Ini malam minggu. Aku tau itu, dan kau juga pasti tidak salah dalam mengira hari. Meski sedang harus berkegiatan di rumah saja, memantau tanggal terutama yang bercetak merah adalah hobiku yang tak pernah bisa kuhilangkan sejak aku mulai mengenal angka bahkan hingga sekarang di saat aku akan menutup diri serapat mungkin ketika harus berhadapan dengan angka yang kurasa memusingkan. Karena, itu bukan aku banget.
Aku tidak pernah tau tentang cerita sejarah yang menjadikan malam minggu sebagai malam dimana orang-orang akan merayap keluar dari rumah dan memadatkan jalanan hanya untuk sekedar bersenang-senang. Padahal tanpa sadar, memilih tidur lebih awal dan bangun lebih telat itu juga bagian dari kesenangan yang bisa dilakukan untuk menikmati akhir pekan.
Yang pasti, sebagai salah seorang remaja, aku juga menunggu malam minggu itu tiba. Tidak, malam mingguku tidak akan sama seperti kebanyakan orang yang memilih keluar bersama kekasih hatinya. Malam mingguku sederhana. Sesederhana mencoret kertas putih tanpa perlu memperhatikan bentuk dan keindahannya. Karena apa pun yang aku lakukan bersamamu itu pasti akan terasa indah dengan sendirinya. Meskipun... kini aku sadar bahwa semua hal yang kuanggap indah itu hanya akan menjadi isi kepalaku, hanya sebatas bayang-bayang semu.
Malam minggu itu waktunya kita menghabiskan waktu bersama, mengobrol, tertawa, atau bahkan hanya untuk saling bergurau. Dan semua seolah memang sudah memiliki siklusnya sendiri. Malam minggu datang lagi maka kita akan melakukannya lagi, lagi, lagi, dan terus. Terus berulang-ulang seperti itu.
Aku senang melakukan hal yang terkesan monoton itu. Dan... kau juga mengaku senang membuang waktumu bersamaku. Menghabiskan kuota internet ber-giga-giga bukanlah masalah besar selama itu aku habiskan bersamamu. Kita terbang bersama waktu yang... ternyata menjadi jawaban dari hubungan tanpa nama yang kita jalani. Setahun terus berkomukasi dengan kata-kata indah khasmu akhirnya menjadikanku mengenal kata jenuh. Kita berjauhan tanpa bisa menyelesaikan jenuh itu bersama-sama, yang pada akhirnya kita sama-sama memilih menyerah dan pergi.
Kita memilih menyebutnya sebagai akhiran, padahal sebenarnya tak pernah ada awalan dari semua bagian yang pernah ada. Ketika malam itu aku memilih untuk bergerak pulang, kau pun tak lagi menahan. Mungkin kau pun dalam mode kejenuhan.
Setelahnya, aku memilih benar-benar beranjak. Kata seorang temanku, move on paling cepat adalah dengan memblokir sosial media. Karena hidup di era digital ini, sosial media lah yang berperan lebih utama dari pada sebuah pertemuan.
Aku memilih mendengarkan sarannya, kublokir semua jalan yang bisa kulewati bahkan untuk sekedar memandang fotomu. Sebulan... dua bulan... tiga bulan berlalu. Hari itu hidupku terasa hampa, ibarat sambal ayam geprek yang lupa dilengkapi penyedap rasa, benar-benar tidak menggugah selera.
Untuk yang kedua kalinya semesta memaksaku menyerah lagi. Menjalani hidup tanpamu membuatku merasa sedang berjalan bukan pada duniaku sendiri. Akhirnya, aku memilih kembali membuka blokiran jalan yang sempat kututup rapat. Kukira kau juga menutup jalan untukku kembali masuk ke dalam duniamu. Ternyata tidak, kau tidak melakukannya. Terbukti lewat story What’s app-mu yang langsung masuk ke dalam What’s-app-ku begitu aku membuka jalannya.
Kukira, tak akan ada lagi sapaan setelah semuanya, namun ternyata aku salah. Karena sedetik setelah aku melihat story-mu, kau langsung menyapaku, berlagak seolah cerita masih milik kita.
Singkat cerita, kita kembali dekat dengan kau yang tak pernah mempersoalkan aku yang pernah memilih pergi. Puing-puing yang pernah menjadi kepingan, perlahan mulai kita susun kembali dan mulai terlihat hasilnya yang tampak indah.
Di saat aku sudah mulai yakin padamu, pun pada diriku sendiri, di saat itulah ternyata aku... aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkan hatiku.
Kau pergi.
Tanpa kabar, menghilang, dan lenyap begitu saja. Seketika semua hancur. Semua berantakan. Porak poranda. Bahkan lebih hancur dari sebuah gelas kaca yang jatuh ke lantai.
Lantas, di tengah malam sunyi yang terasa menyesakkan, aku berteriak pada semesta, apa ini yang namanya karma? Tapi kenapa rasanya ini terlalu kejam? Jika memang dia bosan, tidakkah bisa ia sampaikan, seperti yang pernah kulakukan? Mengapa ia memilih langsung mencampakkan?
Sebelum benar-benar terjatuh aku memilih berdiri sebentar, sekedar bertanya kepada orang-orang sekitar, mungkin saja aku tersesat. Dan ternyata bukan aku yang tersesat, tetapi kau yang memang sudah memilih jalan yang baru, yang akhirnya benar-benar membuat aku terjatuh.
Lewat kilas balik dari cerita kita ini, aku ingin kau tau bahwa tidak pernah ada kata sesal karena aku telah mencintaimu. Aku menuliskan ini bukan untukmu, karena aku tau kau tidak pernah suka membaca. Tetapi, aku menuliskan ini kepada orang-orang selain kamu, agar mereka tau seberapa pantasnya kamu untuk dicintai. Agar mereka sadar bahwa orang yang telah meninggalkanku bukanlah lelaki jahat. Ia hanya sedang mencari yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dan yang terbaik versinya bukanlah aku. Dan... aku tidak bisa memaksa untuk itu.
Sekarang, malam telah larut, dan sebentar lagi aku akan tidur karena ini bukan lagi malam minggu kita yang mengharuskanku untuk berjaga, hujan yang turun selepas magrib juga belum mereda, membuatku ingin cepat-cepat bergumul di balik selimut tebalku. Meski cerita ini bukan untukmu, tapi aku ingin kau tau bahwa sekarang aku tidak lagi menangis. Aku berhasil keluar dari lubang hitam penuh air mata yang menyeramkan. Aku berhasil tersadar dari hal yang ternyata selama ini hanya ada di dalam kepalaku.
Terima kasih untuk satu judul cerita yang membuatku tau arti dari perasaan yang tidak boleh dipermainkan. Terima kasih telah mengajarkan aku bahwa bertahan dalam kejenuhan lebih baik dari pada harus merasakan kehilangan.
By: Mandahuuu