Terbersit di dalam hati yang terdalam, ketika semuanya harus dijalani. Mengerjakan tugas akhir, memenuhi kebutuhan hidup, mencari tambahan keuangan yang tak pernah stabil, dan segala hal yang berhubungan dengan seorang mahasiswa tingkat akhir seperti saya. Berkaitan dengan asmara, tolong jangan ditanya. Suram!
Lalu apa yang akan terbersit tadi? Ya, sesuai judul di atas: Apakah saya mampu?
Ketidakmampuan atau bahkan kemampuan seseorang sesungguhnya berasal dari diri kita sendiri. Kalau memotivasi diri sendiri saja tidak mampu, jangan sok memberi motivasi orang lain, deh. Betapa banyak kita menemukan orang-orang yang mampu memotivasi orang lain dengan kata-kata manis, namun ketika berhadapan dengan masalah pribadinya ia malah selalu mengeluh.
Stop menonton acara-acara motivasi di televisi, motivasi diri sendiri. Kekuatan terbesar ada dalam dirimu sendiri!
Salah seorang dosen saya pernah berkata seperti ini, “Gantilah kalimat saya tidak bisa menjadi saya pasti bisa.” Guru saya yang lain berkata, “Dalam kehidupan, motivasi orang lain berperan 10%, 90% adalah motivasi diri sendiri”. Inilah pentingnya motivasi diri, bahwa diri kita adalah sebaik-baiknya motivator. Bukan kata pacarmu, gebetanmu, adik-kakakmu, apalagi dia yang meninggalkan ketika sedang sayang-sayangnya. Halah pret!
Saya memiliki metode sendiri ketika memotivasi diri sendiri. Saya sebut dengan, “Berbicara dengan diri sendiri”. Bukan indikasi menjadi orang gila. Tetapi ini adalah cara terjitu, setidaknya menurut saya sendiri, untuk menanyakan diri saya perihal kapasitas, kemampuan, dan batas diri saya. Tanya dirimu, sebatas apa dirimu mampu, sekuat apa kau berjuang, kapan kau butuh liburan, kapan kau butuh untuk sedikit istirahat dan tertawa lepas dengan kawan-kawanmu. Lalu kembali berjuang.
Ingat! Kembali berjuang! Bukan foya-foya terus, dan berharap tua masuk surga. Surgane mbahmu!
Di atas saya sebut bahwa kita harus tahu kapan berjuang dan kapan beristirahat. Hal ini disebabkan badan dan pikiran kita berhak untuk beristirahat. Jangan keterlaluan memforsir diri sendiri. Perlulah kadang beristirahat dengan bertemu kawan, mencicipi kopi, atau punya cara refreshing sendiri yang setidaknya menenangkan dan kemudian membuat semangat kembali naik.
Menyadari kapasitas dan kemampuan diri untuk menyadarkan diri bahwa kita memiliki batas. Batas untuk memilih bahwa saya akan meraihnya atau tidak. Ketika sudah menyadari kapasitas dan kemampuan diri, dengan sendirinya langkah kita akan terarah. Singkatnya, kalau sadar bahwa kau tak pantas bagi dirinya, menyerah sajalah! Cari yang lain. Eh, maaf maaf.
Selanjutnya, merupakan metode yang opsional. Bisa digunakan atau tidak. Tapi saya menggunakannya. Atau setidaknya banyak dari kita yang menerapkannya dan tidak sadar sedang menerapkannya. Yaitu, “Berpikir negatif pada diri sendiri dan berpikir positif pada orang lain.” Mengapa bisa seperti itu?
Begini, jangan suka berpikir negatif pada orang lain. Sebenci apapun kita pada orang tersebut. Yakin, itu malah membebani pikiran dan hati kita sendiri. Seringkali kita berpikir atau setidaknya menginginkan kehidupan orang lain. Asmara lah, kekayaan lah, nikmatnya hidup orang lain lah, tugas akhir teman yang sudah selesai lah, dan sebagainya. Eh, yang terakhir ada batas toleransi deh, hehe.
Namun sebaliknya, berpikirlah negatif pada diri sendiri. Saya kurang rajin, saya kurang sering membaca, saya kurang produktif, dan kurang-kurang yang lain. Tidak lain ini untuk menstimulasi isi kepala kita dan membuatnya berpikir hanya ada satu jalan untuk mengubahnya. TINGKATKAN!
Kepada orang lain, usahakan hanya ada pikiran positif. Kalau orang lain pintar, bacaannya banyak. Kalau orang lain lebih kaya, dia giat bekerja. Kalau orang lain lebih ahli, tulisannya banyak. Kalau dia nggak bales chatmu, kamu bukan prioritasnya. Hehe.
Saya tidak sedang memotivasi pembaca, sungguh! Saya sedang curhat loh ini. Kalau kalian yang membaca merasa saya sedang memotivasi kalian, mohon maaf. Kan saya sudah bilang, motivasi terbesar adalah diri kita sendiri.
Nah, berkaitan dengan curhat, saya tutup tulisan ini dengan cara terakhir menghadapi pertanyaan di atas. Biasakan menjadi pendengar yang baik dan ceritakan ceritamu pada telinga yang mendengarkanmu. Menjadi pendengar yang baik itu butuh keahlian. Karena fokus untuk mendengar cerita kawan yang sedang kebingungan seringkali membosankan. Dalam sebuah tweet, Daruz Armedian berkata: “Jika kamu punya temen yang punya masalah, coba dengarkan keluh kesahnya. Siapa tahu dengan itu, kamu bisa menyelamatkannya. Kadang orang yang punya masalah gaperlu motivasi, gaperlu dinasihati, cukup ceritanya didengarkan.” See? The power of listening someone.
Tetapi, sejalan dengan ini, Daruz melanjutkan: “Tapi saat kamu sering melakukan itu (mendengarkan curhat temenmu), kamu juga perlu menengok diri sendiri, kamu juga perlu penyembuhan diri, ceritamu juga perlu didengar. Salut untuk kamu yang kuat sampai hari ini.” Katanya yang dipost tanggal 15 Juli kemarin.
Seseorang yang sedang dilanda masalah tidak butuh motivasi, tidak butuh nasihat. Hanya butuh didengarkan. Dan ini senyatanya benar. Cukup didengarkan saja sudah membuat setengah dari masalah seakan teratasi. Setidaknya dengan kepala dingin, menghadapi masalah akan terasa lebih ringan.
Tapi jangan lupakan diri sendiri. Kalau sedang dilanda masalah, kita punya hak untuk didengarkan. Ceritakan masalahmu pada seseorang yang benar-benar kalian percaya. Tidak hanya dia yang kalian sayangi, cintai, kasihi, atau apapun itu sebutannya. Tetapi orang yang kalian percaya mampu menjaga rahasia kalian, dan mampu menjadi pendengar yang baik. Intinya, jangan semua orang diberi tahu masalahmu. Tidak semua orang adalah pendengar yang baik.
Dan terakhir, jangan lupa berbicara pada dirimu sendiri. Kau bahkan lebih ahli dari Pak Mario Teguh dalam hal memotivasi diri sendiri. Percayalah percayalah! Nggak percaya juga nggak papa. Emang kandanane angel!
Oleh: Muhammad Farid Abdillah