Oleh: Oontoseno
Sejarah mencatat tanggal 21 September sebagai tanggal di mana umat Islam di Indonesia pernah duduk bersama secara damai. Adalah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang kala itu dibentuk pada tahun 1937 di Surabaya dengan pemrakarsa KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH. Muhammad Dahlan serta KH. Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama dan W. Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Beberapa organisasi Islam juga hadir dalam pembentukan organisasi ini, seperti Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Al-Islam (Organisasi Islam lokal Solo), Persyarikatan Ulama Majalengka dan lain-lain yang waktu pembentukannya baru diikuti tujuh organisasi.
Federasi ini, menurut Deliar Noer, berfungsi sebagai tempat permusyawaratan umat yang terdiri dari wakil beberapa perkumpulan yang berdasarkan Islam dan putusannya harus dipegang teguh oleh perhimpunan yang menjadi anggotanya. Tak hanya itu, MIAI pun telah menyusun program-program yang akan dicapai bersama, seperti mempersatukan organisasi-organisasi Islam Indonesia untuk bekerja sama, berusaha menjadi pendamai jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan sesama muslim, memperkokoh hubungan persaudaraan antarmuslim baik dalam dan luar negeri, berikhtiar menyelamatkan Islam dan masyarakatnya dengan membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi umat dan agama, hingga menyelenggarakan Kongres Muslimin Indonesia setiap tahun.
Meskipun program yang disusun bersifat internal demi kepentingan umat dan agama Islam itu sendiri, namun sejatinya federasi ini tak dapat terbentuk jika tidak ada yang disebut oleh Ahmad Mansur Suryanegara sebagai common enemy (kesamaan musuh). Dan akhirnya, common enemy yang mengakar di setiap kepala anggotanya tersebut membentuk ikatan emosi yang kuat sehingga tanpa disadari, kesamaan rasa tersebut membuat mereka lupa terhadap permasalahan khilafiyah dan furu’ demi melawan politik kolonialisme Belanda.
Sejatinya, yang menjadi kesamaan perlawanan MIAI tersebut adalah akibat yang ditimbulkan dari praktik kolonialisme, seperti perlakuan yang tidak adil, penjajahan, ketidaksamaan hak di depan hukum, penindasan serta perampasan hak yang merugikan rakyat Indonesia. Sehingga, meskipun berbeda pandangan dan orientasi, mereka dapat menepis hal-hal sepele dan mengutamakan persatuan.
Berawal dari MIAI, dapatkah organisasi Islam yang tumbuh subur sekarang duduk bersama dan saling membangun? Haruskah semua itu dimulai dari common enemy? Bukankah setiap ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, eksploitasi alam, kurangnya kualitas pendidikan, kurangnya kesejahteraan hidup merupakan musuh bersama yang harus dituntaskan? Bukankah permasalahan furu’ pernah ditepis bersama? Bukankah itu lebih utama daripada sekadar mengidentifikasi paham-paham sesat dan mengeluarkan sertifikasi halal? Kenapa kita sebagai bangsa lebih mudah mengulangi hal-hal buruk, tetapi sulit sekali mengulangi hal-hal baik walau barang sekali?
Kenyataan bahwa organisasi masyarakat (ormas) dan organisasi politik (orpol) Islam di Indonesia hanya mementingkan diri mereka pribadi tak dapat dielakkan lagi. Terlebih mereka hidup di era post-truth, di mana keterikatan emosi lebih utama daripada data dan fakta. Era ini pulalah yang melahirkan budaya hoaks, yang membuat jurang antarormas dan orpol Islam semakin renggang. Seharusnya, budaya ini yang harus dijadikan musuh bersama yang mesti dimusnahkan, bukan malah dijadikan senjata untuk menciptakan perselisihan.
Sungguh, nampaknya negeri ini sangat senang dijajah, terutama oleh pikiran mereka sendiri. Ah, penulis jadi teringat dengan perkataan Gus Dur yang kira-kira begini, “Semakin tinggi sikap beragama penganutnya, semakin tinggi pula wibawa agamanya.” Apakah harapan agar masing-masing ormas dan orpol Islam dapat duduk bersama hanyalah sebuah utopia?
Reaksi: |
Daebak
BalasHapus