, “Semua kenikmatan dunia hanya satu kenikmatan, kecuali kenikmatan ibadah. Ibadah mempunyai tiga kenikmatan: (1) Ketika sedang beribadah, (2) Ketika sedang diingatkan untuk beribadah, dan (3) ketika mendapatkan pahala di akhirat kelak.” (Ibnu al-Kharrath, ash-Shalah wa at-Tahajjud)
Saatnya kita semua berusaha sedini mungkin mengembalikan tujuan hidup dengan tujuan yang sesungguhnya. Beribadah semata kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam.
*Mahasiswa PBSB UIN Sunan Kalijaga Prodi Ilmu Hadis Semester V.
Reaksi: |
Nice olooo😍😍👌👌
BalasHapus