Pengikut

CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

SARASEHAN

Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Kamis, 26 September 2019

Tuna Asmara


Oleh: Ontoseno

Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Timus sudah pergi ke rumah Ingsun.
“Mus. Nampaknya tak ada dokter yang bakal tahu jenis penyakitku.”
“Sudah kuduga. Berulang kali kukatakan padamu, Sun.”
“Tapi semua bukan salahku. Aku ditakdirkan untuk menjadi seperti ini.”
“Tidak! Jangan percaya sepenuhnya pada takdir. Semua akan baik-baik saja.”
“Baik-baik saja katamu? Bagaimana bisa seseorang alergi dengan tulisan cinta, jijik melihat manusia berpasang-pasangan, muak dengan kata-kata kasih, kekasih, kisah, asih, asuh? Barang-barang menjijikkan yang membuat mataku rusak. Dokter-dokter itu tak tahu apa sebab memerahnya mataku ketika ditunjukkan padaku dua orang yang sedang memadu kasih.”
“Hanya satu obatnya, Sun. Kau harus merasakan apa itu kasih sayang.”
“Aku tak sepenuhnya paham apa itu kasih sayang.”
“Hei! Berapa tahun kau menutup matamu dari kehidupan cinta?”
“Apa maksudmu? Aku bukan manusia yang nilai cintanya nol besar. Aku jamin. Kau Timus, bujang lapuk yang loncat ke sana-sini atas nama cinta, kalah romantisnya denganku.”
“Hahaha. Apa buktinya? Kau bahkan alergi dengan hal-hal romantis.”
“Betul. Tapi alergiku bersifat eksternal, bukan internal. Aku sangat romantis dengan diriku sendiri. Aku berharap bisa menikahi diriku yang romantis ini. Itulah romantisme liberal. Aku menyebutnya demikian, terserah kau setuju atau tidak.”
“Jelas itu penyakit, Sun. Bagaimanapun manusia diciptakan berpasang-pasangan. Aku akan bantu menyembuhkanmu. Kau tahu Maya? Anak gadis Pak Lurah, lulusan Akademi Kebidanan. Dia incaran banyak orang. Kuantar kau ke sana sekarang juga.”
“Tidak. Kedudukannya membutakan hatinya.”
“Bagaimana dengan Lisa anaknya Pak Bero? Dia anak orang biasa, petani. Sekarang juga kita ke sana.”
“Sederhana, tapi tak bangga dengan dirinya sendiri.”
“Kalau Minah?
“Terlalu gemulai.”
“Lasmi?
“Tidak. Pinggulnya besar sebelah.”
“Zahra?”
“Terlalu kekinian. Tak cocok buatku.”
“Arum?”
“Tidak.”
“Nurul?
“Tidak.”
“Soli?”
“Tidak, tidak, tidak. Kau yakin orang-orang itu bisa menyembuhkanku? Memangnya mereka dokter?”
“Sun, kau hanya perlu sentuhan cinta. Hanya itu yang bisa menyembuhkanmu.”
“Jadi maksudmu, orang yang tak tersentuh dengan cinta dari orang lain adalah orang sakit?”
“Tepat.”
“Menurutmu apa ciri orang berpenyakitan seperti itu?”
“Mudah sekali. Jika kau ingin tahu orang yang kekurangan tidur, lihatlah matanya. Jika ingin tahu orang yang kekurangan serat, lihatlah tubuhnya. Jika kau ingin tahu orang yang kekurangan kasih sayang, lihatlah dirimu sendiri.”
“Maksudmu jika mata seseorang merah dan berair obatnya adalah tidur dan orang yang kekurangan serat hanya diobati dengan makan buah, dengan demikian orang yang kekurangan kasih sayang hanya bisa diobati dengan sentuhan cinta dari orang lain. Itukah yang kau maksud?”
“Tepat sekali, Ingsun.”
“Kalau begitu, orang yang memberi cintanya kepada yang dicinta bisa dibilang sebagai orang yang berjasa, karena memelihara kesehatan jiwa?”
“Sudah pasti jasanya tak terhitung.”
“Pemberi jasa, dengan demikian, haruslah memiliki keahlian agar jasanya benar-benar berguna. Berarti, cinta bersifat ekslusif, hanya dimiliki orang-orang yang mumpuni dalam mencinta.”
“Kau ada benarnya, Sun. Tak semua orang yang berpasang-pasangan ahli dalam mencinta. Namun tak dapat disangkal, setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai.”
“Jika begitu, maka wajar saja jika cinta juga bisa menghasilkan kerusakan-kerusakan.”
“Kerusakan yang bagaimana?”
“Permusuhan, agaknya adalah hasil dari kurangnya kualitas dari mencintai.”
“Begitulah, pada akhirnya ia akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Itulah kesimpulannya.”
“Kalau begitu, Timus, masihkah kau ingin mengajakku bersafari ke rumah gadis-gadis itu?”
“Terserah padamu. Kupikir pengetahuanmu tentang cinta sama sekali kosong.”
“Tidak, Timus. Aku hanya berhati-hati dengan benda itu. Tidak pula aku alergi dengannya. Aku hanya muak dengan kualitas mencintai orang-orang sekarang. Coba bayangkan jika seorang pembuat kue yang tidak mumpuni memaksakan diri untuk membuat kue?”
“Tak selayaknya ia disebut sebagai pembuat kue.”
“Tepat. Seperti itulah seorang yang memaksakan diri untuk mencintai, ia tak layak disebut pecinta.”
“Tapi, Ingsun. Bukankah cinta tak memiliki rumus pasti? Berbeda dengan pembuat kue yang harus menghafalkan rumus-rumus membuat kue yang lezat?”
“Setuju. Cinta memang bukan barang ajeg. Kita tak bisa menghitung seberapa besarnya ia di dada seseorang. Tak bisa pula kita menghitung kualitasnya, sebagaimana kita mengukur kelezatan sepotong kue. Tapi Timus, coba kau perhatikan. Dengan tidak adanya ukuran-ukuran pasti yang melekat dengannya, banyak pecinta yang mengaku cinta padahal nol besar.”
“Itu artinya, bagi orang-orang seperti itu, mencintai adalah seni berbohong?”
“Itulah implikasinya.”
“Tapi Ingsun, bukankah berpura-pura mencintai lebih mulia daripada tak mencintai sama sekali? Masih ada harapan untuk cinta palsu itu berubah menjadi ketulusan. Sedangkan tak mencintai sama sekali, apa yang bisa diharapkan?”
“Nampaknya kau menyinggungku. Timus, kalau perbincangan ini dilanjutkan, akan memakan waktu yang lama. Aku harus pulang, memberi makan ternak-ternakku.”
“Baiklah, kutunggu pilihanmu.”
Bersambung….

Sabtu, 21 September 2019

Kilas Sejarah 21 September: Ha(r)i Persatuan!

Oleh: Oontoseno
Sejarah mencatat tanggal 21 September sebagai tanggal di mana umat Islam di Indonesia pernah duduk bersama secara damai. Adalah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang kala itu dibentuk pada tahun 1937 di Surabaya dengan pemrakarsa KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH. Muhammad Dahlan serta KH. Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama dan W. Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Beberapa organisasi Islam juga hadir dalam pembentukan organisasi ini, seperti Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Al-Islam (Organisasi Islam lokal Solo), Persyarikatan Ulama Majalengka dan lain-lain yang waktu pembentukannya baru diikuti tujuh organisasi.
Federasi ini, menurut Deliar Noer, berfungsi sebagai tempat permusyawaratan umat yang terdiri dari wakil beberapa perkumpulan yang berdasarkan Islam dan putusannya harus dipegang teguh oleh perhimpunan yang menjadi anggotanya. Tak hanya itu, MIAI pun telah menyusun program-program yang akan dicapai bersama, seperti mempersatukan organisasi-organisasi Islam Indonesia untuk bekerja sama, berusaha menjadi pendamai jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan sesama muslim, memperkokoh hubungan persaudaraan antarmuslim baik dalam dan luar negeri, berikhtiar menyelamatkan Islam dan masyarakatnya dengan membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi umat dan agama, hingga menyelenggarakan Kongres Muslimin Indonesia setiap tahun.
Meskipun program yang disusun bersifat internal demi kepentingan umat dan agama Islam itu sendiri, namun sejatinya federasi ini tak dapat terbentuk jika tidak ada yang disebut oleh Ahmad Mansur Suryanegara sebagai common enemy (kesamaan musuh). Dan akhirnya, common enemy yang mengakar di setiap kepala anggotanya tersebut membentuk ikatan emosi yang kuat sehingga tanpa disadari, kesamaan rasa tersebut membuat mereka lupa terhadap permasalahan khilafiyah dan furu’ demi melawan politik kolonialisme Belanda.
Sejatinya, yang menjadi kesamaan perlawanan MIAI tersebut adalah akibat yang ditimbulkan dari praktik kolonialisme, seperti perlakuan yang tidak adil, penjajahan, ketidaksamaan hak di depan hukum, penindasan serta perampasan hak yang merugikan rakyat Indonesia. Sehingga, meskipun berbeda pandangan dan orientasi, mereka dapat menepis hal-hal sepele dan mengutamakan persatuan.
Berawal dari MIAI, dapatkah organisasi Islam yang tumbuh subur sekarang duduk bersama dan saling membangun? Haruskah semua itu dimulai dari common enemy? Bukankah setiap ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, eksploitasi alam, kurangnya kualitas pendidikan, kurangnya kesejahteraan hidup merupakan musuh bersama yang harus dituntaskan? Bukankah permasalahan furu’ pernah ditepis bersama? Bukankah itu lebih utama daripada sekadar mengidentifikasi paham-paham sesat dan mengeluarkan sertifikasi halal? Kenapa kita sebagai bangsa lebih mudah mengulangi hal-hal buruk, tetapi sulit sekali mengulangi hal-hal baik walau barang sekali?
Kenyataan bahwa organisasi masyarakat (ormas) dan organisasi politik (orpol) Islam di Indonesia hanya mementingkan diri mereka pribadi tak dapat dielakkan lagi. Terlebih mereka hidup di era post-truth, di mana keterikatan emosi lebih utama daripada data dan fakta. Era ini pulalah yang melahirkan budaya hoaks, yang membuat jurang antarormas dan orpol Islam semakin renggang.  Seharusnya, budaya ini yang harus dijadikan musuh bersama yang mesti dimusnahkan, bukan malah dijadikan senjata untuk menciptakan perselisihan.
Sungguh, nampaknya negeri ini sangat senang dijajah, terutama oleh pikiran mereka sendiri. Ah, penulis jadi teringat dengan perkataan Gus Dur yang kira-kira begini, “Semakin tinggi sikap beragama penganutnya, semakin tinggi pula wibawa agamanya. Apakah harapan agar masing-masing ormas dan orpol Islam dapat duduk bersama hanyalah sebuah utopia?

Kamis, 05 September 2019

Mari Menjadi Mahasiswa yang Siap Membangun Bangsa


Menjadi mahasiswa memiliki konsekuensi bahwa kita harus mengubah pola belajar dari yang sudah kita alami di tingkat-tingkat sebelumnya. Kalau ada yang tanya mengapa seperti itu? Ya jelaslah untuk membedakan antara siswa dan mahasiswa, kalau sama kenapa harus ada kata "maha"? Model belajar yang seharusnya dimiliki mahasiswa adalah model belajar yang mulai memadukan antara pembacaan teori dengan realita di lapangan yang diiringi dengan sikap kritis dan solutif. Selama mahasiswa hanya membaca teori, maka selama itulah dia hanya sebatas "siswa" dan tidak layak dikatakan sebagai "maha".
Mahasiswa harus mampu membaca realita yang ada di sekitarnya, sikap kritis yang harus dimiliki akan menuntun untuk melihat "masalah" dan mempertanyakan ulang segala sesuatu yang dilihat. Masalah tidak hanya berupa hal-hal yang sifatnya anomali seperti polemik disertasi yang sedang viral ini, namun lebih kompleks dari itu. Masalah bisa didapatkan dari hal-hal yang dianggap normal-normal saja, itulah yang disebut problem akademik. Dari hal yang normal-normal saja, mahasiswa akan mempertanyakan sebab mengapa itu bisa terjadi, mencari indikator yang menyebabkan dan pada akhirnya bisa merekonstruksinya sehingga mendapatkan gambaran yang nantinya bisa diterapkan di tempat lain yang mungkin sedang terlihat abnormal. Itulah yang disebut solutif.
Namun semua itu tidak akan bisa dilakukan begitu saja tanpa dasar teoritis yang jelas dan metodologi dalam menganalisa tentunya. Teori dan metodologi adalah pelajaran wajib yang akan diterima setiap mahasiswa di kelas dan itulah yang akan menjadi bekal mahasiswa untuk nantinya mampu bersikap kritis dan solutif akan realita yang dilihatnya di masyarakat. Untuk membaca masalah dan mengolahnya, mahasiswa harus memiliki kepekaan (bukan peka sama doi saja). Kepekaan tidaklah dibangun secara instan, kepekaan dibangun melalui proses membaca. Jurnal menjadi salah satu jembatan bagi mahasiswa untuk mengasah kepekaannya, jadi sebagai mahasiswa wajib baginya untuk mengenal jurnal.
Selanjutnya, sebagai mahasiswa kita harus mengikuti organisasi-organisasi yang ada di luar maupun di dalam universitas. Selain jurnal, organisasi menjadi tempat terbaik bagi mahasiswa untuk mengasah kepekaannya serta kemampuannya untuk bermanajamen, menambah relasi serta berbagi pemahaman. Dari organisasi, mahasiswa akan mampu mendiskusikan berbagai hal dengan berbagai sudut pandang, sebab masing-masing anggota tentunya tidak mesti berasal dari jurusan yang sama. Dari organisasi juga, mahasiswa akan secara langsung mempraktikkan etika dalam bermusyawarah dan melihat secara langsung proses menuju mufakat itu terjadi. Mahasiswa yang tidak pernah mengikuti organisasi, tidak akan memiliki pengalaman manajerial dan mengonstruksi gagasan demi sebuah tujuan bersama serta susah mendapatkan pengalaman leadership.
Setelah semua itu dipahami dengan baik, mahasiswa akan mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsanya (idealist no problem and must be). Jadi tidak hanya berpikir pragmatis, selesai kuliah terus kerja, nikah dan beranak-pinak. Melalui kepekaannya menangkap masalah dan kemampuannya mengolah masalah dengan metodologi yang tepat serta berbagai teori di atas kertas, mahasiswa dapat menghasilkan penelitian ilmiah yang dapat menjadi referensi yang sangat berharga bagi arah kemajuan bangsa. Tidak hanya itu, mahasiswa juga berkesempatan untuk menerapkan hasil analisanya dalam masyarakat secara langsung (biasanya masyarakat yang masih terisolir), melalui kegiatan-kegiatan lapangan yang banyak ditawarkan oleh berbagai instansi baik negeri maupun swasta.
Kesempatan itu juga nantinya akan didapat saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), jadi sebaiknya penguasaan atas dasar-dasar yang harus dimiliki mahasiswa itu sudah dimiliki sebelum KKN. Sebab nantinya, mahasiswa akan mampu melakukan pemetaan maupun memberikan gagasan yang tepat dalam upaya membantu percepatan kemajuan desa. Karena tanpa adanya kemampuan mendasar tersebut, mahasiswa tidak akan mampu melihat celah yang dapat diusahakan untuk memaksimalkan kerja nyatanya selama masa KKN dan cenderung hanya akan terlihat menjalankan formalitas kuliah saja. Tidak ada kontribusi yang membekas.
Skill mendasar sebagai mahasiswa itu nantinya tidak hanya bermanfaat selama masa kuliah saja namun sampai akhirnya benar-benar kembali ke masyarakat. Ilmu itu akan sangat berguna dalam menganalisa masalah-masalah yang ada di masyarakat dan dengan begitu kita akan memiliki kesempatan untuk membenahinya, sebab kita tentu saja akan mengetahui penyakit yang menyebabkannya serta dengan pengolahan yang matang akan membuat kita mendapatkan penawarnya juga atau bahkan sampai memberikan vitamin sehingga kesehatannya terjaga.
Terakhir, untuk menopang wawasan dan kemampuan dalam menganalisa masalah serta memberikan solusi dan inovasi, seyogyanya mahasiswa tidak hanya merasa cukup membaca referensi-referensi yang berkaitan dengan jurusan kuliah yang diambil. Mahasiswa harus membekali dirinya dengan bacaan yang tidak terbatas pada satu subjek saja. Ini nantinya akan memudahkan mahasiswa untuk membaca masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan bidangnya. Namun, tentunya untuk melakukan analisa lebih mendalam kemampuan dan wawasan yang dimiliki mungkin lebih terbatas daripada jurusan yang dikuasai, maka di sinilah pentingnya relasi yang memiliki kompetensi di bidang yang tidak kita tekuni.
Nah, jadi jelas bukan bahwa penguasaan seluruh skill dasar serta pengalaman organisasi sangat penting bagi mahasiswa untuk menjadikannya mahasiswa sesungguhnya yang siap membangun bangsa. Dengan seluruh ilmu dan pengalaman yang didapat di perkuliahan tersebut, mahasiswa tidak akan mungkin menjadi pengangguran sebab pastinya akan sangat berguna bagi upaya memajukan masyarakat. Sebenarnya pengangguran itu terjadi disebabkan oleh gengsi karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai jurusan yang ditekuni.

Oleh: Alif Jabal Kurdi