Pengikut

CSSMoRA

CSSMoRA merupakan singkatan dari Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, yang berarti Komunitas Santri Penerima Beasiswa Kementrian Agama

SARASEHAN

Sarasehan adalah program kerja yang berfungsi sebagai ajang silaturahimi antara anggota aktif dan anggota pasif CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pesantren

Para santri yang menerima beasiswa ini dikuliahkan hingga lulus untuk nantinya diwajibkan kembali lagi mengabdi ke Pondok Pesantren asal selama minimal tiga tahun.

Sabtu, 31 Oktober 2020

Terimakasih untuk Satu Judul Cerita

 

Ini malam minggu. Aku tau itu, dan kau juga pasti tidak salah dalam mengira hari. Meski sedang harus berkegiatan di rumah saja, memantau tanggal terutama yang bercetak merah adalah hobiku yang tak pernah bisa kuhilangkan sejak aku mulai mengenal angka bahkan hingga sekarang di saat aku akan menutup diri serapat mungkin ketika harus berhadapan dengan angka yang kurasa memusingkan. Karena, itu bukan aku banget.

Aku tidak pernah tau tentang cerita sejarah yang menjadikan malam minggu sebagai malam dimana orang-orang akan merayap keluar dari rumah dan memadatkan jalanan hanya untuk sekedar bersenang-senang. Padahal tanpa sadar, memilih tidur lebih awal dan bangun lebih telat itu juga bagian dari kesenangan yang bisa dilakukan untuk menikmati akhir pekan.

Yang pasti, sebagai salah seorang remaja, aku juga menunggu malam minggu itu tiba. Tidak, malam mingguku tidak akan sama seperti kebanyakan orang yang memilih keluar bersama kekasih hatinya. Malam mingguku sederhana. Sesederhana mencoret kertas putih tanpa perlu memperhatikan bentuk dan keindahannya. Karena apa pun yang aku lakukan bersamamu itu pasti akan terasa indah dengan sendirinya. Meskipun... kini aku sadar bahwa semua hal yang kuanggap indah itu hanya akan menjadi isi kepalaku, hanya sebatas bayang-bayang semu.

Malam minggu itu waktunya kita menghabiskan waktu bersama, mengobrol, tertawa, atau bahkan hanya untuk saling bergurau. Dan semua seolah memang sudah memiliki siklusnya sendiri. Malam minggu datang lagi maka kita akan melakukannya lagi, lagi, lagi, dan terus. Terus berulang-ulang seperti itu.

Aku senang melakukan hal yang terkesan monoton itu. Dan... kau juga mengaku senang membuang waktumu bersamaku. Menghabiskan kuota internet ber-giga-giga bukanlah masalah besar selama itu aku habiskan bersamamu. Kita terbang bersama waktu yang... ternyata menjadi jawaban dari hubungan tanpa nama yang kita jalani. Setahun terus berkomukasi dengan kata-kata indah khasmu akhirnya menjadikanku mengenal kata jenuh. Kita berjauhan tanpa bisa menyelesaikan jenuh itu bersama-sama, yang pada akhirnya kita sama-sama memilih menyerah dan pergi.

Kita memilih menyebutnya sebagai akhiran, padahal sebenarnya tak pernah ada awalan dari semua bagian yang pernah ada. Ketika malam itu aku memilih untuk bergerak pulang, kau pun tak lagi menahan. Mungkin kau pun dalam mode kejenuhan.

Setelahnya, aku memilih benar-benar beranjak. Kata seorang temanku, move on paling cepat adalah dengan memblokir sosial media. Karena hidup di era digital ini, sosial media lah yang berperan lebih utama dari pada sebuah pertemuan.

Aku memilih mendengarkan sarannya, kublokir semua jalan yang bisa kulewati bahkan untuk sekedar memandang fotomu. Sebulan... dua bulan... tiga bulan berlalu. Hari itu hidupku terasa hampa, ibarat sambal ayam geprek yang lupa dilengkapi penyedap rasa, benar-benar tidak menggugah selera.

Untuk yang kedua kalinya semesta memaksaku menyerah lagi. Menjalani hidup tanpamu membuatku merasa sedang berjalan bukan pada duniaku sendiri. Akhirnya, aku memilih kembali membuka blokiran jalan yang sempat kututup rapat. Kukira kau juga menutup jalan untukku kembali masuk ke dalam duniamu. Ternyata tidak, kau tidak melakukannya. Terbukti lewat story What’s app-mu yang langsung masuk ke dalam What’s-app-ku begitu aku membuka jalannya.

Kukira, tak akan ada lagi sapaan setelah semuanya, namun ternyata aku salah. Karena sedetik setelah aku melihat story-mu, kau langsung menyapaku, berlagak seolah cerita masih milik kita.

Singkat cerita, kita kembali dekat dengan kau yang tak pernah mempersoalkan aku yang pernah memilih pergi. Puing-puing yang pernah menjadi kepingan, perlahan mulai kita susun kembali dan mulai terlihat hasilnya yang tampak indah.

Di saat aku sudah mulai yakin padamu, pun pada diriku sendiri, di saat itulah ternyata aku... aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkan hatiku.

Kau pergi.

Tanpa kabar, menghilang, dan lenyap begitu saja. Seketika semua hancur. Semua berantakan. Porak poranda. Bahkan lebih hancur dari sebuah gelas kaca yang jatuh ke lantai.

Lantas, di tengah malam sunyi yang terasa menyesakkan, aku berteriak pada semesta, apa ini yang namanya karma? Tapi kenapa rasanya ini terlalu kejam? Jika memang dia bosan, tidakkah bisa ia sampaikan, seperti yang pernah kulakukan? Mengapa ia memilih langsung mencampakkan?

Sebelum benar-benar terjatuh aku memilih berdiri sebentar, sekedar bertanya kepada orang-orang sekitar, mungkin saja aku tersesat. Dan ternyata bukan aku yang tersesat, tetapi kau yang memang sudah memilih jalan yang baru, yang akhirnya benar-benar membuat aku terjatuh.

Lewat kilas balik dari cerita kita ini, aku ingin kau tau bahwa tidak pernah ada kata sesal karena aku telah mencintaimu. Aku menuliskan ini bukan untukmu, karena aku tau kau tidak pernah suka membaca. Tetapi, aku menuliskan ini kepada orang-orang selain kamu, agar mereka tau seberapa pantasnya kamu untuk dicintai. Agar mereka sadar bahwa orang yang telah meninggalkanku bukanlah lelaki jahat. Ia hanya sedang mencari yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dan yang terbaik versinya bukanlah aku. Dan... aku tidak bisa memaksa untuk itu.

Sekarang, malam telah larut, dan sebentar lagi aku akan tidur karena ini bukan lagi malam minggu kita yang mengharuskanku untuk berjaga, hujan yang turun selepas magrib juga belum mereda, membuatku ingin cepat-cepat bergumul di balik selimut tebalku. Meski cerita ini bukan untukmu, tapi aku ingin kau tau bahwa sekarang aku tidak lagi menangis. Aku berhasil keluar dari lubang hitam penuh air mata yang menyeramkan. Aku berhasil tersadar dari hal yang ternyata selama ini hanya ada di dalam kepalaku.

Terima kasih untuk satu judul cerita yang membuatku tau arti dari perasaan yang tidak boleh dipermainkan. Terima kasih telah mengajarkan aku bahwa bertahan dalam kejenuhan lebih baik dari pada harus merasakan kehilangan.

By: Mandahuuu

Senin, 26 Oktober 2020

Tudung Berkesuduhan

 

Dalam uluran masa yang berkepanjangan

Menyita setiap jengkal deretan peristiwa yang bertuan

Membuat satu kata beranak seribu untaian

Pada setiap malamnya hanya ada satu yang pasti, gelap berkesudahan

 

Kau jelajah lagi untai rayu setahun yang lalu

Pohon yang menyumbang dedaunan tuk mencium tanah

Kau sempatkan menghitungnya, pada setiap helai yang berlalu

Seolah sang daun merajuk bila ia tak terjamah

 

Di ujung senja

Untai-untai itu kau lantunkan dengan samar

Terpaku kumeratap sinar surya yang berkarat

Kesamaran lisanmu memberiku asa tuk berharap

 

Kita memberi peluang senja tuk mengolok-olok

Sepertinya ia menghujat sambil tertawa

Kau yang menyamarkan kata berarak

Aku yang menderu asa, untuk sebuah mimpi yang belum nyata

 

Kepalaku menoleh sekejap ke rona jingga sang langit

Hanya sekedar mengukuhkan kembali asa-asa yang ragu

Sekejap lagi mataku menangkap kepergianmu

Apakah ada yang menyapu tudungmu hingga kau malu?

 

Kau semakin menjauh,

menunduk menghitung butir pasir pada setiap derapmu

Atau aku yang kian tolol,

yang harus bimbang walau sekedar memanggil

Oh lisan berucaplah! Hanya sekedar kata “hai... Tunggu”

Payah, kini ujung tudungnya tak terlihat lagi

 

Lihatlah! Kini sendiri kudiolok-olok sang senja

Dikatai tolol, aku pun pasrah

Karna kenyataannya

kubiarkan diriku ditinggalkannya

 

Oleh  : Nanang Iskandar, Santri PP AL-Junaidiah biru Bone

Kamis, 22 Oktober 2020

Yang Saya Benci dari Sebuah Aksi


Setelah kurang lebih tujuh bulan kita perang melawan pandemi covid-19 dan hidup berdampingan dengan ragam isu yang menghiasinya, kini kita kembali dihadapkan pada masa-masa genting dengan adanya aksi turun jalan secara serentak di hampir seluruh penjuru tanah air. Aksi ini dilakukan sebagai ekspresi penolakan terhadap disahkannya RUU Omnibus Law pada tengah malam tanggal 5 Oktober 2020.

Berbicara tentang aksi sepertinya tidak akan pernah ada habisnya,  sebuah aksi tersebut akan terus lahir dari masyarakat sebagai ekspresi kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat. Melalui aksi, masyarakat menyampaikan aspirasi berupa tuntutan dan berharap akan ada dampak yang lebih baik melalui apa yang mereka tuntut. Entah itu aksi turun jalan maupun pernytaaan sikap dan lain sebagainya

Aksi penolakan terhadap disahkannya RUU tersebut terjadi dimana-mana. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa yang dipermasalahkan adalah undang-undang yang katanya merugikan kaum buruh dan pekerja namun menguntungkan para investor atau pemilik modal. Selain isi UU yang penuh kontroversi, pelaksanaan sidang  yang tampak sengaja dilaksanakan secara sembunyi hingga memilih waktu tengah malam atau dini hari, memunculkan kecurigaan di tengah masyarakat.

Bermacam golongan turun ke jalan dalam aksi yang terjadi beberapa hari ini. Ada yang dari mahasiswa,pelajar sekolahan(lebih dikenal dengan STM) dan juga kaum buruh dan pekerja. Terbayang bukan bagaimana gentingnya keadaan di Indonesia ini?

Setelah ini, saya akan berbagi tentang apa yang saya lihat dan saya benci dari aksi demonstrasi ini. Memang menyampaikan aspirasi dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak semua rakyat yang dilindungi undang-undang dalam negara demokrasi. Namun ada saja hal negatif yang dirasakan oleh para massa aksi sendiri maupun oleh orang lain yang ada di sekitar tempat digelarnya aksi tersebut, maka dari itu terlepas dari sisi baik yang kita dapat namun ada juga sisi buruk yang harus  kita hindari dalam berunjuk rasa. Tetntunya dengan alasan demi kebaikan bersama dan juga supaya saya berhenti membenci. Wkwkwk.

a)   Provokator 

          Provokator dalam aksi atau demo kerap kita temui. Biasanya mereka muncul di penghujung aksi. Peran mereka dalam demo adalah memancing amarah massa dan aparat keamanan supaya bentrok antara keduanya. Banyak atau sedikit, pasti akan ada korban dibalik aksi yang anarkis. Parahnya lagi bahkan sampai meninggal dunia, entah itu dari aparat ataupun massa aksi.

          Inilah alasan mengapa saya membenci provokator. Sebab dengan adanya mereka, niat baik massa akan rusak, bahkan niat aparat yang awalnya adalah untuk menjalankan tugas mulia menjaga keamanan dan jiwa, akhirnya bisa menjelma menjadi predator kejam yang seakan-akan membasmi hama negara. Begitupun massa juga akan merasa bahwa dirinya dikhianati oleh penjaga keamanan mereka sendiri, rasa amannya bahkan ditebas pentungan nyasar dan gas air mata.

b)   Pembuat gaduh yang sembunyi

       Sengaja saya tidak menggunakan kata pemerintah/pejabat, karena meskipun pemerintah yang biasanya memancing adanya demo, namun tak menutup kemungkinan bahwa instansi-instansi lain juga bisa menjadi aktor penggantinya.

       Biasanya, para pembuat gaduh akan bersembunyi ketika sudah didatangi massa, baik itu banyak ataupun sedikit. Dia /mereka takut untuk menampakkan wajahnya dan kemudian berdialog bersama massa. Tidak perlu kiranya saya memberikan contoh para pelaku, karena memang sejak dulu kita melihat sendiri siapa mereka yang bersembunyi ketika didemo dan siapa mereka yang berani bertanggung jawab lalu berdialog dengan massa pendemo.

       Sikap mereka dengan bersembunyi juga menjadi salah satu penyebab massa bertindak anarkis, maka jangan salahkan massa apabila mudah terprovokasi untuk berbuat anarkis! Karena memang dalam keadaan lelah semua orang mudah dipengaruhi untuk kemudian menjadi marah dan kejam.

c)     Penunggang gelap

          Penunggang gelap merupakan dia/mereka yang punya kepentingan dan berharap mendapatkan keuntungan besar dibalik terlaksananya demo baginya. Mereka bahkan rela mengeluarkan hartanya untuk dibagikan pada massa agar mendemo siapa yang menjadi target mereka, baik individu ataupun instansi, baik milik negara ataupun swasta.

        Penunggang gelap akan menyuplai energi semangat dan materi bagi massa setelah keresahan massa yang menjadi alasan untuk turun jalan. Penunggang gelap tidak hanya menunggangi massa untuk mendemo targetnya, bisa saja dia juga menunggangi provokator untuk memprovokasi massa yang kemudian nanti akan rugi adalah massa  atau siapapun yang ada di lapangan saat itu. Intinya penunggang gelap itu licik dan harus punah.

            Setelah beberapa hal yang saya sebutkan dan coba saya paparkan di atas, maka bisa kita tarik kesimpulan, bahwa dalam hal negatif yang terjadi di lapangan sebagian besar merupakan ulah dari pihak ketiga(selain massa dan aparat keamanan). Karena kita semua tahu bahwa petugas keamanan yang ada di lapangan, pada saat itu posisi mereka adalah sebagai abdi negara. Apapun yang negara perintahkan harus mereka lakukan sebagai wujud dari sumpah setia yang mereka ucapkan ketika awal memasuki profesinya.

Juga demikian dengan massa yang hanya bermodal panggilan hati nurani untuk turun jalan , mereka sangat tidak pantas untuk diperlakukan atau dianggap sebagai musuh negara dengan cara apapun. Apalagi sampai dengan memukul dan menghajarnya habis-habisan. Aparat juga harus sadar diri, sebab mereka dilengkapi pengaman diri dan juga senjata. Maka dengan itu, seharusnya aparat adalah menahan, bukan melawan. Sebab sekali pukul, massa bisa luka atau sekarat. Sedangkan aparat tidak gampang tumbang hanya dengan lemparan batu. Ah sudahlah, aku tak harus Panjang-panjang dalam hal ini, semua kita sudah tahu harus bagaimana menyikapinya.

Kemudian akhirnya, aparat dan massa sama-sama menjalankan tugas mulia. Sangat tidak pantas apabila keduanya saling bantai. Kalau suka hal-hal seperti itu, ikut saja event-event resmi yang ada. Jangan lakukan di jalan, apalagi diselipkan dalam suasana penyampaian aspirasi. Sangat tidak pantas dilakukan manusia yang masih mengaku punya hati Nurani.

 Aparat kalau memang hobi memukul dan membasmi hama negara, silahkan basmi mereka yang merugikan negara dengan cara-cara halus dibalik kursi jabatan, atau juga beberapa daftar yang sudah saya sebutkan di atas. Mereka hama negara. Basmilah wahai para aparat yang terhormat. Jangan diam!

Penulis; Ahmad fikri, salah satu mahasantri Ma`had Aly Hasyim Asy`ari PP.Tebuireng yang berasal dari Sumenep

Sabtu, 17 Oktober 2020

Surau Rang Caniago

 

“Dulu tempat ini sangat ramai. Siangnya belajar mengaji, sore silat, malamnya tempat tidur anak lelaki.” Ia terus menatap bangunan tua berkubah kecil itu seolah dapat mereka ulang semua kejadian. Tak ada air mata, namun ada raut kesedihan yang terpancar. Sedetik kemudian ada kebahagian yang hadir bersama senyuman.

Cukup samar, namun masih dapat kutangkap. Mungkin sekarang ada banyak kenangan yang hadir seolah menyapa ingatan lama yang sudah berkarat di ujung usia delapan puluhnya. Puing-puing bangunan seolah puing-puing ingatan.

“Dulu disebut surau[1].” Tambahnya setelah naik ke teras bangunan yang nampak kotor dan dipenuhi rerumputan. Nampaknya sudah lama tak dipakai.

“Surau Rang[2] Caniago[3] yang terkenal karena ramai. Tidak ada tandingan. Jika sudah mengaji, anak-anak berdesakan mencari tempat duduk karena takut dimarahi. Nenek bahkan waktu kecil sempat memar di kaki karena dipecut dengan lidi oleh Uyutmu.”

Nenek berbalik menatapku dengan senyuman. Aku hanya mendengarkan kisah tua yang sudah setua usianya. Terkadang bosan dengan cerita yang itu-itu lagi. Tapi kali ini berbeda, kami kembali ke tempat di mana semuanya dimulai. Potongan terpenting yang belum lengkap.

“Temani nenek pulang kampung, nanti semua pertanyaanmu akan nenek jawab.” Janji nenek saat habis harapan membujukku. Ia benar-benar tahu aku tak bisa berdamai dengan penasaran. Ya, sebuah pertanyaan yang hingga kini belum nenek jawab.

“Mengapa menetap di tanah rantau begitu lama dan tak peranh pulang jika memiliki kampung halaman?”. Aku dibesarkan di Ibukota, berdarah Minang, namun tak fasih berbahasa Minang, tak kenal adat istiadat, dan tak pernah tahu kampung halaman sendiri. Jika dipikir-pikir ini sudah 2020, tapi mengapa semuanya terasa kuno, asal usulku bahkan tidak jelas. Nenek selalu bungkam jika ditanya keluarga besar.

 Bukan hanya denganku tapi setiap tetangga yang bertanyapun tak pernah dijawab. Seolah Ibuku adalah hasil dari perbuatan haram dan mereka terusir dari kampung. Tapi nenek menepis semuanya, “nenek tidak pernah melahirkan anak haram”. Cukup ambigu, tapi jika dilihat lagi, kakek dan nenekku tidak mungkin seperti itu, meskipun ilmu agamanya hanya cukup untuk salat dan mengaji.

Di sinilah aku sekarang, kampung tua yang hampir tak berpenghuni. Masih banyak puing-puing rumah yang tertinggal namun tempat ini lebih mirip hutan. Bahkan tempat ini hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Jalan setapaknya penuh lumpur, di sepanjang jalan hanya sawah dan ladang sebelum sampai di pinggir hutan yang kata nenek dulunya perkampungan.

Tek[4] Minah!” seseorang meneriaki nenek dari jalan setapak yang kami lalui tadi. Ia berjalan cepat ke arah nenek, menciumi tangannya. Perempuan yang meneriaki nenek tadi sudah cukup tua, berisi, menggunakan caping dan sebuah ember bertelinga di tangannya. Kakinya penuh lumpur, tampak seperti baru kembali dari sawah.

Jan lai tek, kumuah. Ina[5] baru pulang dari sawah. (Jangan tek, saya kotor baru pulang dari sawah)”. Ia sedikit mundur saat nenek hendak memeluk melampiaskan rindu.

“Sehat Lina?” tanya nenek dengan air mata yang sudah berlinang, seolah mendesak untuk terjun bebas di wajah keriputnya.

“Alhamdulillah sehat tek.”

“Lina, ko Kia, cucu etek.” Aku pun menyalami perempuan paruh baya yang diketahui bernama Lina itu.

 “Kia, dia Uwo Lina, sepupu Ibumu. Anak satu-satunya Rajin”.

Setelah perbincangan singkat itu Uwo Lina mengajakku masuk ke salah satu rumah dekat surau. Ternyata rumah yang sempat nenek gedor tadi adalah rumah Uwo Lina. Ia menghidangkan dua gelas teh hangat dengan ubi rebus sementara membersihkan sebuah kamar di dekat ruang tamu. Rumahnya tidak cukup besar hanya ada dua ruangan seperti kamar, dapur, dan satu ruangan beralaskan tikar dan TV, tempat akau dan nenek duduk sekarang.

Anak jo uda kau ma Lina (anak dan suamimu mana)?” tanya nenek saat Uwo Lina menaruh beberapa piring di depan kami.

Itulah tek, anak-anak marantau sadonyo. Si Ila ikuik lakinyo ka Pakan, si Mia karajo di Batam, tu si Alang nan patang tu basobok jo Etek di Jakarta mah.(Itulah tek, anak-anak semuanya merantau. Si Ila ikut suaminya ke Pekanbaru, Mia kerja di Batam, dan Alang yang kemarin bertemu etek di Jakarta.)”

 Nenek hanya mengangguk paham “Da Sati cako ka Bukik, ado nan dibali (Uda Sati[6] tadi ke Bukittinggi, ada keperluan membeli sesuatu).” Jelasnya lagi.

Abak kau ma Lina? Ndak nampak dari tadi (Bapakmu mana Lina? Dari tadi tidak kelihatan)” tanya nenek lagi.

Uwo Lina yang mendengarpun langsung duduk di hadapan nenek.

Abak sakik tek, alah sabulan. Tapi abak ndak amuah tingga jo Ina, abak di ateh, di rumah lamo. ‘kalau etek kau masih di siko, rami rumah ko’ itu se kicek abak taruih. Ndak baranti-ranti manyabuik etek. Samanjak etek diusia, abak maraso basalah bana. (Bapak sakit tek, sudah sebulan. Tapi nggak mau tinggal sama saya, Bapak di atas, di rumah lama. ‘Kalau etekmu masih di sini, rumah pasti akan ramai’ Bapak selalu bilang gitu. Menyebut-nyebut etek terus. Bapak sangat menyesal setelah etek terusir) ” Air mata nenek jatuh, entah sebesar apa rasa rindu yang mungkin telah ia tahan.

Sudah makan beko Ina antaan etek ka ateh. (Setelah makan nanti saya antarkan etek ke atas)” Tambah Uwo Lina sembari memberikan piring kepada nenek, isyarat agar lekas mulai makan.

Tausia? Meski tak fasih berbahasa Minang, aku tetap paham artinya. Jadi semua dugaanku tentang nenek yang terusir itu benar? Apakah benar nenek telah berbuat hal terlarang hingga terusir? Apa itu alasan nenek tak pernah pulang dan memeberi tahu tentang kampung halaman meskipun masih memiliki saudara?

Tapi semua pertanyaan itu hanya bisa tertahan dalam benak. Mungkin nanti saat nenek sudah lebih tenang dan bertemu Gaek[7] Rajin, semua pertanyaanku akan terjawab. Meski hatiku sebenarnya risau, takut jika ternyata ibu adalah anak haram hasil dari perbuatan tidak senonoh.

 

Bersambung...

Oleh: Miang



[1] Surau saat ini dapat diartikan langgar atau mushalla. Namun surau memiliki fungsi penting bagi masyarakat Minangkabau sejak dahulu. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa surau sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkbau dan dibangun berdasarkan suku. Fungsi terpenting surau saat itu sebagai tempat tinggal anak laki-laki yang sudah aqil baligh namun belum menikah, namun saat Islam masuk surau memiliki fungsi tambahan sebagai tempat mengaji sekaligus menjadi cikal bakal pesantren di tanah Minangkabau.

[2] “rang” singkatan dari “urang” yang dalam Bahasa Indonesia berarti orang.

[3] Salah satu nama suku induk di Minangkabau, bersamaan dengan suku Koto, Bodi, dan Piliang. Suku ini kemudian memiliki “anak” seiring berkembangnya zaman.

[4] “Tek” atau “Etek” adalah panggilan untuk bibi di Minangkabau.

[5] Orang Minang biasanya memiliki panggilan kecil yang dalam beberapa kondisi juga digunakan sebagai kata ganti orang pertama saat bercakap.

[6]Sati adalah salah satu gelar bagi menantu laki-laki di Minangkabau. Biasanya laki-laki Minang akan diberikan gelar setelah menikah dari keluarga istri. Gelar ini kemudian menjadi nama panggilan dalam pergaulan sehari-hari di masayarakat menggantikan nama asli sebagai bentuk penghormatan.

[7]Panggilan untuk kakek di Minangkabau, tetapi hanya digunakan oleh beberapa daerah.

Kamis, 15 Oktober 2020

Debu yang Masuk Darah yang Keluar

 

Di ujung musim semi yang tak bertuan, di sebuah desa yang tak ada tanda-tanda musim semi telah berjalan. Hanya ada debu jalanan yang lalu-lalang bersama udara, yang membantunya menggapai angan lebih lanjut untuk hinggap pada dedaunan, dinding rumah, atau bahkan menyelinap masuk menerobos deretan pagar-pagar bulu hidung. Tak ada belas kasih, bahkan kakek tua pun tanpa ampun batuk dibuatnya. Debu yang masuk, darah yang keluar, ah.. dunia memang adil.

Debu-debu itu sudah sangat melekat dengan kampung kami, tidak tahu apa solusinya. Apalagi ditambah kendaraan-kendaraan dengan knalpot bisingnya yang menganggap jalanan kami bak sirkuit balap, semakin menambah derita kami. Yang semulanya menderita opda hidung sebab menghirup udara bercampur debu, tapi telinga kami pun kini turut merasakannya. Segala cara sudah diterapkan, mulai dari memasang spanduk larangan mengebut, membuat polisi tidur pada setiap lima meter jalan, hingga para pemuda kampung yang turun tangan sendiri, yang tak jarang sampai berlanjut ke perkelahian berkepanjangan, maupun hingga tawuran antar kampung, dan berakhir ke pemakaman. Berbagai cara sudah kami lakukan namun debu itu tak kunjung menghilang usai, dunia memang adil.

Pagi itu Nur berjalan menghampiri motornya setelah menyantap lima buah pisang goreng buatan sang ibu. Udara pagi di kampungnya memang tidak seperti pada kampung-kampung lainnya, debu jalanan yang kian hari semakin bertambah langsung menyapa pagi yang ceria itu. Nur perlahan mengeluarkan motor peninggalan bapaknya yang hanya berupa rangkaian mesin, dua buah ban dan kerangka dari batangan-batangan besi yang dirangkai sedemikian unik, bentuknya telah termodifikasi menyesuaikan pekerjaan sehari-harinya, mengambil rumput untuk hewan ternak. Nur mengendarai kuda besinya itu, kulitnya yang hitam legam membaur dengan debu jalanan. Bermula dari putaran ban, lalu merangkak naik, debu-debu itu mengepul sebab tersambar angin bekas laju si kuda besi dan jadilah jalanan yang dilaluinya seperti kabut coklat yang menari.

Pagi itu, masyarakat kampung masih sangat antusias mengerjakan aktivitas pagi mereka seperti biasanyaa walaupun terkepung oleh debu. Berbeda dengan Arman, pemuda pemalas yang manja dan dimanja ole keluarganya. Ia adalah anak orang terkaya dari sepuluh rumah pertama dari perbatasan, karna rumah ke sebelas adalah rumah Pak Kepala Desa yang sudah sepuluh tahun menjabat. Seperti biasanya, Arman sejak pagi sudah nongkrong di dalam pos ronda kampung itu, menghisap asap rokok yang tak jarang debu jalanan pun turut terhisap di dalam hela nafasnya. Sembari menunggu teman-teman tongkrongannya, ia berbaring di pagi yang indah itu.

Sementara Nur telah sampai di lahan rumput gajah milik Daeng Manganring, bapak dari Arman, lokasi tempat ia hendak mengambil rumput untuk hewan-hewan ternak penyambung hidupnya. Ia memenuhi dua karung besar lalu meletakkannya di motornya. Nur kemudian melaju pulang ke rumah dengan semangat, saking semangatnya ia sampai lupa bahwa knalpot dari motornya itu bersuara sangat bertenaga, tepatnya suara dari tempat seharusnya knalpot itu terpasang. Si kuda besi itu memang tidak memiliki batangan knalpot, hanya ada lubang tempat knalpotnya saja. Karena sebab itulah suara yang keluar pun tidak karuan pula, seperti memancing datangnya musibah.

Benar saja, Arman terperanjat bangun dari tidur paginya di pos ronda. Kurang sedetik dari melajunya Nur di depan pos ronda itu, debu mengebut dan suara tidak karuan mengikutinya. Naiklah pitam tingkat sepuluh sang anak manja namun beringas itu, Arman. Tanpa basa-basi, ia langsung bergegas menyalakan motor bebek miliknya itu, lalu tancap gas mengikuti Nur yang mungkin bernasib malang beberapa menit kemudian. Sialnya, semua debu bekas laju motor Nur ditambah suara bising tidak karuan seolah membungkus Arman yang kini pitamnya naik ke tingkat sebelas.

Kegigihannya membuahkan hasil, kini Arman pun tepat berada di samping Nur yang masih asik berkendara tanpa mennyadari adanya seseorang yang berkendara di sampingnya. Tanpa pikir panjang, Arman melayangkan tendangan ke arah Nur dan mengenai karung rumputnya, jadilah Nur bersama kuda besinya terpelanting ke samping kiri, hingga tubuhnya tergelincir di selokan yang tak berair. Arman pun berhenti untuk kemudin berdiri memasang badan tepat di depan tempat Nur mencium tanah, seolah bangga dan ingin menampar sekali lagi wajah kusam Nur yang kini berdarah. Tanpa banyak bicara, Nur yang kesal kemudian bangkit menuju ke hadapan orang yang memasang badan di sana dan sekaligus orang yang membuatnya jatuh tersebut. Baru saja  mau berucap, wajah Nur lebih dahulu tertampar oleh tangan kasar Arman.

Dasar orang miskin tak tahu malu, sudah diberi belas kasih dari bapakku, masih saja mau kurang ajar!” berkata Arman dalam intonasi memarahi.

Nur yang merasa tidak bersalah apa-apa langsung mengambil sabit yang tertancap di karung rumputnya tadi, lalu menyerang Arman secara bertubi-tubi  tepat di bagian lehernya. Tewaslah seketika Arman di tangan Nur sang tukang ambil rumput di ladang bapaknya itu, dan Tak tahu nasib Nur di kemudian hari nanti.

 

Penulis , Nanang iskandar berasal dari PP AL-Junaidiyah Biru Bone

Sabtu, 10 Oktober 2020

Renovasi Ka’bah dan Pengambilan Keputusan

Saat Rasulullah menginjak usia 35 tahun, kaum Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah yang saat itu hanya berupa susunan bebatuan dengan ketinggian sekitar sembilan hasta. Salah satu penyebab tercapainya kesepakatan ini adalah karena Ka'bah yang dibangun sejak masa Nabi Isma’il ‘Alaihis Salam ini tidak mempunyai atap, sehingga banyak pencuri masuk dan mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya. Hal itu diperparah dengan kondisi bangunan Ka’bah yang telah rapuh dan banyak terlihat retakan di hampir seluruh dindingnya.

Pada tahun yang sama, bencana banjir besar yang melanda kota Mekkah meluap sampai ke Baitul Haram. Kaum kafir Quraisy pun merasa khawatir kalau sewaktu-waktu banjir tersebut akan membuat Ka’bah menjadi runtuh. Sementara itu, kaum Quraisy dihinggapi rasa dilema antara merenovasi Ka’bah atau membiarkan bangunan tersebut seperti apa adanya. di sisi lain, mereka sepakat untuk untuk tidak memasukkan hasil harta haram mereka seperti hasil dari pelacuran, transaksi yang mengandung sistem riba, dan harta dari rampasan orang lain.

Alih-alih ingin bergerak untuk merenovasi Ka’bah, masyarakat Quraisy justru diliputi rasa takut ketika akan merobohkannya. Rasa takut tersebut tidak lain karena Ka'bah adalah tempat yang dianggap sakral, sehingga mereka takut tuhan akan menimpakan kepada mereka sesuatu yang buruk apabila merusaknya. Ditengah kegalauan mereka,  Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumi menarik perhatian masyarakat Quraisy dengan mengawali perobohan tersebut. Namun kaum Quraisy yang lainnya membiarkan al-Walid bekerja sendiri sembari menunggu apakah Al-Walid kena azab dari Allah.

Dengan diliputi rasa takut, Masyarakat Quraisy membiarkan al-Walid merobohkan Ka’bah mulai pagi sampai sore hari. Mereka ingin memastikan apakah akan datang azab dari Allah pada saat sore hari tiba. Ternyata hingga sore hari tiba tidak ada azab yang datang, kemudian mereka menunggu apakah esok hari azab akan datang. Ternyata keesokan harinya azab tidak kunjung datang, setelah terlepas dari ketakutannya, akhirnya kaum Quraisy membantu Al-Walid merobohkan Ka’bah serta setiap bangunan Ka’bah  sampai Rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.

Mereka membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Arsitek yang bertugas menangani urusan pembangunan Ka’bah ini adalah seorang berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum.

Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempat semula. Perselisihan itu terus berlanjut sekitar empat atau lima hari tanpa ada keputusan. Perselisihan tersebut semakin memanas dan hampir saja terjadi pertumpahan darah di tanah suci. Bahkan salah satu kabilah ada membawa seguci darah dan mereka celupkan tangan-tangan mereka ke dalam guci tersebut sembari bersumpah bahwa mereka tidak akan mundur dan tetap berjuang untuk ikut terlibat dalam meletakkan Hajar Aswad tersebut.

 Pada akhirnya Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka. Ia menawarkan agar menyerahkan urusan ini kepada siapa yang pertama kali masuk lewat pintu Masjid. dan mereka pun menyetujuinya. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tatkala mengetahui itu mereka berbisik-bisik, “Inilah Al-Amin. Kami rida kepadanya. Inilah dia Muhammad.”

Setelah mereka semua berkumpul di dekat beliau (Muhammad) dan bertanya apa yang harus beliau lakukan untuk mereda perselisihan ini?, maka beliau meminta sehelai selendang, lalu meminta para pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang setiap ujung selendang tersebut, lalu beliau meletakkan  Hajar Aswad tepat di tengah-tengah selendang supaya mereka bisa mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Berkat kecerdasannya, Rasulullah berhasil menghilangkan perselisihan diantara kaum Quraisy.

Setelah pembangunan selesi, Ka’bah yang awalnya apabila dilihat dari atas akan terlihat seperti bentuk "D" dengan setengah lingkarannya merupakan Hijir isma'il, sekarang   berubah menjadi segi empat seperti kubus yang memiliki tinggi kira-kira mencapai 15 m, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 x 10 m. Hajar Aswad itu sendiri diletakkan dengan ketinggian 1,5 m dari permukaan pelataran tempat thawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 m. Adapun pintunya setinggi 2 m dari permukaan tanah. Di sekeliling Ka’bah terdapat pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketinggian ¼ m dan lebarnya kira-kira 1/3 m.

Pada masa pemerintahan sahabat ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu, Ka’bah direnovasi kembali dan dikembalikan ke bentuk semula seperti huruf “D” karena ingin mengembalikan bentuk Ka’bah yang asli seperti yang dibangun oleh Nabi Ibrahim beserta anaknya Nabi Isma’il ‘Alaihis Salam. Kemudian sampai masa pemerintahan khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan, Ka’bah direnovasi lagi dan dibentuk seperti kubus. Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan mengatakan, jika di zaman Rasulullah saja bentuk Ka’bah berbentuk kubus, kenapa sahabat ‘Abdullah bin Zubair mengubah bentuk Ka’bah menjadi seperti huruf “D”?

 Hingga akhirnya, khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan tahu bahwa apa yang dilakukan sahabat ‘Abdullah bin Zubair itu benar. Beliau berniat ingin mengembalikan bentuk Ka’bah dalam bentuk yang asli lagi namun Imam Malik Rahimahullah melarangnya dan mengatakan biarlah Ka’bah seperti itu bentuknya (berbentuk kubus).

Imam Malik khawatir jika setiap kali pergantian khalifah, bentuk Ka’bah juga berganti terus dan menjadi tradisi setiap khalifah yang ada untuk mengubah bentuk Ka’bah. Hingga akhirnya Ka’bah tidak pernah berubah lagi bentuknya hingga sekarang. Semoga bermanfaat.

Sumber:

- Kitab Sirah Nabawiyah, karangan Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, cetakan Pustaka Al-Kautsar, halaman 57-58

- Video ceramah “Sirah Nabawiyah bag 6 - Ustadz Rahmat Fauzan Azhari, Lc, MA”, channel YouTube Masjid Al Jihad


Penulis adalah Muhammad Torieq Abdillah, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Antasari Banjarmasin