Pengikut

CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

SARASEHAN

Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Rabu, 29 April 2020

Surat untuk Manusia Julid


Surat untuk Manusia Julid
Oleh : Kecombrang Laut*


Teruntuk kamu yang sering Gosip
Atau ngomongin orang di belakang (apalagi di depan)
Kalau kata agama sih disebut ghibah
Juga yang suka bercanda dengan cara ngatain
Ini bukan surat untuk menghakimi kalian
Bukan, jangan berprasangka buruk dulu
Surat ini hanya sebuah cerita
Tentang jeritan dalam diam
Suara bisu yang tak pernah kalian lihat
Kalian punya hak untuk tidak membacanya

Sering kali manusia tak sadar
Iya manusia, bisa aku, kamu, dia, mereka, siapa saja
Dalam larut obrolan nyeletuk “eh tau ga”
Selanjutnya, ah kalian lebih tahu
Entah menceritakan keburukan seseorang
Entah  Iri dengan segala kepunyaan manusia lain
Saat itu manusia menjelma sang mahatahu
Bersabda sesukanya tanpa mengetahui fakta
Mungkin menurut kalian itu wajar
Kemudian kala bersua dengan sang korban
Dengan ringannya  kalian meluapkannya dengan “bercanda”
Hahaha ringan sekali bukan?
Atau bahkan sang korban tahu lewat orang ketiga?
Sakitnya lebih perih dari digigit semut merah!

Kalian tahu,
terkadang dibalik senyum manis
Terdapat hati yang terisis
Ah, sudah basi kata-kataku
Ternyata kata memang memiliki kadaluarsa
Tapi tidak untuk manusia tertindas
Manusia yang sering “dibercandain” hatinya
Tampak baik-baik saja diluar
Dalamnya becek, penuh linang
Hanya karena kata-kata candaanmu
Bukannya ditolak “pas lagi sayang-sayange”

Jadi aku tuliskan sebuah surat
Untuk manusia julid (iri) sepertimu
Sekali lagi bukan untuk menghakimi
Aku tak akan bedoa untuk menyelakaimu
Aku tak akan mengadu pada malaikat, apalagi polisi
Tidak, aku hanya ingin bercerita
Tentang tangis dalam kisah manis
Tentang duka yang dibalut rasa suka
Manusia bisa rapuh hanya dengan kata
Bahkan dapat menimbulkan trauma

Ah, aku terlalu banyak bicara
Bahkan tak satupun kalian dengar bukan?

*penghuni sanggar seni rebung

Minggu, 26 April 2020

Buletin Sarung Edisi November 2019

Buletin Sarung Edisi November 2019

Untuk Buletin Sarung Edisi November 2019 dapat dilihat dalam link di bawah ini

Buletin Edisi November 2019


Sabtu, 25 April 2020

Negeri Indah Sang Babu


Oleh : Nanang iskandar*
Ku kisahkan tentang negeri para babu
Ambil tindakan tak pikir-pikir dulu
Lalu ketika semua telah jadi abu
Barulah ia seolah-olah mengadu

Ada saja yang unik dari negeri rebahan
Ambil kritik, tapi tak banyak menelaah lembaran
Lalu ketika kritiknya terbalas teori lembaran
Melengganglah ia pergi tanpa malu yang tertahan

Wahai negeri para perayu
Mendayu-dayu ambisimu itu
Bak perahu kayu di laut luasmu
Melambai manja bak pohon kelapamu

Namun ambisimu saja tak cukup
Hanya berharap tuk mencakup
Bunga tak mekar sebelum jadi kuncup
Lalu kenapa kalian masih merayu harap

Negeri lain sudah memanjat
Kalian masih saja menjilat
Negeri orang sudah mengkilat
Kalian masih saja berkarat

Wahai kalian yang terdiam
Tak malukah kalian dicap kelam
Dituduh tanpa beban mendalam
                       
Bahwa hanya menjadi beban sang bumi tuhan
Tak puaskah kalian dengan tiga abad yang miris?
Ketika ketololan kalian diwayangkan pak kumis yang sadis
Tak malukah kalian dikatai babu bekas
Yang melayani dengan ikhlas
                       
Miris rasanya tuk dikenang
Lebih memilih langkah tuk merenung
Agar tak menjadi babu di masa mendatang
Agar negeriku pun ini bisa dikenang

Oh, negeriku bukan kata tak cinta
Bukan kata tak bangga
Semua itu pasti sesak di dada
Mata ini bisa meraba

Pulau-pulau tersusun eksotis
Birunya laut sebagai tabir halus
Pohon dan tunas kelapa saling menari diterpa sunrise
Hutan menghijau yang luas

Manusia bahu-membahu tuk berkarya
Beribadah dengan damai di dalam raga
Anak-anak berlari memainkan layang-layang
Kaum sarungan berbaris mendekap kitab

Sungguh indah jika dinikmati
Damai tentram negeri ini
Jika sekiranya alurnya diikuti
Membuat rasa, membesar di hati

Teruslah melangkah negeriku
Menjadi tempat terjaga yang memukau                       
Meski dengan banyak kekurangan
Ku pasti merindukamu

Santri Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru Bone.*

Kamis, 23 April 2020

Puisi adek

Cahaya Desa
*Adek

Cahaya pagi mentari desa, merona
Tak malu menyibak embun yang masih kumpul bersama
Menguasai setiap kebun dengan kuning kilaunya
Hingga membanjiri setiap rumah melalui lubang-lubang jendela 
Duduk, secangkir teh, mata, terpana


Cahaya sore mentari desa, mempesona
Anggun permisi meninggalkan tahtanya
Indah merobek langit menyisakan senja
Berdiri, bergegas, menuju Yang Maha Esa























Pada Sepertiga Malam
*Adek

Pada bulan sepertiga malam
Ku puja gelora rindu yang berkecamuk dalam diriku 
Kepersembahkan setetes darah segar yang setiap hari tabu padamu
Kutambahkan air mata dalam kendi yang tercebur lantaran dirimu
Kutebari bunga bertujuh rupa belantara semerbak parasmu
Kulafalkan mantra bertajuk cinta agar terbuka pintu hatimu
Puaaaaaah !


































Oh...
*Adek


Oh...
Kembali kurasakan
Betapa hebatnya kehangatan
Pendar matahari menyetubuhi dedaunan yang masih terbungkus embun-embunan
Oh tak jauh beda dengan senyum sapaanmu kekasih ...

Selasa, 14 April 2020

Dedikasi Gatra


Abdil*

Cerah menyinari teras kelas, kau duduk di sana
Di bibir meja pimpong, kedua lengan menopang bahu yang datar
Memerhati rutinitas di batas aroma, soal kecil yang dibungkus percakapan
Kening Puan berkerut,
Matahari Tuhan agak terik menembus lengkungan kerudung putih
Kau melirik, sementara langkah sedang dihitung

Kepada kota tua kecil yang pernah kupilah mimpiku di sana
Aku membayangkan warna-warna tampak di antara puncak-puncak menara kala fajar
Ternyata mereka tak perlu bersinar
Mereka tak perlu bersinar untuk kutahu kalau ini biru, dan yang itu hijau

Saat hujan turun, pasir-pasir tak bersua untuk tak ingin basah
Pohon-pohon bertingkah
Dedaunan kuning tak ribut untuk tetap menjelma coklat
Di depan deretan tokoh-tokoh
Di ambang prakata yang tak seberapa
Di antara bait-bait puisi yang tidak selesai
Seorang Permaisuri meringis membasuh muka, dengan rindunya yang rumit
Sementara ujung lengan kemeja putih polosnya, kotor karena air sastra

Jendela rabun yang ditulisi telunjuk
Embun-embunnya tabah tak meminta untuk tetes leluasa
Aku mencintaimu,
Rindu tak bubar karena tak kukatakan
Terlalu sederhana
Mungkin terbaca di paparan cara menyikapiku
Kepada setiap gatra yang selalu kucari posisinya,
Kontak batin berita rindumu,
Garis lurus jalur orbit cerita,
Atau pertemuan tiba-tiba, denganmu
Sering aku ingin menemanimu menangis
Kala kutahu Puan sedang marah karenaku

Kepada kota tua kecil, di sana
Hai, senja kota mulai membencimu, saat dia mulai menulis karenamu,
Dan tanpa dirasa kau menemaninya lagi dari sana
“Aku mulai merasa kau tidak di sana menemaniku di sini saat aku menulis karenamu,”
Dia bersedih, tulisannya masih tentangmu.

Alumni Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru Bone*

Jumat, 03 April 2020

Gagal


Oleh : Naufal Hatta*

Gagal, gagal, gagal
Selalu saja menghantui
Dari pagi hingga malam
Apa yang sebenarnya kau inginkan?
Aku menyerah?
Ataupun putus asa?

Aku tak akan semudah itu mengalah
Semakin sering kau muncul, semakin membara semangatku
Jeratan putus asa ‘kan ku tebas
Kelokan rintangan dituntaskan
Hingga…
Kesuksesan ada dalam genggaman.
Sidoarjo, 23 Maret 2020
Ketua Cssmora Universitas Airlangga.*