Faiz Fatihul*
Mobil sejenak berhenti di pelataran Alun-Alun Kidul. Rama memilih untuk turun menanyakan alamat yang ingin ia tuju. Ia mulai muak dengan gps yang sedari tadi tak memberikannya sebuah hasil. Alun-alun itu tidak begitu ramai, namun tidak bisa juga dikatakan sepi. Beberapa orang terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Ada yang sibuk dengan dagangannya, ada yang sibuk dengan temannya. Terlihat juga beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain bersama-sama yang dipandu oleh seorang wanita yang mungkin sebaya dengan Rama. Kain berwarna merah marun menutupi mahkotanya. Kain berlengan panjang dan setelan rok ala santriwati mengujur tubuhnya. Wanita itu tersenyum, dengan riang bercengkrama dengan anak-anak. Rama sejenak memperhatikan wanita itu. Entah apa yang membuat perhatian Rama tertahan olehnya, hingga ia lupa akan tujuannya turun dari mobil. Mungkin senyuman wanita itu yang membuat waktu Rama sejenak berhenti.
“Woy, malah ngelamun. Udah tau alamatnya belom?” sergah Fatih yang membuyarkan lamunan Rama.
“Astaga, sek..sek..”[1]
“Mohon maaf Pak, bapak tau ndak alamat ini?” tanya Rama ke salah satu pedagang asongan yang ada disitu sambil memperlihatkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
“Oh, mas tinggal lurus saja terus belok ke kiri ke arah plengkung gading setelah itu lurus aja mas hingga mentok. Nanti mas kalau sudah ketemu dengan kandang menjangan mas boleh nanya-nanya lagi disekitar situ. Alamatnya ada di sekitar kandang menjangan itu”. jawab pedagang tua itu dengan senyuman sembari mengembalikan kertas tadi.
“Matur suwun pak”.[2] Balas Rama meninggalkan bapak itu.
Rama dan Fatih pun tancap gas mengikuti seluruh instruksi yang diberikan. Berselang beberapa menit, mereka pun sampai di dekat kandang menjangan. Tak sesulit yang dibayangkan, dengan mudah mereka menemukan alamat yang dicarinya. Mobil pun diparkirnya. Terlihat santri dan santriwati lalu lalang sejauh mata memandang. Ada yang berjalan sendirian, berdua bahkan ada yang bergerombolan sambil memegang kitab dan bolpoin.
“Mungkin mereka baru saja selesai mengaji” batin Rama. Rama dan Fatih pun melangkah menuju sebuah rumah. Rumah, yang siapapun tinggal disekitaran situ pasti tahu siapa pemilik gubuk tersebut.
“Assalamualaikum” ucap Rama.
Butuh beberapa waktu bagi Rama dan Fatih untuk mendengar jawaban dari salamnya.
“Waailakumsalam” jawab seorang wanita.
Tiba-tiba, Rama kaget saat melihat wanita itu, sepertinya ia salah tingkah dibuatnya. Dalam hati Rama membatin “wanita ini bukannya yang di alun-alun tadi?”. Melihat tingkah Rama yang hanya diam, Fatih pun mengambil alih percakapan dan menjelaskan maksud tujuannya.
“Kyai Hasbihnya ada di rumah gak mbak? Boleh kami bertemu dengan beliau?” kata Fatih.
“Oh ya mas, tunggu saya panggilkan ya. Silakan masuk mas.” Jawab wanita itu sambil mempersilakan Rama dan Fatih untuk duduk di ruang tamu Kiai Hasbih.
Sembari menunggu, Fatih yang merasa aneh dengan sikap Rama yang menjadi aneh setelah melihat wanita itu Fatih pun menanyakan sesuatu kepada Rama.
“Kamu kenapa tadi tiba-tiba diam gitu? Kamu terpesona ya dengan mbaknya.. suka ya sama mbaknya ..hehehe” kata Fatih sambil menggoda Rama. Fatih memang suka mengganggu sahabatnya itu. Apalagi Fatih sering banget menjodoh-jodohkan sahabatnya itu dengan beberapa wanita kenalannya. Secara, banyak wanita yang nge-fans dengan Rama. Namun, Rama sama sekali tidak pernah tertarik dengan hal itu. Ia hanya membalas dengan singkat “Ah, kamu sembarangan aja Fat. Gak lah.” Beberapa menit kemudian, Kiai Hasbih pun muncul dihadapan mereka. Mereka pun meraih tangan Kiai Hasbih dan menciumnya dengan penuh takzim. Kiai Hasbih membalasnya dengan senyuman.
“Gimana kabar kalian? Sehat?” tanya Kiai Hasbih memulai percakapan.
“Alhamdulillah sehat pak yai” jawab mereka berdua.
“Ada maksud apa nak, kalian kesini?” lanjut pak Kiai Hasbih.
“Ini pak yai, kami bermaksud mengundang pak yai sebagai pengisi pengajian pada acara baksos kami. Pak Kiai Lihin yang nyaranin agar pak yai yang mengisi pengajian buat masyarakat” kata Rama.
“Oh ya, kapan acaranya? Acaranya di pondok Ar-Rohmah bukan?”
“Nggeh pak yai, acaranya di Ar-Rohmah. Insya Allah acaranya bulan depan, Tanggal 1 Maret pak yai. Pak yai tanggal segitu bisa berkenan hadir?”
“Sebentar ya, saya ke belakang dulu melihat jadwal saya kosong apa tidak. Takut berbenturan dengan acara lain. Tapi seingat saya bisa kok insya Allah. Cuma ingin memastikan. Tunggu sebentar ya.” ujar Kyai Hasbih sambil melangkah ke dalam rumahnya.
“Nggeh pak yai” balas mereka.
“Alhamdulillah jadwal saya hari itu kosong. Insya Allah saya bisa hadir mengisi pengajian di acara kalian.”
“Alhamdulillah pak yai, kalau begitu kami pamit dulu. Soalnya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan pak yai.” Kata Rama.
“Iya nak, salam sama Kiai Lihin.” ujar Kiai Hasbih mengakhiri pertemuan mereka kala itu.
Berat sebenarnya Rama mengucapkan kata “pamit” ingin rasanya bertanya soal wanita tadi kepada pak yai, tapi Rama tidak berani mengatakannya. Namun Rama tidak bisa berbohong dengan hatinya, ia penasaran dibuatnya. “Siapa wanita tadi? Ingin rasanya berkenalan dengan dirinya.” Berbagai rasa penasaran berkeliaran dalam hati dan pikiran Rama. Namun kakinya terus saja melangkah menjauh dari rumah pak Kiai Hasbih.
Setelah sowan dari rumah Kiai Hasbih, Rama disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan acara baksosnya. Mulai dari administrasi, dekorasi panggung hingga konsumsi untuk para jamaah pengajian. Namun, semua hal itu belum bisa membuat Rama menghilangkan memori tentang senyuman wanita yang dilihatnya di Alun-Alun Kidul tempo hari. Acara baksos yang dilakukan oleh Rama dan Fatih di Pondok Ar-Rohmah berjalan dengan lancar. Seluruh masyarakat sekitar sangat antusias dengan acara tersebut. Masyarakat sangat mengapresiasi kinerja para panitia. Berselang tiga hari dari selesainya acara baksos, Rama kembali mencoba peruntungannya. Rama berharap bisa kembali bertemu dengan wanita itu.
Sesampainya di alun-alun, Rama duduk dibawah pohon rindang, di bawahnya ada sebuah dipan berwarna coklat yang mengarah tepat ke arah pertama kali ia melihat wanita itu. Ia sangat menikmati suasana sore di alun-alun, bersama hembusan angin yang setia merabanya. Ia memperhatikan suasana disekitarnya, anak-anak bermain dengan riangnya, para pedagang sibuk menjajakan jajananya. Jarum jam tentu saja acuh padanya, ia terus berputar tanpa memikirkan Rama. Senja pun tumbang di kaki langit dan hasilnya nihil. Ia tidak bertemu dengan wanita itu.
Keesokan harinya, Rama tidak berputus asa. Ia kembali datang di alun-alun itu dengan harapan yang sama; bertemu dengan wanita itu. meski belum bertemu, Rama masih bisa menikmati suasana yang diberikan oleh alun-alun. Sesekali ia melihat jam tangan yang ada di lengan kirinya memastikan waktu masih berjalan. Tentu, jarum jam yang sedari awal tidak menaruh simpati ke padanya mulai menertawakannya. Rama sama sekali tidak goyah, ia tidak peduli meskipun jarum jam itu menertawakannya hingga akhirnya jarum jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Matahari kembali keperaduannya dan Rama tak kunjung melihat senyum wanita itu lagi.
Berhari-hari Rama menghabiskan sore harinya di alun-alun, demi kembali melihat senyuman wanita itu. Dalam penantiannya, kadangkala ia ditemani sebuah buku atau hanya secangkir kopi yang ia pesan dari pedagang yang ada disekitar alun-alun. Jarum jam yang tadinya hanya menertawakan usahannya, kini mulai mencaci makinya. Rama tidak peduli. Ia tetap memperhatikan suasana sekitarnya. Berharap bisa menangkap senyum yang hilang. Sore itu, ada yang berbeda dari sore-sore sebelumnya. Persis ditempat wanita itu, Rama melihat sepasang suami istri yang sudah berusia senja. Bukan, bukan karena mereka sudah tua sehingga bisa mencuri perhatian Rama. Bukan itu. Kakek dan nenek itu saling tersenyum satu sama lain. Sesekali mereka bermesraan dihadapan semua orang. Sang kakek menyuapkan makanan ke mulut sang nenek. Sang kakek juga tak lupa membersihkan mulut sang nenek bila ada sisa makanan yang tertinggal. Sepertinya mereka berdua tidak sadar kalau sedang menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di alun-alun. Sore itu senja mulai memerah, senyum kakek nenek itu pun juga semakin merekah, namun usaha rama tak kunjung berbuah.
“Ah,. andai waktu itu aku bertanya padanya, menanyakan namanya pada kiai Hasbi dan mengajaknya menua bersama sambil melihat senja di alun-alun ini” batin Rama dalam hati sambil menunduk.
Jarum jam semakin terbahak-bahak dibuatnya, ia sangat puas. Melihat Rama yang mulai putus asa mencari senyum wanita yang mampu membuat waktunya berhenti. Jarum jam melirik dengan sinis, “Sepertinya aku yang menang, tak ada yang bisa menghentikan waktu.”
Yogyakarta 23-24 Februari 2020
[1] Astaga, bentar.. bentar..
[2] Terimah kasih, pak