Pengikut

Sabtu, 08 Desember 2018

Markomat Jadi Nabi



(Ahmad Ahnaf Rafif)

“Aku adalah Dia yang aku cintai. Dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami.” -al-Hallaj.

”Menyatunya manusia dengan Tuhan itu ibarat cermin dengan orang yang sedang bercermin. Bayangan dalam cermin itu adalah manusia.” -konsep manunggaling kawulo gusti.
Sambil menyemil kerupuk, Markomat membaca syair-syair yang sama sekali tidak dipahaminya. Alih-alih mendapat hal baru, ia justru semakin bingung. Bagaimana mungkin manusia menyatu dengan Tuhan? Atau bagaimana bisa Tuhan bersemayam dalam diri manusia? Dalam buku itu tertulis kalau konsep-konsep itu bisa menjadi alternatif bagi dekadensi moral. “Mananya yang solutif?” Pikir Markomat.
“Aku menyerah! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Beri aku solusi, Sub!”
“Cuma satu, Mat. Jadilah Nabi.”
Markomat tersedak, “hei! Yang benar kamu, Sub! Ah, aku gak percaya sama kamu. Sesat itu namanya, Sub.”
“Hahahaha.. memangnya apa yang kamu pahami, Mat? Kemana-mana pakai gamis, pergi naik unta, jenggot panjang, atau mendaku jadi nabi? Bukan itu maksudku, Mat,” tertawa.
“Ya jelas-jelas kamu tadi bilang kalau aku harus jadi nabi. Ingat kamu, terakhir kali ada yang mengaku nabi, langsung dilaporkan ke polisi. Warga gak terima, karena jelas itu sesat!”
“Bukan begitu, Markomat bin Syu’aib. Kamu tak perlu mendaku jadi nabi. Tak perlu memproklamirkan diri sebagai nabi. Tak perlu mengajak orang untuk mengikutimu. Yang perlu kamu lakukan cuma menyatu dengan pribadi nabi. Ikutilah segala perbuatannya yang luhur. Akhlaknya, pribadinya, budi pekertinya. Dan kalau itu yang kamu lakukan, kamu sudah menjadi nabi. Kamu berhasil manunggaling dengan nabi, baik kamu sadari atau tidak. Tanpa kamu mendaku secara lisan, orang dengan sendirinya akan memperhatikanmu.”
“Pernyataanmu masih belum aku terima, Sub.”
“Oke, sekarang begini. Kamu lihat sekarang, justru banyak orang yang manunggaling dengan iblis. Namun mereka tidak mendaku bahwa mereka itu iblis. Mereka juga tidak memakai atribut-atribut iblis semacam gigi taring atau tanduk di kepalanya. Kamu bayangkan bagaimana kalau mereka mengumumkan kalau mereka manunggaling dengan iblis.”
“Lebih bahaya mana, mendaku menjadi nabi atau mendaku menjadi iblis?”
“Ya tergantung, Mat. Kalau kamu mendaku nabi di hadapan iblis bisa bahaya, begitu juga sebaliknya. Yang terpenting tak usahlah mendaku-daku. Cukup liat dirimu sendiri, kira-kira kamu sudah manunggaling dengan siapa, nabi atau iblis?”
“Tapi aku penasaran. Aku ingin mendaku. Aku ingin tahu bagaimana responnya.”
“Terserah kamu, asal tanggung sendiri resikonya. Memangnya dimana kamu mau mendaku?”
“Di depan mukamu, Sub.”

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar