Pengikut

CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

SARASEHAN

Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Senin, 20 Juli 2020

“Senyum Wanita di Alun-Alun”


Faiz Fatihul*
Mobil sejenak berhenti di pelataran Alun-Alun Kidul. Rama memilih untuk turun menanyakan alamat yang ingin ia tuju. Ia mulai muak dengan gps  yang sedari tadi tak memberikannya sebuah hasil. Alun-alun itu tidak begitu ramai, namun tidak bisa juga dikatakan sepi. Beberapa orang terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Ada yang sibuk dengan dagangannya, ada yang sibuk dengan temannya. Terlihat juga beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain bersama-sama yang dipandu oleh seorang wanita yang mungkin sebaya dengan Rama. Kain berwarna merah marun menutupi mahkotanya. Kain berlengan panjang dan setelan rok ala santriwati mengujur tubuhnya. Wanita itu tersenyum, dengan riang bercengkrama dengan anak-anak. Rama sejenak memperhatikan wanita itu. Entah apa yang membuat  perhatian Rama tertahan olehnya, hingga ia lupa akan tujuannya  turun dari mobil. Mungkin senyuman wanita itu yang membuat waktu Rama sejenak berhenti.
“Woy, malah ngelamun. Udah tau alamatnya belom?” sergah Fatih yang membuyarkan lamunan Rama.
“Astaga, sek..sek..[1]
“Mohon maaf  Pak, bapak tau ndak alamat ini?” tanya Rama ke salah satu pedagang asongan yang ada disitu sambil memperlihatkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
“Oh, mas tinggal lurus saja terus belok ke kiri ke arah plengkung gading setelah itu lurus aja mas hingga mentok. Nanti mas kalau sudah ketemu dengan kandang menjangan mas boleh nanya-nanya lagi disekitar situ. Alamatnya ada di sekitar kandang menjangan itu”. jawab pedagang tua itu dengan senyuman sembari mengembalikan kertas tadi.
Matur suwun pak”.[2] Balas Rama meninggalkan bapak itu.
Rama dan Fatih pun tancap gas mengikuti seluruh instruksi yang diberikan. Berselang beberapa menit, mereka pun sampai di dekat kandang menjangan. Tak sesulit yang dibayangkan, dengan mudah mereka menemukan alamat yang dicarinya. Mobil pun diparkirnya. Terlihat santri dan santriwati lalu lalang sejauh mata memandang. Ada yang berjalan sendirian, berdua bahkan ada yang bergerombolan sambil memegang kitab dan bolpoin.
“Mungkin mereka baru saja selesai mengaji” batin Rama. Rama dan Fatih pun melangkah menuju sebuah rumah. Rumah, yang siapapun tinggal disekitaran situ pasti tahu siapa pemilik gubuk tersebut.
Assalamualaikum” ucap  Rama.
Butuh beberapa waktu  bagi Rama dan Fatih untuk mendengar jawaban dari salamnya.
Waailakumsalam” jawab seorang wanita.
Tiba-tiba, Rama kaget saat melihat wanita itu, sepertinya ia salah tingkah dibuatnya. Dalam hati Rama membatin “wanita ini bukannya yang di alun-alun tadi?”. Melihat tingkah Rama yang hanya diam, Fatih pun mengambil alih percakapan dan menjelaskan maksud tujuannya.
“Kyai Hasbihnya ada di rumah gak mbak? Boleh kami bertemu dengan beliau?” kata Fatih.
“Oh ya mas, tunggu saya panggilkan ya. Silakan masuk mas.” Jawab wanita itu sambil mempersilakan Rama dan Fatih untuk duduk di ruang tamu Kiai Hasbih.
Sembari menunggu, Fatih yang merasa aneh dengan sikap Rama yang menjadi aneh setelah melihat wanita itu Fatih pun menanyakan sesuatu kepada Rama.
“Kamu kenapa tadi tiba-tiba diam gitu? Kamu terpesona ya dengan mbaknya.. suka ya sama mbaknya ..hehehe” kata Fatih sambil menggoda Rama. Fatih memang suka mengganggu  sahabatnya itu. Apalagi Fatih sering banget menjodoh-jodohkan sahabatnya itu dengan beberapa wanita kenalannya. Secara, banyak wanita yang nge-fans dengan Rama.  Namun,  Rama sama sekali tidak pernah tertarik dengan hal itu. Ia hanya membalas dengan singkat “Ah, kamu sembarangan aja Fat. Gak lah.” Beberapa menit kemudian, Kiai Hasbih pun muncul dihadapan mereka. Mereka pun meraih  tangan Kiai Hasbih dan menciumnya dengan penuh takzim. Kiai Hasbih membalasnya dengan senyuman.
“Gimana kabar kalian? Sehat?” tanya Kiai Hasbih memulai percakapan.
“Alhamdulillah sehat pak yai” jawab mereka berdua.
“Ada maksud apa nak, kalian kesini?” lanjut pak Kiai Hasbih.
“Ini pak yai, kami bermaksud mengundang pak yai sebagai pengisi pengajian pada acara baksos kami. Pak Kiai Lihin yang nyaranin agar pak yai yang mengisi pengajian buat masyarakat” kata Rama.
“Oh ya, kapan acaranya? Acaranya di pondok Ar-Rohmah bukan?”
Nggeh pak yai, acaranya di Ar-Rohmah. Insya Allah acaranya bulan depan, Tanggal 1 Maret pak yai. Pak yai tanggal segitu bisa berkenan hadir?”
“Sebentar ya, saya ke belakang dulu melihat jadwal saya kosong apa tidak. Takut berbenturan dengan acara lain. Tapi seingat saya bisa kok insya Allah. Cuma ingin memastikan. Tunggu sebentar ya.” ujar Kyai Hasbih sambil melangkah ke dalam rumahnya.
Nggeh pak yai” balas mereka.
Alhamdulillah jadwal saya hari itu kosong. Insya Allah saya bisa hadir mengisi pengajian di acara kalian.”
Alhamdulillah pak yai, kalau begitu kami pamit dulu. Soalnya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan pak yai.” Kata Rama.
“Iya nak, salam sama Kiai Lihin.” ujar Kiai Hasbih mengakhiri pertemuan mereka kala itu.
Berat sebenarnya Rama mengucapkan kata “pamit” ingin rasanya bertanya soal wanita tadi kepada pak yai, tapi Rama tidak berani mengatakannya. Namun Rama tidak bisa berbohong dengan hatinya, ia penasaran dibuatnya. “Siapa wanita tadi? Ingin rasanya berkenalan dengan dirinya.” Berbagai rasa penasaran berkeliaran dalam hati dan pikiran Rama. Namun kakinya terus saja melangkah menjauh dari rumah pak Kiai Hasbih.
Setelah sowan dari rumah Kiai Hasbih, Rama disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan acara baksosnya. Mulai dari administrasi, dekorasi panggung hingga konsumsi untuk para jamaah pengajian. Namun, semua hal itu belum bisa  membuat Rama menghilangkan memori  tentang senyuman  wanita yang dilihatnya di Alun-Alun Kidul tempo hari. Acara baksos yang dilakukan oleh Rama dan Fatih di Pondok Ar-Rohmah berjalan dengan lancar. Seluruh masyarakat sekitar sangat antusias dengan acara tersebut. Masyarakat sangat mengapresiasi kinerja para panitia. Berselang tiga hari dari selesainya acara baksos, Rama kembali mencoba peruntungannya. Rama  berharap bisa kembali bertemu dengan wanita itu.
Sesampainya di alun-alun, Rama duduk dibawah pohon rindang, di bawahnya ada sebuah dipan berwarna coklat yang mengarah tepat ke arah pertama kali ia melihat wanita itu. Ia sangat menikmati suasana sore di alun-alun, bersama hembusan angin yang setia merabanya. Ia memperhatikan suasana disekitarnya, anak-anak bermain dengan riangnya, para pedagang sibuk menjajakan jajananya. Jarum jam tentu saja acuh padanya, ia terus berputar tanpa memikirkan Rama. Senja pun tumbang di kaki langit dan hasilnya nihil. Ia tidak bertemu dengan wanita itu.
Keesokan harinya, Rama tidak berputus asa. Ia kembali datang di alun-alun itu dengan harapan yang sama; bertemu dengan wanita itu. meski belum bertemu, Rama masih bisa menikmati suasana yang diberikan oleh alun-alun. Sesekali ia melihat jam tangan yang ada di lengan kirinya memastikan waktu masih berjalan. Tentu, jarum jam yang sedari awal tidak menaruh simpati ke padanya mulai menertawakannya. Rama sama sekali tidak goyah, ia tidak peduli meskipun jarum jam itu menertawakannya hingga akhirnya jarum jam  menunjukkan pukul 18.00 WIB. Matahari kembali keperaduannya dan Rama tak kunjung melihat senyum wanita itu lagi.
Berhari-hari Rama menghabiskan sore harinya di alun-alun, demi kembali melihat senyuman wanita itu. Dalam penantiannya, kadangkala ia ditemani sebuah buku atau hanya secangkir kopi yang ia pesan dari pedagang yang ada disekitar alun-alun. Jarum jam yang tadinya hanya menertawakan  usahannya, kini mulai mencaci makinya.  Rama tidak peduli. Ia tetap memperhatikan suasana sekitarnya. Berharap bisa menangkap senyum yang hilang. Sore itu, ada yang berbeda dari sore-sore sebelumnya. Persis ditempat wanita itu, Rama melihat sepasang suami istri yang sudah berusia senja. Bukan, bukan karena mereka sudah tua sehingga bisa mencuri perhatian Rama. Bukan itu. Kakek dan nenek itu saling tersenyum satu sama lain. Sesekali mereka bermesraan dihadapan semua orang. Sang kakek menyuapkan makanan ke mulut sang nenek. Sang kakek juga tak lupa membersihkan mulut sang nenek bila ada sisa makanan yang tertinggal. Sepertinya mereka berdua tidak sadar kalau sedang menjadi pusat  perhatian orang-orang yang ada di alun-alun. Sore itu senja mulai memerah, senyum kakek nenek itu pun juga semakin merekah, namun usaha rama tak kunjung berbuah.
“Ah,. andai waktu itu aku bertanya padanya, menanyakan namanya pada kiai Hasbi dan mengajaknya menua bersama sambil melihat senja di alun-alun ini” batin Rama dalam hati sambil menunduk.
Jarum jam semakin terbahak-bahak dibuatnya, ia sangat puas. Melihat Rama yang mulai putus asa mencari senyum wanita yang mampu membuat waktunya berhenti. Jarum jam melirik dengan sinis, “Sepertinya aku yang menang, tak ada yang bisa menghentikan waktu.”
Yogyakarta 23-24 Februari 2020







[1] Astaga, bentar.. bentar..
[2] Terimah kasih, pak

Rabu, 08 Juli 2020

Meski Berjauhan, CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Adakan Mubes dan Pelantikan Via Daring


Selama masa pandemi ini, banyak organisasi mahasiswa yang melaksanakan kegiatan via daring. Tak terkecuali CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada hari Ahad-Selasa, tanggal 5-7 Juli 2020, diadakan Musyawarah Besar dan Pelantikan Pengurus CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga periode 2020/2021. Meski seluruh peserta berada di rumah masing-masing, tak mengurangi antusiasme dalam mengikuti MUBES dan pelantikan ini. Acara yang diselenggarakan 3 hari ini dilakukan menggunakan aplikasi zoom.
Pada hari pertama, acara dimulai pada pukul 10.00 WIB. Acara dimulai dengan sambutan ketua CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga 2019/2020 , Mukhammad Hubbab Naufal dan Dr. KH M. Alfatih Suryadilaga M. Ag. Selaku ketua pengelola PBSB UIN Sunan Kalijaga. Dalam sambutannya beliau berharap kegiatan CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga ini dapat menyesuaikan kondisi dengan adanya pandemi global. Beliau juga menambahkan, meski tak dapat bertatap muka, CSSMoRA harus bisa memanfaatkan teknologi untuk menggelar acara. Hari kedua dilanjutkan LPJ Badan Pengurus Harian (BPH), P3M, PSDE, DJ, LITBANG. Dikarenakan penyampaian LPJ baru usai sore hari, pengesahan LPJ dilakukan malam hari.
Hari ketiga, pelantikan pengurus baru CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga 2020/2021. Total 42 Anggota dari angkatan 2018 dan 2019 dilantik oleh ketua CSS Nasional Ahmad Fahrur Rozi. Setelah Pelantikan pengurus, dilanjutkan pelantikan Kru Sarung yang dipimpin oleh ketua umum terpilih, Andi Fatihul Faiz Aripai. Selain Pengurus dan Kru Sarung yang baru, hadir juga demisioner angkatan 2017 serta Ahmad Mujtaba selaku perwakilan pengelola CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga. Usai pelantikan, Mas Amu, Sapaan Ahmad Mujtaba, memberikan sambutan selaku pengelola. “Meski ditengah pandemi, CSSMoRA harus tetap eksis”. Selain itu beliau juga berpesan kepada Kru Sarung untuk aktif di media sosial, tak hanya media cetak. Selanjutnya sambutan dari ketua terpilih, Andi Fatihul Faiz. “Jangan memikirkan apa yang kita dapatkan dari organisasi namun pikirkanlah apa yang kamu beri kepada organisasi.” Kutipan dari sambutan Faiz. Acara ini kemudian ditutup dengan foto bersama, meski hanya dari screenshoot laptop. (Haf)

Jumat, 03 Juli 2020

Meme Bukan Sekadar Quote

Oleh: Penikmat Meme
Tulisan ini dibuat untuk memberi pemahaman yang lurus bagi siapa saja yang salah paham tentang terma meme. Ini berangkat dari kegelisahan saya ketika seringkali mendapati teman ataupun dosen ketika menyebut term meme. 
Sejak saya masuk di dunia kampus, dunia internet juga intens saya selancari, maklum saya anak pondok, jadi bebas menggunakan gawainya baru setelah lulus pondok. Kemampuan komunikasi saya tidak terlalu bagus, karenanya saya lebih suka diam dan menghabiskan waktu bersenang-senang di media sosial favorit saya, Facebook. Di sinilah saya belajar mengenai meme dan peradaban internet.
Di kampus, saya mendapati kesalahan fatal ketika para civitas academica menyebut term meme. Sangat sederhana, meme bagi mereka adalah quote yang diberi background atau ilustrasi yang berkaitan. Ini sama halnya jika menyebut bantal guling itu adalah pocong. Memang ada kemiripan, namun ada unsur-unsur yang membedakan diantara keduanya. Begitu pula antara meme dan quote. Kegelisahan saya semakin menjadi-jadi ketika teman-teman saya yang mengikuti pelatihan membuat aplikasi android diminta untuk mendesain desain sederhana yang terdiri dari kutipan hadis berikut ilustrasinya yang berfungsi sebagai background. Sayangnya, instruktur mereka menyebut desain sederhana itu dengan “meme”. Teman-teman saya pun ikut memahami term meme dengan pengertian yang salah itu. Padahal sudah jelas, itu hanyalah quote hadis.
Meme, ketika mendapati kata ini, ada beberapa kata kunci yang seharusnya muncul di benak, dan mungkin yang paling banyak adalah meme itu gambar dengan tulisan yang bertujuan untuk hiburan (walaupun tidak semua, ada juga yang edukatif). Awal mula kata “meme” berasal dari Richard Dawkins yang ia tulis dalam bukunya, The Selfish Gene (1976). Intinya meme menurut Richard tidak jauh beda dengan yang ada di KBBI, yaitu ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya. Bagi Richard, meme dianggap sebagai cara untuk mengukur kebudayaan manusia melalui ide-ide. Ini merupakan cara pandang baru untuk melihat kebudayaan manusia. Meme berkembang layaknya virus, ia disebarkan dari satu orang ke orang yang lain. 
Sebenarnya, term meme pada dasarnya adalah term yang digunakan dalam pembahasan evolusi. Namun, saya pun sendiri belum tahu dari mana asal muasal meme juga bisa ditujukan untuk gambar-gambar yang sering kita dapati di internet. Orang-orang di internet lebih sering menyebutnya “Internet Meme/ Meme Internet”
Jadi, kalau kita mau petakan, meme dalam konteks teori evolusi Richard adalah gagasan yang disebarkan dalam segala bentuknya, sedangkan meme internet adalalah literasi bahasa, bentuknya bisa gambar, dan video. Keduanya sama-sama bertujuan untuk menyebar gagasan, prosesnya pun sama, yang diterima khalayak adalah yang bertahan dan yang tidak diterima akan “mati”. Meme internet inilah yang saya maksud pada awal pembahasan tadi.
Setelah saya mencaritahu mengenai meme dari berbagai referensi yang menurut saya kompatibel dan juga berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa aspek yang harus ada dalam meme. Pertama, makna tertentu yang disampaikan dalam setiap format meme. Meme tidak hanya mengandalkan unsur tulisannya, templat yang dipilih pun juga memiliki konteks tersendiri yang menyampaikan pesan tertentu. Kedua, karena ia memiliki makna tertentu dalam setiap templatnya, maka meme memiliki makna tersirat. Tidak serta merta orang bisa memahami suatu meme jika tidak paham konteksnya. Tapi banyak juga meme yang walaupun konteksnya tidak diketahui, tapi dengan melihat gambar dan membaca teksnya sudah bisa dipahami, asalkan mau memeras otak sedikit untuk memahaminya.
Hal lain yang perlu diketahui, meme tidak hanya bertujuan untuk menghibur, adakalanya ia bertujuan untuk memberi pengetahuan seperti historical meme, bahkan sekarang pun ada meme kritik sosial, dan dakwah. Tujuannya bisa beragam karena memang seperti yang dijelaskan tadi, meme adalah gagasan yang disebarluaskan.
Mungkin saya rasa sudah cukup. Saya harap setelah membaca tulisan ini pemahaman tentang apa itu meme bisa lebih jelas. Karena meme sebagai fenomena yang sudah mendunia sekarang ini, sebagai orang yang terpelajar jangan sampai kita mempermalukan diri sendiri ketika menyinggung meme tapi dengan pemahaman yang salah terhadapnya. 

Kamis, 02 Juli 2020

Perut Buncit di Atas Becak


*Failal

“Pak aku lulus tes kuliah jurusan Kedokteran”
Setelah Malia memberi tahu bapaknya tentang penerimaanya masuk kuliah, pak Sobri seketika itu tak berhenti memikirkan bagaimana mendapat uang untuk pembayaran anaknya. Tidak mungkin cita-cita malia terputus hanya karena keterbatasan pekerjaan yang dimiliki pak Sobri. “Lia harus kuliah, dia harus lebih baik dari saya” kata hati laki-laki separuh baya yang rambutnya terus berubah menjadi putih.
Sepetak tanah berukukan 10 m x 15 m yang setiap sekatnya masih menggunakan kayu triplek, disitulah Malia tumbuh. Bukan anak yang pintar, ketekunan yang terus di istiqomahkan selalu mengantarkan Malia pada garis takdir tuhan yang lurus, banyak teman-temannnya memicingkan mata atas prestasi-prestasi yang di dapatkan Malia, prestasi yang diinginkan banyak siswa-siswi di sekolah, memandang Malia penuh dengki sampai dia menjadi korban bully-an teman-temanya.
“Anak tukang becak enggak pantes buat juara”
Loe cari muka ya di depan para guru”
“Enggak usah main sama kita, kemana-mana aja di antar sama becak butut, huuu
enggak usah sok melas, kita tetap gak mau temenan sama loe
Begitu cercaan dan makian yang terus di lontarkan, syukurnya Malia tak putus asa, semangatnya membalas dengan kesuksesanya semakin menjadi-jadi.
Gadis lugu berkulit kuning langsat hidungnya tidak terlalu pesek bukan pula seperti hidung orang berkulit putih tapi Malia selalu memberikan senyuman setiap bertemu orang yang sudah ia kenal maupun belum. Tak jarang guru-gurunya sering meminta bantuan malia hanya sekedar membawakan bukunya ke kantor guru, atau menyampaikan tugas-tugas yang di titipkan saat guru pengajar izin tidak masuk kelas.
Matahari tak malu menunjukan cahayanya, pergantian petang menuju pagi memberikan kesejukan setiap hirupan udara di desa yang tak banyak polusi. Perlahan matahari mulai naik, cahaya itu menembus sela-sela pohon rambutan depan rumah pak Sobri sampai menyapa hangat Malia dari balik jendela kamarnya. Ia beranjak menuju dapur menggantikan peran ibunya sejak kelas 2 SMP. Saat itu seharunya Malia bukan anak satu-satunya, karena ibunya meninggalkan Malia dan pak Sobri ketika melahirkan adik Malia. Tapi takdir tuhan berkata lain karena kehabisan air ketuban adik Malia tidak terselamatkan dan tak lama ibu malia menyusul bayi mungil yang belum sempat melihat dunia serta belum luput dari dosa.
“Pak, mau di buatkan kopi?”
“Tak usah Malia, bapak harus segera pergi nanti kehilangan pelanggan”
“Ini pak, bekal nasi goreng dengan telur setengah matang kesukaan bapak, bapak harus tetap sarapan”
“Makasih nak, Cuma kamu harapan hidup bapak satu-satunya”
Sambil tertunduk Malia ingin sekali menangis tapi ditahannya agar air mata itu tidak membuat ayahnya sedih.
“Hari ini mau kemana Malia?” lanjut tanya bapaknya.
“Mau bantu-bantu ke rumah bu Vita pak, barang kali nanti disana malia dapat informasi beasiswa.”
“Iya jangan lupa kunci rumah, meskipun rumah ini tidak mewah tetap kita tidak boleh membiarkan orang lain masuk sembarangan. Bapak pergi dulu ya”
Hari terakhir pembayaran uang pangkal masuk kedokteran berakhir 3 hari lagi, Malia juga bingung dari mana ia harus mendapatkan uang sebesar 35 juta dalam waktu secepat itu. Tapi tak putus usahanya. Di sela-sela selesai ujian dan menunggu waktu terakhir pembayaran uang pangkal kuliah, Malia bekerja paruh waktu di supermarket kecil milik bu Vita, guru SMA Malia. Ditabungnya uang tersebut dan ia menjual kue yang di titipkan di toko-toko serta dia bawa saat menjaga swalayan Bu Vita.
“Selamat pagi bu Vita, Malia hadir” dengan wajahnya yang selalu ceria ia menyapa bu Vita dan memberikan senyum kepada rekan-rekan kerjanya.
Seperti biasa, sebelum toko di buka para pelayan dan pekerja tersebut di-briefing dan di arahkan serta diberi nasehat agar kerja mereka baik. Hampir di seluruh toko besar maupun supermarket melakukan hal yang sama. Dibacakan peraturan kerja dan ada hadiah yang di tawarkan jika kerja mereka bagus.
“Malia kamu salah naruh barang, ini snack rentengan di rak sebelah timur samping rak susu”
“Oh iya mba, maaf saya kurang fokus baca tadi”
“Malia... Malia. sudah sana pindah, kerja yang benar.”
---
“Gimana pak tadi narik becaknya”
“Lumayan, hasilnya bisa buat nambah tabungan. Kamu masih mau melanjutkan di Fakultas Kedokteran nak ?”
“Iya pak, tapi kalo tak ada biasa biarkan Malia mencoba mendaftar jadi guru honorer dan melanjutkan kerja di toko bu Vita.”
“Jangan Malia, nanti biar bapak cari cara biar bisa membayar uang pangkal masuk kedokteran itu.”
Setiap sepertiga malam Malia tak pernah berhenti bersujud serta mengadukan Doa malia agar dia dimudahkan bisa kuliah. Sampai dimana hari pembayaran terakhir Malia juga belum menemukan solusi. Ia berangkat ke toko bu vita dengan pikiran kosong. Baisanya ia selalu menampakkan keceriaanya, tapi hari ini ia agak berbeda. Setelah breafing dan arahan diberikan, bu Vita memanggil Malia ke ruang tamunya.
“Kamu mengapa Malia, mukamu murung, ada masalah ?”
Seketika itu Malia menangis sejadi-jadinya, ia mengadukan semua yang menjadi perang batinya ke bu Vita, tak kuasa bu Vita melihat tangis anak se kuat malia menahan isak sesak seperti yang di lihatnya saat ini. Langsung di dekapnya Malia dan diusap kepala Malia layaknya anak sendiri. Sudah lama Malia tak pernah merasakan kehangatan dekapan seorang ibu. Saat itu bu Vita hadir sebagai malaikat seperti ibunya sendiri.
“Kenapa kamu tak bilang sejak awal malia, barangkali ibu bisa bantu. Dito anak ibu juga masuk di jurusan yang sama seperti kamu tapi dia memilih masuk di sekolah militer Angkatan darat. Ibu sudah menyiapkan uang pangkal Dito buat masuk Kedokteran tapi uang itu tidak terpakai ternyata, dan masih di tabungan saya. Barangkali kamu mau mengggunakan uang tersebut dulu. Ibu tidak masalah”
Malia seperti menemukan keajaiban usaha-usahanya selama ini. Setiap doa yang ia lantunkan setiap malam seakan telah di jawab oleh tuhan. Sore itu sebelum jam 4 sore Malia langsung membayar uang pangkal ke teller bank yang berada di kecamatanya. Dan satu-satunya bank yang berada di dekat kampung Malia. Ia pergi di temani bu Vita, di perjalanan tak hentinya berterimakasih kepada bu Vita.
Malia sudah menunggu bapaknya di depan rumah tak sabar ingin memberitahu kabar baik dari jawaban doa-doa bapak Malia juga. Seketika bapak Malia datang ia langsung memeluk dan menagis haru.
“Kenapa kamu nak, bapak baru sampai. Biar bapak duduk dan kita bercerita”
Setelah semua diceritakan kepada bapaknya. Pak Sobri juga tidak menyangka anaknya bisa membayar uang pangkal tersebut atas bantuan bu Vita. Padahal pak Sobri tadi juga sudah mengusahakan menanyakan pinjama di pegadaian. Karena meragukan pak Sobri, pegadaian tersebut tidak memberikan pinjaman yang di ajukan pak sobri.
“Kamu minggu depan sudah bisa masuk kuliah Malia, kamu harus menyiapkan semuanya. Biar bapak nanti yang urus uang untuk mengembalikan ke bu Vita.”
“Terimakasih pak, Malia akan selalu membuat bapak bangga.”
Pak Sobri kini tenang sudah mengantarkan anaknya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Di jurusan banyak orang yang menginginkan kursi Malia. Ia kini memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk mengembalikan ke Bu Vita. Dipikirnya hingga ia tertidur di samping trotoar jalan raya, di atas becak dengan perut buncitnya yang terlihat karna bajunya yang sudah kekecilan tapi masih di pakainya.