Pengikut

Senin, 28 Oktober 2019

Si Miskin, Bahasa Indonesia


Oleh: Abay*
Saya masih ingat dengan jelas ketika salah seorang dosen mencoba untuk mengalihbahasakan satu kata berbahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia. Beliau tidak berhasil menemukan persamaan kata yang dapat menggambarkan makna kata tersebut secara sempurna. Kalimat yang keluar dari mulut beliau setelahnya tidak lebih dari “hinaan halus” terhadap Bahasa Indonesia dan pujian teradap bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia itu terlalu dangkal, tidak seperti Bahasa Jawa yang memiliki perbendaharaan kata lebih banyak dan makna lebih variatif, kira-kira begitu yang beliau sampaikan.
Ini turut mengingatkan saya pada kejadiaan saat masih di pondok dulu. Sering kali beberapa guru mencoba hal serupa, mengalihbahasakan satu kata berbahasa Minang ke dalam Bahasa Indonesia. Namun yang terlontar dari mulut mereka adalah “Bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata yang pas”.
Tentunya kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jujur saja, dulu saya juga berpikir demikian. Ikut “mengatai” Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang “miskin”. Banyak padanan kata yang tidak sesuai dengan bahasa daerah. Kita butuh menjelaskan lebih “ribet” dan panjang lebar jika tidak menemukan padanaan kata yang pas.
Namun belakangan saya sadar, Bahasa Indonesia itu bahasa persatuan layakanya yang tertera dalam Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia merupakan bahasa bentukan dari berbagai bahasa. Pada awalnya dibuat dengan kata-kata umum yang banyak digunakan untuk menyatukan berbagai orang dalam satu pemahaman. Bahasa Indonesia mencoba menjadi pemersatu berbagai bahasa daerah agar perjalanan kemerdekaan Indonesia menjadi lebih mudah.
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa asli yang lahir dai mulut seorang ibu. Melainkan sebuah bahasa yang dimunculkan dari mulut para pejuang. Sekali lagi, bukan bahasa yang sudah terlahir sejak zaman dahulu kala. Tapi bahasa yang baru lahir kemarin, dengan ketulusan pemersatuan.
Wajar saja jika Bahasa Indonesia dipandang tidak mampu menyaingi bahasa daerah, karena memang ia bukan bahasa yang tercipta begitu saja. Bahasa Indonesia pada masa itu hingga saat ini hanya ingin menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu obrolan komunikatif. Bahasa yang mampu membuat mereka memahami satu sama lain.
Pun Bahasa Indonesia juga sadar diri akan kekurangannya. Setiap saat ia memperbaharui diri, menghadirkan panduan-panduan dengan edisi revisi. Mulai dari ketentuan penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, hingga kata-kata yang tertera dalam kamus besar. Semua berusaha menyempurnakannya. Sayang sekali kegiatan penyempurnaan itu harus menerima kenyataan pahit bahwa sebagian besar masyarakat justru tidak peduli. Jujur saja, pasti banyak kata-kata yang kamu sangka bukan Bahasa Indonesia ternyata adalah Bahasa Indonesia ketika menilik kamus.
Saya rasa mulai menghargai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan merujuk kamus adalah salah satu bentuk nasionalisme sederhana yang sering dilupakan. Berhentilah “menghina” bahasa sendiri. Ia tahu diri, sadar akan kekurangannya. Setiap saat ia memperbaiki diri dan akan terus demikian. Demi memberikan bahasa yang layak untuk masyarakat Indonesia yang sayangnya entah kapan akan sadar. Terima kasih Bahasa Indonesia, kau memang pejuang sejati.

*Mahasiswa yang pernah “melecehkan” Bahasa Indonesia

Reaksi:
    ';while(b
    '+titles[c]+'
    '+titles[c]+'
';if(c'};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById('related-posts').innerHTML=dw}; //]]>

0 komentar:

Posting Komentar