
Tuhan merupakan eksistensi tertinggi dalam sebuah agama. Dia tak akan mungkin dan tak akan pernah digantikan oleh kekuatan apapun. Namun tidak semua yang mengaku beragama memiliki Tuhan. Atau tepatnya, banyak yang mengaku beragama namun tanpa sadar membunuh Tuhannya sendiri.
Perbuatan ini memang tidak tercatat sebagai kejahatan kriminal dan tidak pula dianggap sebagai perbuatan keji baik dalam hukum negara maupun agama. Sebab dalam perbuatannya, pembunuh tidak menggunakan alat-alat yang dianggap berbahaya dalam peraturan perundang-undangan.
Ada berbagai macam bentuk orang yang membunuh Tuhan. Yang paling keras datang dari Fredrich Nietzsche. Dengan lantang dan tanpa ragu ia berteriak, “Tuhan sudah mati!” Ungkapan ini, secara literal, merupakan ungkapan yang mengganjal keimanan umat beragama, terutama pada masanya. Bagaimana mungkin Tuhan telah mati?
Bahwa apa yang sebenarnya diinginkan dan diyakini oleh Nietzsche melalui perkataan tersebut bukanlah persoalan yang akan dibahas di sini. Sebab akan terlalu panjang untuk mendiskusikan penggalan ungkapan tersebut.
Yang terpenting dari ungkapan itu bahwa cletukan “Tuhan telah mati!” merupakan proses dari perjalanan nihilisme. Nihilisme adalah suatu proses runtuhnya nilai-nilai yang dulunya dianggap biasa dan wajar. Namun ia roboh seiring berkembangnya zaman, sebagaimana juga diramalkan Auguste Comte tentang tiga perkembangan zaman yang berujung pada zaman positivistik.
Selain merujuk pada makna eksistensi Tuhan itu sendiri, kata “Tuhan” yang dimaksud oleh Nietzsche juga bermakna luas. Hal ini diungkapkan oleh St. Sunardi, penulis biografi dan pemikiran-pemikiran Nietzsche. Gambarannya akan Tuhan ialah segala hal yang menyangkut jaminan absolut. Di dalam bukunya ia berkata:
“Sejak zaman Yunani sampai renaissance manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut, Tuhan, untuk memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bahwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Pudarnya Tuhan selalu diikuti reformasi supaya Tuhan tetap hidup. Para tokoh reformasi ini, menurut Nietzsche, antara lain meliputi Pythagoras, Plato, Empidokles dan Luther. Namun semua reformasi yang mereka lakukan akhirnya gagal. Proses kematian Tuhan tak dapat dielakkan. Karena jaminan absolut sudah kehabisan darah, maka nilai-nilai yang diturunkan dari padanya pun runtuh. Terjadilah proses nihilisme.” (St. Sunardi, 2011: 41).
Namun nampaknya, meskipun masa itu telah berlalu, banyak penganut agama yang masih mencari model Tuhan lain yang diharapkan mampu memberikan jaminan absolut yang lebih besar. Jaminan absolut yang bisa saja berasal dari diri sendiri maupun dari luar dirinya sehingga menggeser posisi Tuhan.
Dalam suatu kesempatan, Emha Ainun Nadjib pernah menyampaikan gagasannya mengenai orang-orang yang telah mengambil hak preogatifnya Allah. Orang-orang itulah yang terlalu sering melabeli orang lain dengan sebutan “kafir”. Seolah telah mengetahui isi hati, takdir, maupun tingkah laku keseharian, ia mengambil hak preogatif yang seharusnya merupakan tugas Tuhan untuk melabeli “ya” atau “tidak” terhadap seseorang.
Cak Nun memang tidak menyebutkan secara tegas akan kematian Tuhan, namun dalam kasus seperti ini, posisi Tuhan tergantikan oleh umatnya sendiri. Alih-alih menyebarkan nilai ajaran agama, ia justru mengambil alih posisi Zat Yang Memberi Nilai tersebut dan berkemungkinan membangun nilai yang ‘baru’. Inilah yang dikatakan Nietzsche di atas akan runtuhnya nilai-nilai yang dibawa agama. Bentuk pembunuhan ini merupakan bentuk pembunuhan terhadap Tuhan yang paling keji, sebab ia membunuh dengan tangannya sendiri.
Jaminan absolut yang dapat menggeser posisi Tuhan juga bisa berasal dari luar manusia. Bentuk ini merupakan bentuk pembunuhan yang lebih halus dari yang pertama, sebab menggunakan media lain dalam prosesnya.
Pembunuh jenis ini ialah mereka yang meyakini otoritas lain yang dapat menjamin hidup manusia secara umum dan dirinya sendiri secara khusus, seperti ilmu pengetahuan. Matinya Tuhan yang tergantikan oleh ilmu pengetahuan akan menjadi tragedi yang besar dalam sejarah umat manusia.
Pertanyaannya kemudian, apakah mustahil jika memadukan keduanya? Bukankah keduanya mengusung nilai yang sama? Jawabannya mungkin ya dan mungkin tidak. Jauh-jauh hari pun Albert Einstein sudah memberikan sinyal akan keterpaduan antara agama dan ilmu pengetahuan. Namun pernyataannya tersebut bertentangan dengan teori Auguste Comte yang meyakini bahwa agama dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda. Dunia akan menyaksikan pertarungan keduanya dan bisa jadi hanya akan ada satu pemenang.
Kita bisa melihat tokoh Edmond Kirsch dalam novel Origin. Buku yang dikarang oleh Dan Brown ini menggambarkan pertarungan antara agama dan sains. Melalui tokoh Kirsch, ia menjelaskan teori-teori sains yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena metafisis sekaligus membunuh keyakinan umat beragama. Tak jauh berbeda dengan dunia fiksi, di dunia nyata pun kita bisa menyaksikan tokoh-tokoh dengan ide serupa, salah satunya ialah Stephen Hawking.
Perjalanan sejarah manusia masih terus berjalan, namun kematian Tuhan terlalu cepat terjadi. Sayangnya, Dia tidak mati sebab faktor lain, melainkan dibunuh tanpa sadar oleh umat-Nya sendiri. Bersamaan dengan itu, tentu masih ada harapan untuk menjauhkan Tuhan dari ambang kematian.
Oleh: Ahmad Ahnaf Rafif