Pengikut

Rabu, 23 Oktober 2019

Hari Santri Nasional : Santri NKRI



 Indonesia yang dahulu dikenal dengan nama Nusantara memiliki keberagaman yang unik dan menarik untuk dikaji dan diteliti lagi dan lagi. Salah satu yang begitu menarik yaitu meskipun ada banyak ragam suku, budaya, bahasa, dan agama, keberagaman tersebut seakan telah hilang terlupakan dibawah semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu jua). Hal itu pula lah yang menjadi ciri khas tersendiri Bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Ada satu lagi yang khas dari Indonesia, yaitu golongan santri.
Menurut KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam. Istilah santri sebenarnya tak jauh berbeda dengan kata cantrik, yang dalam Bahasa Jawa berarti orang yang menuntut ilmu pada orang yang pandai/sakti. Namun perbedaan tersebut nampak jelas jika kita bahas lebih mendalam lagi. Cantrik secara umum lebih identik dengan tujuan untuk mendalami ilmu-ilmu kebatinan atau ilmu kesaktian serta tinggal di dalam pedepokan. Sedangkan santri merupakan orang-orang yang tinggal di dalam pondok pesantren dengan tujuan untuk menuntut ilmu-ilmu agama islam sebagai bekal di kemudian hari. Tak hanya orang yang tinggal dan menetap di pondok pesantren. Para Ulama telah memperluas makna dari istilah santri.
Dr. KH. Abdul Mustaqim, M.Ag., dosen Akhlaq dan Ilmu Tasawuf di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam tausiahnya beberapa waktu lalu di Pondok Pesantren LSQ Ar-Rohmah, Bantul, telah mengklasifikasi santri menjadi beberapa kriteria. Pertama, Santri Mukim. Santri Mukim adalah santri yang menuntut ilmu sembari bertempat tinggal di dalam pondok pesantren dalam jangka waktu lama. Santri kriteria seperti ini biasanya mondok (nyantri) sambil bersekolah di sekolah formal atau sambil kuliah. Namun ada juga yang hanya untuk mondok saja untuk menekuni ilmu-ilmu agama atau fokus pada hafalan Al-Quran. Kedua, Santri Kalong. Santri Kalong merupakan santri yang aktif mengikuti berbagai kajian-kajian di dalam pondok pesantren. Namun mereka tidak menetap di dalam pondok pesantren. Istilah santri kalong ini tentu saja dinisbatkan pada kalong atau kelelawar yang pergi ketika malam, dalam artian santri tersebut tidak menginap di pondok pesantren namun tetap pulang-pergi antara pondok dan rumah untuk mengikuti kajian di dalamnya. Dan ketiga, Santri Life-In, santri kriteria ini ialah santri yang menuntut ilmu dan tinggal di dalam pondok pesantren, namun dalam jangka waktu tertentu. Biasanya Santri Life-In ini dikhususkan ketika ada event-event tertentu seperti program Ramadhan dan PPL mahasiswa.
 Menjadi santri merupakan salah satu bentuk kaderisasi masyarakat menuju masyarakat yang unggul dan kuat. Tidak berhaluan kanan maupun kiri. Menjadi santri adalah mencoba mencari jalan tengah pada Ukhuwah Islamiyyah dan Wathaniyyah dengan beralirkan Islam Wasathiyyah (islam jalur tengah) , tidak ekstrim, tidak lembek. Namun mencoba merangkul negara dan agama menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Untuk itu, KH. Wahab Chasbullah mencetuskan semboyan Hubbul Wathon Minal Iman dan menciptakan lagu Ya Ahlal Wathon sebagai bentuk perwujudan santri yang nasionalis dan agamis. Sampai sekarang, semboyan dan lagu tersebut masih sering dilantunkan pada event-event khusus dan umum, terutama dalam peringatan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Tanggal 22 oktober memiliki kesan yang begitu istinewa bagi kalangan santri dan kyai. Tanggal tersebut menjadi momentum sejarah perjuangan para kyai dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945 setelah Hadlorotus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwanya tentang jihad membela tanah air. Fatwa yang menyatakan kewajiban umat islam untuk berjihad membela tanah air tersebut adalah bagian dari reaksi golongan ulama menyongsong datangnya tentara sekutu yang membonceng NICA ke Jawa Timur, khususnya Surabaya sebagai bentuk tindakan pencegahan maupun perlawanan jika Belanda kembali menjajah dan merongrong kemerdekaan. Mulai saat itulah eksistensi kaum santri mulai terakomodir dengan tindakan nyata untuk membela negara.
 Resolusi jihad yang difatwakan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) tersebut begitu membekas di dalam dada kaum santri, hingga ribuan bahkan ratusan ribu kaum santri turun ke medan perang untuk berjihad dengan semboyan mereka 'Merdeka atau Mati Syahid'. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa resolusi tersebut juga berpengaruh besar pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, dimana rakyat Indonesia (khususnya dari Jawa dan Madura) berkumpul untuk membentuk suatu kekuatan besar guna menindaklanjuti pamflet-pamflet yang berisikan ancaman dari sekutu. Kini setelah 70 tahun indonesia merdeka, berdasarkan Keppres nomor 22 tahun 2015, tanggal 22 Oktober ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional sebagai bentuk apresiasi negara terhadap eksistensi kaum santri, baik dalam mempertahankan keutuhan NKRI, menjaga ke-finalan Pancasila, hingga atas pengabdian mereka kepada negara. Memang sudah saatnya negara memperhatikan eksistensi santri setelah sekian lama terlupakan dari sorotan media, apalagi pada Hari Santri Nasional yang ketiga ini telah mengusung tema Santri Unggul Indonesia Makmur. Tentunya ini mengandung makna yang mendalam dan secara psikologis telah memberikan kesan moril bagi kaum santri untuk brsemangat dalam menuntut ilmu. (Azharin)
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta*

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar