*adek
“Dimana aku?” Aku jelas bertanya, walaupun tau jawaban itu tidak mudah tersedia untuku. Harusnya aku sudah tidur nyenyak di atas kasur bergambar kartun. Terlelap hangat dengan selimut bergambar sama dengan kasurku. Tapi ini, sejauh mataku memandang hanya ada sebuah hamparan. Sudah lah, aku tidak akan melempar-lempar pertanyaan, dimana aku? Kenapa aku disini? Jelas tak ada yang menangkapnya, lebih baik aku mencari jawaban itu sendiri. Sebentar, aku melupakan satu pertanyaan yang harus kuajukan pada diriku, apa ini mimpi? Pertanyaan ini lebih mudah aku temukan jawabanya, tinggal mencubit pipiku dan aku akan terbangun dari lelapku. Ternyata ini bukan mimpi, terasa sakit saat ku paksa jemariku mencubit pipi. Dengan begitu, harus kujawab pertanyaan yang pasti akan menyulitkan, tidak terus bangun kemudian meminum air putih di meja yang sudah tersiapkan, untuk melegakan tenggorokan.
Aku melayangkan pandang, harusnya hijau bila hamparan ini bukit atau hutan. Tidak pula berpasir atau berwarna kuning jika hamparan ini gurun atau semacamnya. Tebakan pantai juga pasti salah, tidak terdengar deburan ombak ditelingaku.
Kenapa aku tidak mencoba melangkah, sejak tadi mematungkan diri malah, akan kucoba. Satu, dua, tiga sampai enam langkah pelan nan hati-hati terbukti aman, langkah ketujuh seketika lenyap, cahaya, cahaya lenyap tak tersisa. Pastilah tidak sempat untuk mempertanyakan, dimana bulan yang biasanya berpijar dimalam hari, atau sinar mentari yang tidak pernah ingkar janji. Kugerakkan saja kedua tanganku ke segala arah, berharap meraih apapun. Dinding, pagar, tali atau semacamnya lah, agar aku dapat beranjak melanjutkan langkah. Tidak ada, tidak ada yang dapat kucapai. Kuputuskan kembali mengaksikan kakiku ke depan sedikit, satu, dua tiga hingga satu jangkah penuh berhasil kakiku beraksi, dengan tangan melambai kemana-mana. Langkahku kedepan belaka, entah pilihan itu bagus atau tidak, pokoknya terus kedepan.
Sebenarnya aku bingung, bila ini bukan mimpi kenapa suasana jadi seperti ini? Seharusnya aku baring dibawah atap terang, tersiram putih cahaya lampu kamar benderang. Ini malah sebaliknya, yang ada hanya aksi tangan kemana-mana, langkahan kaki tak tau kemana, hingga tersisa gelap yang menjadi satu warna.
Sudahlah, aku harus kembali mencoba melangkahkan kaki, hitunganku bila tak salah sudah enam langkah hati-hati sejak tadi. Namun siapa yang dapat mengira, tepat langkah ketujuh seperti tadi, gelap itu lenyap.
Tercenganglah aku, ternyata masih berdiri dihamparan serupa. Aku tidak berfikir untuk menyesali langkahku, aku harus lari, beranjak pergi.
Huft huft – sudah terengah-engah masih saja hamparan yang sama. Sebentar, tidak lama kusadari, sepertinya suasana beralih, tidak gelap di mata namun panas nan kering terasa. Dengan mudah aku kembali bingung, kenapa seperti ini? Bila ini bukan mimpi lantas apa? Bukankah semulanya dingin yang kurasa, baring terkatup selimut serta Headset tertelan telinga, sebab aku tidak suka suara langit yang sedang bekerja menuangi bumi dengan air diluar sana.
“Ada apa denganmu?” Di ujung putus asa suara muncul, membawa harapan dalam benakku.
“Siapa kamu? Dimana aku? Tolong aku! Bantu aku pergi dari tempat ini !” alam keadaan kalut seperti ini kulempari saja ia dengan pertanyaan.
“Aku harus menangkap pertanyaan yang mana? Kamu melempar banyak pertanyaan, dan aku tidak bisa menangkap banyak pertanyaan” meskipun tak menampakan wujudnya, seram pastilah orang ini. Aku meninjau banyak hal, kisah apa yang sedang kulakoni. Meskipun tak terbukti ini hanya mimpi, aku tetap memaksa mempercayainya. Apakah dia Nabi Khidir? Berarti dia sedang mengujiku ? Ah, sepertinya aku sudah gagal bila ujianya harus selamat dari hamparan antah ini.
“Sepertinya kamu harus segera memilih!” Suaranya jelas sekali mendesaku
“Tempat apa ini ?” Aku tidak berfikir dua kali untuk melempar pertanyaan ini, tapi jelas dengan harapan dapat membantuku banyak.
“Oh, cepat sekali kamu melempar pilihan, sepertinya tepat. Karena tidak penting kamu tau siapa aku, aku juga tak dapat menyelamatkanmu, tapi apakah penting kamu tau tempat apa ini?”
Benar sekali, apa pentingnya aku tau tempat apa ini? Apa ini menyangkut urusan hidupku?, Atau dia hanya membabi buta membuatku ragu? Kurang ajar, dia berhasil jika itu yang dilakukan.
“Memangnya tempat apa saja yang kamu temui?” aku lega ia tidak menungguku untuk menjawabnya.
“Aku tidak tahu tempat apa, tapi berupa hamparan, gelap, lantas menjadi panas nan kering”
“Oh, sepertinya aku tau hamparan apa itu” Untuk saat ini dan selanjutnya aku memutuskan untuk diam menunggu jawaban.
“Hamparan yang hanya berisi gelap dan kering itu adalah hatimu”